Urban Mining sebagai Sumber Sekunder Logam Berharga
Tahun 2020 Samsung membuat 5.000 medali emas, perak dan perunggu untuk pemenang pertandingan Olympic Games di Tokyo. Pembuatan medali tersebut menggunakan material daur ulang hasil urban mining 6 juta ponsel bekas sumbangan masyarakat Jepang antara April 2017 dan Maret 2019.
Urban mining adalah pemulihan material bernilai dari sampah atau barang buangan di perkotaan. Jika material seperti kertas, kaca, dan plastik lazim dicari untuk daur ulang, urban mining menyasar pada material bernilai tinggi. Misalnya, logam berharga, logam dan mineral rare earth, dan senyawa logam spesifik dalam produk-produk kompleks seperti sampah elektronik dan elektrikal atau e-waste.
Pesatnya pertumbuhan e-waste dunia, dan makin efisiennya biaya daur ulang menjadikan urban mining sebagai sumber sekunder material logam berharga dan rare earth, serta mendukung ekonomi sirkular.
Menambang di Perkotaan
Tahun 1961 Jane Jacobs, seorang urbanis, memiliki visi kota-kota menjadi tambang di masa depan. Prediksi ini berdasarkan kenyataan bahwa industri tambang mengonsumsi banyak energi dan menimbulkan masalah lingkungan. Biaya ekstraksi meningkat karena kandungan logam terus berkurang dan lokasi tambang semakin jauh. Sebagian besar logam hasil tambang masuk ke kota-kota, digunakan sebagai struktur bangunan, transportasi, dan berbagai produk. Kota-kota bisa menjadi sumber sekunder bahan baku.
Urban mining meliputi pengumpulan, pemilahan, dan pemrosesan material buangan atau sampah perkotaan untuk dipulihkan menjadi bahan baku produk baru. Sebagai sumber sekunder material, urban mining mengurangi ketergantungan pada sumber alam primer, jadi mengurangi dampak lingkungan industri pertambangan dan mengonservasi sumber daya alam. Sebuah studi oleh Frauenhofer Institute menemukan produksi tembaga sekunder menghasilkan sekitar 1,5 ton CO2 per-ton metal, berkurang 67% dibanding 4,5 ton dari produksi primer.
Potensi sumber urban mining dinilai dari ada berapa banyak logam, waktu, dan bentuk ketersediaannya. Logam adalah material yang bernilai tinggi dan bisa terus didaur ulang tanpa kehilangan sifat-sifatnya.
Logam dalam Sampah Elektronik
Sampah elektronik atau e-waste merupakan jenis sampah yang paling cepat tumbuh. Menurut Global E-waste Monitor, pada 2010 dunia menghasilkan 34 juta ton e-waste, dan terus tumbuh menjadi 53,6 juta ton dan 62 juta ton pada 2019 dan 2022. PBB memperkirakan jumlah tersebut mencapai 82 juta ton pada 2030, senilai US$189,8 miliar didorong oleh kemajuan teknologi digital, peningkatan daya beli, serta kebutuhan konsumen.
E-waste mengandung 60% logam, beberapa logam beracun seperti timbal, merkuri, arsen, kadmium, yang berisiko mencemari lingkungan dan membahayakan manusia dan ekosistem. Namun, dalam barang-barang elektronik juga ada beberapa jenis logam berharga seperti emas, perak, platinum, palladium, dengan komposisi yang bervariasi (ekshibit 1). Daur ulang e-waste mencegah pencemaran dari landfill, dan membuka peluang urban mining.
Sebagai ilustrasi, smartphones. Suatu riset memperkirakan pasar smartphone global tumbuh 3,76% per tahun, dari 1,22 miliar unit pada 2024 hingga 1,7 miliar unit pada 2029.
Tipikal smartphone mengandung 7-34 miligram emas, yang berfungsi sebagai konduksi listrik, penahan korosi, dan kawat pengikat semikonduktor ke sirkuit. Satu ton smartphones mengandung kira-kira 300 kali lebih banyak emas daripada satu ton galian tambang emas! Selain emas, ada logam dan mineral bernilai lain yang mendukung fungsi, durabilitas, dan kinerja smartphone (ekshibit 2).
Kebutuhan logam-logam itu meningkat seiring dengan perkembangan teknologi pada smartphones. Hampir 100% dari logam dalam smartphone itu bisa dipulihkan.
Dalam 62 juta ton e-waste dunia pada 2022 terkandung 31 juta ton logam bernilai US$91 miliar. 19 juta tonnya bisa dipulihkan dan dikembalikan dalam sirkulasi, termasuk 4 juta ton logam tergolong bahan baku penting yang dihasilkan oleh hanya segelintir negara, dan karenanya rentan disrupsi pasokan. Para ahli memprediksi suatu saat logam rare earth hanya bisa diperoleh dari urban mining.
E-Waste sebagai Sumber Pasokan Sekunder
Karena kandungan logam berharganya dan laju pertumbuhan jumlahnya, e-waste berpotensi besar untuk urban mining, menjadi sumber sekunder logam-logam berharga dan logam dan mineral langka untuk produksi barang-barang elektronik.
Sumber sekunder ini menyumbang pasokan bahan baku dalam jangka panjang, mengurangi fluktuasi harga dan ketergantungan pada penambangan konvensional yang merusak lingkungan, boros energi, dan berisiko bagi pekerjanya. Urban mining membuka lapangan kerja, dan mendukung realisasi ekonomi sirkular yang berkelanjutan
Urban mining diproyeksikan bisa menyediakan 50% kebutuhan tembaga dunia pada 2040, memenuhi 75% kebutuhan lithium melalui daur ulang batere, dan memasok 35% dari elemen rare earth pada 2035. Perkiraan World Economic Forum, pada 2050 urban mining bisa memasok lebih dari 40% kebutuhan logam dunia.
Dengan jumlah e-waste yang terus bertambah, serta teknologi daur ulang yang makin canggih, hasil urban mining menjadi kompetitif dan berkelanjutan, mengalihkan penambangan logam konvensional yang biayanya makin tinggi. Suatu studi pada delapan perusahaan daur-ulang di Cina menemukan biaya urban mining untuk 1 kg tembaga turun dari US$6.697/kg pada 2010 menjadi US$1.684/kg pada 2015.
Adapun untuk emas turun dari US$8.438/kg pada 2010 menjadi US$1.591/kg pada 2015. Sebagai pembanding, mereka mengestimasi biaya penambangan logam murni antara US$0,8-0,9/kg atau US$1,4-1,6/kg untuk tembaga (tergantung dari metoda ekstraksinya) dan rata-rata US$33.404,63/kg untuk emas.
Perusahaan produsen elektronik bersaing untuk mendapatkan bahan baku dengan harga terbaik, dan merealisasi industri yang berkelanjutan. Samsung Electronics fokus ke penambangan bahan-bahan mineral dari sampah-sampah perkotaan. Samsung telah mengumpulkan e-waste smartphone, TV, kulkas, tablets, dan lainnya di Selandia Baru dan sekitarnya untuk dikirim ke fasilitas daur-ulangnya di Auckland. Pada 2050 Samsung berharap bisa menurunkan 70% emisi karbonnya.
Apple berupaya suatu hari bisa membuat produk-produknya tanpa logam murni. Pada 2021, hampir 20% dari material pada produk-produk Apple berasal dari sumber daur-ulang.
Produsen mobil VW sedang membangun pabrik daur ulang batere untuk mencapai sasaran mereka mendaur-ulang 97% dari bahan bakunya pada akhir hidup EV baterai, meningkat dari 53% sekarang.
Sistem pengumpulan e-waste dan jumlah fasilitas daur-ulang formal masih merupakan tantangan urban mining. Negara-negara sedang berkembang membutuhkan teknologi dan pengetahuan teknis untuk melaksanakan daur ulang yang efektif dan efisien.
Peningkatan jumlah e-waste 5 kali lebih cepat dari pertumbuhan kapasitas daur-ulangnya. Global E-waste Monitor 2024 menyebutkan baru 22,3% e-waste dunia yang didaur ulang secara formal pada 2022.
Pengembangan urban mining sebagai sumber sekunder logam berharga dan rare earth penting dan layak untuk keberlanjutan pasokan bahan baku tersebut ke industri manufaktur barang elektronik dan elektrikal. Pemerintah perlu menyusun peraturan-peraturan yang meningkatkan partisipasi masyarakat dan pelaku industri, investasi fasilitas daur ulang yang aman, dan inovasi teknologi. Partisipasi konsumen dalam sistem pengumpulan menentukan apakah e-waste masuk ke jalur pemulihan atau menjadi landfill.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
