Koperasi Merah Putih dan Otonomi Desa

Sarah Nita Hasibuan
Oleh Sarah Nita Hasibuan
5 Juni 2025, 07:05
Sarah Nita Hasibuan
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Tujuan dikeluarkan Inpres ini sebagai bagian dari upaya dalam mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan berkelanjutan dan pembangunan dari desa menuju pemerataan ekonomi dan Indonesia Emas 2045. 

Hanya saja pembentukan koperasi merah putih ini tidak sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Sebab pembentukan koperasi ini bukan atas dasar kemauan dan kesadaran masyarakat desa, melainkan intervensi dari pemerintah pusat. Selain itu, dari sisi tata kelola pembentukan koperasi diduga bermasalah, sehingga berisiko mengulang kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD). 

Pendekatan instruktif dari pemerintah pusat dalam pembentukan koperasi desa merah putih akan melemahkan otonomi desa. Sebab desa tidak memiliki keleluasaan menentukan lembaga ekonomi berdasarkan potensi dan kebutuhannya, yang pada akhirnya memperburuk kondisi ekonomi desa. Selain itu, pembentukan koperasi desa yang top-down justru akan bertentangan dengan semangat UU desa yang menegaskan bahwa desa adalah subjek pembangunan. 

Pemerintah mestinya berefleksi bahwa koperasi gagal karena pengelolaan yang buruk dan tidak profesional. Dalam banyak studi juga menyebutkan bahwa koperasi yang terlalu bergantung pada pendanaan pemerintah memiliki risiko kegagalan yang lebih besar. Daripada pemerintah menggelontorkan dana yang besar (Rp400 triliun) dengan perencanaan yang belum matang, sebaiknya dana tersebut digunakan untuk program prioritas yang dapat meningkatkan kualitas SDM dan kesejahteraan masyarakat desa. 

Selain itu, alokasi dana yang besar dalam pembentukan koperasi desa ini, berpotensi menyuburkan potensi korupsi di desa, jika tidak dikelola dengan akuntabel dan transparan. Berkaca dari dana desa, dalam satu dekade kasus korupsi mencapai 640 terdakwa dengan kerugian negara Rp598,13 miliar. 

Tata kelola Koperasi Desa Bermasalah

Dalam program koperasi desa merah putih membutuhkan tata kelola yang baik. Namun, pembentukan koperasi ini masih dihadapkan pada beberapa catatan dari perencanaan, penganggaran, maupun kelembagaan. 

Dari sisi perencanaan, model bisnis koperasi desa tidak jelas dan berpotensi mematikan usaha antar pedagang di desa. Jenis usaha sudah ditetapkan pemerintah pusat juga tidak disesuaikan dengan konteks kebutuhan masyarakat. Usaha untuk bahan pokok, obat, unit simpan pinjam, klinik, dan lainnya umumnya telah disediakan di gerai masyarakat atau warung kelontong. Artinya pembentukan koperasi ini membuka persaingan yang tidak berimbang dengan usaha yang ada di masyarakat. 

Dari sisi penganggaran, koperasi merah putih dibebankan kepada APBN, APBD, dan APBDes. Artinya terdapat hak desa yang akan dipotong melalui dana desa 20% pada tahun pertama. Skema ini melanggar UU desa dan berpotensi mengganggu ekonomi desa.

Pengaturan pemerintah pusat terkait skema pembiayaan koperasi ini juga telah menyalahi filosofi koperasi, apalagi sampai mengarahkan pembiayaan koperasi dari kredit bank Himbara (himpunan bank milik negara). Skema utang ini berpotensi membuat desa terjebak dalam kemiskinan, jika tidak dikelola secara profesional. Pembentukan koperasi desa yang tidak seimbang dengan kemampuan keuangan negara, menyebabkan risiko kegagalan program ini. 

Dari sisi kelembagaan, melalui Surat Edaran 1/2025, koperasi desa dibentuk melalui musyawarah desa dengan peserta pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa dan masyarakat setempat. Dalam SE ini juga mengamanatkan kepala desa sebagai ketua pengawas. Artinya secara umum desain organisasi koperasi desa ini seragam. Padahal koperasi idealnya tumbuh secara bottom up dengan corak organisasi yang variatif yang disesuaikan dengan isu dan tantangan kelompok masyarakat dan desa. 

Koperasi merah putih juga berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Pangan dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Namun, dalam Peraturan Pemerintah 147/2024 tidak menyebutkan koperasi menjadi bagian dari lingkup kerja Kementerian Koordinator Bidang Pangan. Implikasinya menimbulkan ketidaksinkronan kebijakan di lapangan, tumpang tindih kebijakan dan ketidaktepatan pengguna kuasa anggaran.  

Persoalan lain yang tidak kalah krusial adalah, potensi tumpang tindih antara koperasi merah putih dengan Bumdes. UU Desa, mengamanatkan Bumdes menjadi lembaga ekonomi resmi desa yang dikelola bersama masyarakat. Artinya jika koperasi merah putih dikelola dengan tujuan yang sama, maka akan memunculkan masalah terkait kewenangan, pembagian peran dan pengelolaan aset. 

Jikapun koperasi desa merah putih pada akhirnya dijalankan, apakah sudah dilandasi dengan kesiapan institusi di level desa? Sebab bicara koperasi bukan hanya soal pendanaan, yang tidak kalah penting adalah kesiapan sumber daya manusia. Fakta menunjukkan bahwa masih terjadi disparitas SDM di tingkat desa dalam mengelola keuangan. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, justru akan menciptakan bancakan atau sumber korupsi baru di tingkat desa.  

Untuk mencegah koperasi desa ini menjadi potensi korupsi baru, pemerintah perlu menyusun peta jalan pembangunan dan pengembangan koperasi merah putih. Intervensi berbasis assessment juga perlu dilakukan untuk melihat kesiapan SDM, infrastruktur, operasional dan pemasaran yang disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan lokal. 

Dalam konteks ini, pemerintah perlu memberikan fleksibilitas terkait usaha yang wajib dan opsional yang diselenggarakan pemerintah desa. Fleksibilitas ini akan mendorong prakarsa dan jiwa entrepreneur anggota koperasi. Terakhir, pemerintah perlu membangun transparansi tata kelola koperasi desa untuk meningkatkan rasa kepemilikan koperasi desa oleh masyarakat.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Sarah Nita Hasibuan
Sarah Nita Hasibuan
Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...