Catatan Aspek Implementasi dari RUPTL 2025-2034

Pri Agung Rakhmanto
Oleh Pri Agung Rakhmanto
10 Juni 2025, 07:05
Pri Agung Rakhmanto
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah baru saja menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) periode 2025-2034 pada akhir Mei lalu. RUPTL ini untuk mengakomodasi target pemerintahan Prabowo Subianto, khususnya pencapaian Net Zero Emissions (NZE), pertumbuhan ekonomi, dan swasembada energi. 

Secara garis besar, RUPTL baru masih menggunakan asumsi skenario pertumbuhan ekonomi yang sama dalam RUPTL sebelumnya, yakni 5,2% per tahun. Meski lebih rendah dari target Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), tetapi masih lebih lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi 2020-2024 sebesar 5,03%.

Penjualan tenaga listrik nasional diproyeksikan tumbuh 5,2% per tahun pada 2025-2034. Volume penjualan diperkirakan meningkat dari 323.044 GWh pada 2025 menjadi 510.575 GWh pada 2034. Sektor industri dan rumah tangga menjadi penyumbang utama peningkatan penjualan listrik nasional. 

Dalam kurun waktu tersebut, penjualan ke sektor industri diproyeksikan meningkat 83.278 GWh, sementara sektor rumah tangga diproyeksi meningkat sebesar 56.043 GWh. Jika digabungkan, kedua sektor berkontribusi 74,3% terhadap total kenaikan penjualan listrik nasional dalam 10 tahun ke depan yang diproyeksikan 187.531 GWh.

RUPTL 2025-2034 menyiapkan dua skenario pengembangan kapasitas pembangkit listrik, yaitu skenario Renewable Energy (RE) Base dan skenario Accelerated Renewable Energy Development (ARED). Penambahan kapasitas pembangkit 10 tahun diproyeksikan mencapai 52,8 GW-69,5 GW. 

Proyeksi RE Base didasarkan pada aspek kelayakan penyelesaian proyek (workability). Skenario ini memiliki pendekatan yang relatif lebih realistis, tanpa secara eksplisit mengejar target penurunan emisi atau peningkatan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) tertentu. 

Sedangkan pendekatan ARED mengedepankan upaya percepatan transisi energi bersih, dengan menargetkan penurunan emisi dan peningkatan porsi EBT secara lebih progresif.

Berdasarkan jenis pembangkitnya, penambahan kapasitas dalam skenario ARED akan difokuskan pada pengembangan PLTS sebesar 17,1 GW; PLTA/PLTM (11,7 GW); PLTB (7,2 GW); dan PLTP sebesar 5,2 GW. Selain itu, mulai mengintegrasikan PLTN dengan kapasitas 0,5 GW sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi jangka panjang. 

Skenario RE Base menunjukkan kecenderungan yang lebih konservatif, dengan penambahan kapasitas yang masih didominasi oleh PLTA/PLTM (11,9 GW); PLTS (7,1 GW); dan tidak menargetkan penggunaan PLTN. Porsi pembangkit berbasis energi fosil juga lebih besar dalam skenario RE Base (35,4%), dibandingkan skenario ARED (24%). 

Secara keseluruhan, dalam kedua skenario tersebut, porsi EBT dalam perencanaan sistem ketenagalistrikan nasional tercatat tetap dominan yaitu sebesar 51,9% (27,37 GW) pada skenario RE Base dan 61,3% (42,56 GW) pada skenario ARED.

Dari garis besar dan substansi pokok RUPTL 2025-2034 tersebut, ada beberapa catatan terkait aspek implementasinya:

Pertama, asumsi dasar yang digunakan dalam RUPTL 2025-2034, seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik, pada dasarnya relatif lebih doable. Dalam hal ini sudah menggunakan asumsi yang lebih moderat–mengakomodasi realitas–dibandingkan asumsi pertumbuhan ekonomi 8% yang mengemuka saat ini atau yang digunakan dalam RUKN. 

Namun, jika dibandingkan dengan realisasi, baik pertumbuhan ekonomi maupun penjualan listrik rata-rata 5-10 tahun terakhir, asumsi yang digunakan masih terbilang (cukup) optimistis. Pada 2015-2024, secara kumulatif, penjualan listrik nasional meningkat sebesar 105.530 GWh dengan rata-rata pertumbuhan 4,56% per tahun.

Kedua, dalam keterkaitan dengan arah dan pencapaian target NZE, baik skenario RE base maupun ARED, keduanya menunjukkan keberpihakan dan komitmen terhadap agenda transisi energi. Terutama dalam pengembangan EBT sebagai elemen utama penambahan penyediaan listrik; yaitu sebesar 51,9% (27,37 GW) pada skenario RE Base dan 61,3% (42,56 GW) pada skenario ARED. 

Ketiga, dalam kaitan dengan ketahanan energi dalam pengertian keamanan-keandalan pasokan juga cukup realistis. Kedua skenario RUPTL masih menunjukkan peningkatan kapasitas pembangkit berbasis energi fosil, termasuk pembangunan PLTU yang tetap dilanjutkan sesuai perencanaan proyek, baik yang sudah ongoing maupun committed

Hal ini tidak terlepas dari kondisi riil kelistrikan nasional saat ini di mana selama periode 2020-2024 peran energi fosil, khususnya batu bara masih penting. Dalam empat tahun terakhir, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit tercatat meningkat dari 66,30% pada 2020, menjadi 67,66% pada 2023, dan menjadi 67,09% pada 2024. 

Porsi gas alam tercatat juga masih penting, yaitu di kisaran 15,96%-17,15% pada 2020-2024. Sementara itu, pada periode yang sama, porsi EBT berfluktuasi dengan kecenderungan menurun di kisaran 13,30%-12,15%. Pada 2020 porsi EBT mencapai 13,22%, turun menjadi 12,88% di 2021, kembali  mencapai 13,30% pada 2022, dan turun menjadi 12,21% dan 12,15% pada 2023 dan 2024.

Keempat, berkaitan dengan progres implementasi atas target EBT yang sebelumnya ada, yaitu pada RUPTL 2021-2030; hingga April 2025, dari total rencana penambahan kapasitas sebesar 20,9 GW, baru 1,6 GW (sekitar 8%) yang telah mencapai tahap Commercial Operation Date (COD). Sebagian besar proyek masih berada pada tahap pengadaan (8,5 GW) dan pendanaan (4,7 GW). 

Angka ini menggambarkan bahwa capaian dan implementasi RUPTL di dalam hal yang berkaitan dengan target bauran EBT pembangkit bukanlah hal yang sederhana. Dari perspektif teori ekonomi, secara struktural, sektor kelistrikan nasional adalah regulated single-buyer market

Dalam skema single-buyer market– tanpa memasukkan unsur regulated, kelayakan keekonomian proyek listrik yang bersumber dari EBT bukan pilihan yang ekonomis dibandingkan listrik berbasis fosil. 

Apalagi ditambah unsur regulated, di mana pada sisi harga akhir (tarif listrik) diatur dan dibatasi untuk menjaga daya beli masyarakat, perekonomian, dan kemampuan fiskal (subsidi) pemerintah. Listrik EBT jelas bukan pilihan, kecuali ada penugasan khusus dan intervensi dukungan fiskal secara langsung dari pemerintah. 

Target proyeksi pembangkit listrik EBT, Biaya Pokok Penyediaan (BPP), tarif subsidi listrik, dan pendanaan adalah aspek yang saling berkaitan dan akan menentukan capaian atas proyeksi skenario penyediaan listrik. Pembahasan dan solusi komprehensif konkret tentang aspek ini, sayangnya tidak muncul secara eksplisit di dalam RUPTL. 

RUPTL yang disusun selama ini, mungkin dapat dikatakan terlalu “dinamis”, untuk dapat disebut sebagai sebuah perencanaan. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Pri Agung Rakhmanto
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...