Anjloknya Harga Nikel dan Krisis Tata Kelola


Indonesia tengah berada di panggung utama transisi energi global. Dengan cadangan nikel terbesar dunia, Indonesia menjadi pusat perhatian pengembangan industri kendaraan listrik. Namun di balik kemilau potensi tersebut, tersimpan ironi mendalam: ketika harga nikel dunia terus merosot, Indonesia justru gagal mendapatkan nilai tambah maksimal dari kekayaan alamnya. Penyebab utamanya bukan karena minim sumber daya, melainkan akibat implementasi tata kelola yang kerap dipersoalkan.
Sejak diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel pada 2020, Indonesia telah mendorong hilirisasi nikel secara besar-besaran melalui pembangunan smelter. Menurut data Kementerian ESDM, jumlah smelter meningkat pesat dari 10 unit pada 2015 menjadi 47 unit smelter pada 2023. Itu belum termasuk smelter tahap konstruksi sebanyak 31 unit dan rencana pembangunan 38 unit sehingga diperkirakan jumlahnya akan mencapai 116 unit.
Tak bisa dimungkiri bahwa kebijakan ini semula berdampak positif, seperti meningkatkan ekspor dan devisa hasil ekspor Indonesia, mendongkrak investasi, membuka lapangan kerja, serta berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah, terutama di wilayah penghasil nikel, seperti provinsi Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Program hilirisasi dan ekspansi besar-besaran dalam produksi dan pemurnian nikel juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan pasokan tercepat. Mengacu “Global Critical Minerals Outlook 2025” yang dirilis oleh International Energy Agency (IEA) baru-baru ini, Indonesia menyumbang sekitar 90% dari pertumbuhan pasokan nikel global dari 2020 hingga 2024.
Sejatinya, lonjakan pertumbuhan produksi dan pasokan tersebut terekam dalam satu dekade terakhir. Sebagai gambaran, pada 2015, produksi nikel Indonesia masih di kisaran 200 ribu ton. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, produksinya terus melonjak, bahkan sudah naik 9-11 kali lipat menjadi 1,8 juta ton pada 2023 dan 2,3 juta ton pada 2024. Pada periode yang sama, nilai ekspor nikel juga melesat dari US$587 juta menjadi US$6,8 miliar pada 2023 dan US$8 miliar pada 2024.
Tak pelak, Indonesia dikenal sebagai pemain utama nikel dunia. Pada 2023, menurut data IEA, Indonesia menyumbang 55% pasokan nikel global. Lalu pada 2024, kontribusinya naik menjadi 64% dari pasokan global. Peningkatan pasokan dari Indonesia ini memang tidak bisa dilepaskan dari adanya peningkatan permintaan nikel di pasar global seiring dengan pertumbuhan pasar kendaraan listrik, baterai penyimpanan dan jaringan listrik dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2024 saja, permintaan nikel di pasar dunia kembali meningkat sebesar 6-8%.
Surplus Pasokan Nikel di Pasar Global
Persoalannya, pertumbuhan pasokan nikel, terutama dari Indonesia telah berdampak pada kelebihan pasokan (oversupply) nikel di pasar global selama beberapa tahun ini. Meskipun, permintaannya terus meningkat, namun kenaikan pasokan masih jauh lebih tinggi sehingga surplus akan berlanjut. Sejak harga nikel mencapai puncaknya pada Februari 2022, pasokan nikel hasil tambang secara global telah naik hampir 20% dari 3,3 juta ton pada 2022 menjadi 3,9 juta ton pada 2024. Bahkan, laporan IEA memperkirakan surplus nikel masih akan terjadi hingga 2030, terutama disebabkan oleh lonjakan investasi smelter nikel di Indonesia.
Akibat adanya surplus pasokan secara terus menerus, maka tren penurunan harga nikel pun tak terhindarkan, terutama sejak lonjakan harga tajam terjadi pada 2021-2022. Sepanjang 2024, harga nikel global kembali turun sekitar 10% melanjutkan penurunan tahun-tahun sebelumnya. Padahal pada Februari 2022, harga nikel global pernah mencapai puncaknya di kisaran US$48 ribu per ton, namun selanjutnya terus menurun dan berada di kisaran US$15,5 ribu per ton pada Mei 2025.
Adanya penurunan harga ini tentu saja membuat nilai tambah dan manfaat yang dirasakan Indonesia ikutan menurun. Salah satu contohnya dari sisi ekspor. Seperti dikutip dari Databoks Katadata yang bersumber dari BPS, pada 2022, volume ekspor nikel Indonesia mencapai 777,4 ribu ton dengan nilai ekspor hampir US$6 miliar. Lantas, pada 2023, volume ekspor nikel melonjak hampir dua kali lipat menjadi 1,26 juta ton. Namun, kenaikan nilai ekspornya tidak sebanding, hanya naik sedikit menjadi US$6,8 miliar.
Turunnya manfaat bagi Indonesia bukan saja dari nilai ekspor yang tidak optimal. Kajian sejumlah lembaga think tank seperti oleh Transisi Bersih (2024) menyebutkan bahwa dominasi kepemilikan oleh perusahaan Cina atas fasilitas smelter juga membuat manfaat ekonomi domestik semakin berkurang karena sebagian besar devisa ekspor mengalir ke korporasi asing. Contohnya, Tsingshan Group dan Jiangsu Delong Nickel yang sudah beroperasi di kawasan industri, seperti Morowali dan Weda Bay. Artinya, meskipun menguasai produksi, Indonesia tidak bisa maksimal menikmati nilai tambah karena hasil olahan nikel milik perusahaan asing.
Selain berdampak bagi negara, penurunan harga nikel global juga mempengaruhi pendapatan dan laba korporasi. Contohnya, dampak yang dirasakan PT Vale Indonesia Tbk. Adanya penurunan harga dari rata-rata US$23 ribu per ton pada 2023 menjadi sekitar US$17 ribu per ton pada 2024 telah mengakibatkan pendapatan perusahaan ini menurun hingga 23% dari US$1,2 miliar pada 2023 menjadi US$950 juta pada 2024. Pada periode yang sama, laba bersihnya juga anjlok 79% dari US$274 juta menjadi US$58 juta.
ESG sebagai Prasyarat di Industri Nikel
Melihat realita tersebut, pesan yang disampaikan oleh Chairman Indonesian Mining Institute, Prof Irwandy Arief di acara Closing Bell CNBC Indonesia pada 3 Januari 2025 untuk mengendalikan produksi patut diperhatikan. Dia mengungkapkan bahwa keseimbangan antara supply dan demand di pasar nikel akan terwujud, jika ada keinginan kuat pemerintah dan pelaku industri bersama-sama melalui implementasi good mining practices atau prinsip-prinsip environmental, social dan governance (ESG) di penambangan dan industri nikel. Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno di acara ESG Mining Forum di Hotel Sultan, Jakarta pada 3 Juni 2025 juga menekankan bahwa prinsip ESG harus menjadi prasyarat utama di industri nikel.
Mengacu pada good mining practices atau praktik penambangan yang baik yang tertuang dalam Kepmen ESDM No. 1827/2018, produksi nikel wajib dijalankan secara terkendali, berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan maupun masyarakat. Dalam ketentuan ini, perusahaan wajib mencantumkan rencana produksi, menambang secara optimal bukan eksploitatif, tidak boleh terus menggali tanpa reklamasi bertahap, serta mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan dampak sosial.
Nah, apakah good mining practises di penambangan dan industri nikel sudah dijalankan dengan baik memang kerap dipertanyakan banyak pihak. Bahkan, saat debat pasangan calon Presiden-Wapres 2024, salah satu pasangan kandidat justru menuding pemerintah sebelumnya telah ugal-ugalan memberikan izin smelter nikel. Adanya oversupply mengindikasikan banyaknya proyek smelter tidak disertai dengan perencanaan produksi nasional yang terkoordinasi sesuai kebutuhan pasar dan cadangan. Bahkan, perusahaan tetap berlomba meningkatkan produksi di saat harga sudah jatuh.
Problem lainnya, industrialisasi nikel di Indonesia juga kontraproduktif dengan agenda transisi energi yang menjadi alasan utama hilirisasi. Mayoritas smelter di Indonesia menggunakan PLTU Captive yang menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar dan bertentangan dengan agenda Indonesia mengurangi emisi karbon. Belum lagi, persoalan deforestasi yang masif, pencemaran udara dan air, serta masalah kesehatan warga akibat pencemaran dari smelter tersebut, serta persoalan keselamatan dan kesehatan pekerja yang sering mencuat di kawasan industri nikel.
Yang tidak bisa diabaikan adalah penambangan nikel di pulau-pulau kecil yang seharusnya dilarang berdasarkan UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K). Di Pasal 23 Ayat (2) disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, perikanan, pertanian organik, dan pertahanan negara. Pertambangan tidak termasuk dalam daftar tersebut. Pulau kecil yang dimaksud adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 200 ribu hektare.
Dalam kaitan ini, publik justru dihebohkan oleh penambangan nikel di gugusan kepulauan Raja Ampat di Papua Barat Daya yang sangat dikenal sebagai surga wisata alam Indonesia. Pulau Gag dan Pulau Manuran adalah bagian dari kawasan Raja Ampat dan termasuk pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi. Karena itu, tidak mengherankan jika muncul kritikan tajam dari banyak pihak atas penambangan di kawasan tersebut karena merusak ekosistem, menimbulkan konflik sosial, mengganggu biodiversitas, serta berpotensi mencemari udara, tanah dan air laut.
Mencegah Krisis Tata Kelola di Bisnis Nikel
Situasi dan ironi yang terjadi dalam industri nikel tersebut bisa ditinjau dari perspektif Domenec Mele, pakar etika bisnis terkemuka dalam bukunya yang berjudul “Business Ethics in Action: Managing Human Excellence in Organizations (2020).” Buku ini menjadi rujukan dalam praktik etika bisnis global, termasuk kampus dan sekolah bisnis tentang bagaimana implementasi etika di dunia bisnis.
Mengacu pada buku tersebut, beragam persoalan di industri nikel Indonesia merupakan wujud dari contoh kegagalan dalam mengimplementasikan prinsip tata kelola dalam mengelola sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan. Indikasinya, hilirisasi dilakukan nyaris tanpa kendali serta kurang mempertimbangkan keseimbangan antara keuntungan jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang.
Menurut Mele, salah satu fungsi utama tata kelola adalah bagaimana negara, pemerintah atau perusahaan tidak mengabaikan common good-kebaikan bersama masyarakat dan lingkungan. Persoalannya, ketika kekuasaan digunakan hanya untuk mendorong pertumbuhan tanpa arah dan kontrol, maka yang terjadi adalah dominasi negara dan korporasi terhadap komunitas, bukan bentuk pelayanan negara atau korporasi kepada rakyat.
Semestinya, sebagai penjaga kepentingan nasional, pemerintah memainkan peran secara maksimal dalam mengatur tata kelola di tambang dan industri nikel. Apalagi, berbagai kajian menyebutkan bahwa overproduksi justru terbukti merugikan Indonesia, mempercepat habisnya cadangan, serta menurunkan daya tawar Indonesia di pasar internasional.
Sayangnya, pemerintah seolah terlambat mengambil langkah-langkah dalam menghadapi berbagai situasi tersebut. Misalnya, baru mengumumkan rencana kenaikan tarif royalti secara bertahap untuk bijih nikel, nikel matte dan feronikel pada Maret 2025, setelah harga nikel sudah jauh terpuruk. Dalam kasus penambangan di Raja Ampat, pemerintah akhirnya mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di sejumlah pulau di kawasan Raja Ampat setelah isu ini merebak dan mendapat kritikan luas di media massa dan media sosial. Namun, PT Gag Nikel yang beroperasi di pulau Gag tetap diizinkan beroperasi, meski pemerintah berjanji akan memperketat pengawasannya.
Kini, sudah saatnya pemerintah tidak hanya menjadi tuan rumah tambang, melainkan pemegang kendali tata kelola yang adil, strategis dan berorientasi berkelanjutan. Implementasi good mining practices dan prinsip ESG, moratorium izin smelter baru, pengendalian produksi nasional, adopsi energi terbarukan, larangan penambangan di pulau-pulau kecil, serta keterlibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan adalah langkah-langkah minimum yang perlu segera diambil.
Nikel adalah aset strategis Indonesia. Namun, jika tidak dikelola dengan memperhatikan prinsip-prinsip ESG, kekayaan ini akan berubah menjadi beban. Pemerintah tidak bisa lagi berdalih “mengejar pertumbuhan” sembari membiarkan krisis tata kelola terjadi. Sebab, seperti kata Mele, pertumbuhan yang merugikan sesama dan merusak lingkungan bukanlah pembangunan, melainkan ancaman bagi masa depan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.