Ketika Norma Tak Lagi Jadi Batas: Ancaman Fantasi Sedarah


Tentu sebagian besar muslim memahami hadis nabi Muhammad SAW, yang menjelaskan tentang bahaya dosa riba. Untuk menggambarkan beratnya dosa riba, beliau memberikan analogi yang mudah dipahami. Dosa riba paling ringannya saja, kadar dosanya lebih besar daripada bersenggama dengan ibu kandung.
Analogi tersebut telah meresap dan mudah dipahami oleh kaum muslim, karena tahu bahkan di zaman jahiliyah pun, masyarakat masih mempertahankan logika dan norma yang jelas. Yakni batas norma yang menyiratkan kemustahilan manusia bersenggama dengan keluarga sedarah.
Tapi apa yang terjadi di zaman ini? Zaman yang diyakini sebagai peradaban manusia yang dikatakan paling modern. Analogi tersebut seakan bertransformasi dari perumpamaan sesuatu yang tidak terbayangkan, bahkan cenderung mitos menjadi kenyataan, bahwa bersenggama dengan keluarga sedarah mulai dianggap normal oleh sebagian manusia di era ini.
Grup Facebook “Fantasi Sedarah” seakan membuka mitos tersebut. Sebuah mitos yang menjadikan norma hanya sebatas bentuk konstruktif semu moral manusia yang bisa dilanggar tanpa mendapatkan cemoohan dari lingkungan sosialnya. Tidak ada pembatas atau ketakutan bahwa menjadikan keluarga sebagai objek seks adalah sesuatu yang tidak normal.
Facebook dianggap sebagai salah satu media sosial yang paling kuat dipersepsikan menangkap perilaku grassroot. Artinya ancaman fenomena penyimpangan seksual ini nyata adanya dan bergerak bebas menunggu kesempatan “memangsa” orang-orang yang kita cintai atau bahkan diri kita sendiri. Yang lebih menakutkannya, ancaman tersebut bisa saja sangat dekat di lingkungan sekitar kita.
Dengan adanya grup “Fantasi Keluarga” di Facebook, seakan membuka mata masyarakat bahwa ancaman kekerasan seksual terutama anak sangat dekat. Jijik? Itu pasti. Tapi bagaimana fenomena ini seakan menjadi lumrah di sebagian kecil komunitas sosial di sekitar kita? Data menjelaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak memang “lumrah” terjadi di lingkungan terdekat bahkan keluarga.
Predator Seksual dari Lingkungan Terdekat
Kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia masih menjadi ancaman serius dengan bentuk yang beragam dan pelaku yang seringkali berasal dari lingkungan dekat korban. Berdasarkan data SNPHAR (Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja) 2024, sekitar 9 dari 100 anak usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya. Ancaman ini diperparah dengan fakta bahwa pelaku kekerasan seksual paling sering adalah teman sebaya, pasangan atau pacar, bahkan keluarga pun turut menjadi pelaku di lingkungan terdekat anak.
Bentuk kekerasan seksual yang paling umum adalah sentuhan yang tidak diinginkan, ajakan untuk berhubungan seksual, pemaksaan secara fisik, hingga hubungan seksual dengan tekanan atau ancaman. Selain itu, terdapat juga kekerasan seksual non-kontak, seperti dipaksa menyaksikan kegiatan seksual, diminta mengirimkan konten seksual, atau dilibatkan dalam foto/video seksual.
Hal yang patut menjadi konsen utama adalah anak-anak korban kekerasan seksual yang mungkin saja “tercatat” sebagai objek seks grup FB fantasi sedarah, pasti memiliki respons yang minim karena keterbatasan emosi dan pemahaman. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual biasanya sulit melaporkan tindak kekerasan karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk melindungi diri sendiri. Hal ini wajar, karena anak selalu bergantung pada orang dewasa, terutama orang tua.
Fantasi Sedarah Apakah Mungkin?
Awalnya saya adalah salah satu orang yang skeptis dengan kemungkinan ini. Dari beberapa jurnal zoologi yang pernah saya baca, hewan pada umumnya cenderung tidak memiliki ketertarikan seksual kepada kerabat dekat. Ini adalah mekanisme penghindaran perkawinan sedarah yang telah menjadi insting dari perspektif evolusi.
Hasil riset De Boer & Trejo (2021) yang dimuat dalam Jurnal Nature Ecology & Evolution, bahwa meta-analisis dari 139 studi eksperimental yang dilakukan, menemukan hewan secara konsisten menghindari perkawinan dengan kerabat. Hewan cenderung akan depresi apabila kawin inses dengan kerabat dekat, karena itu mereka menghindari perkawinan dengan kerabat dekatnya.
Bahkan menurut hasil riset Rosenbaum dkk (2015) yang terbit dalam Jurnal Ethology, Primata cenderung menghindari inses, terutama antara ibu dan anak. Apabila ada satu individu yang terlihat dekat dengan individu lain secara tidak normal, hubungan ini kemungkinan besar didasarkan pada seleksi kerabat daripada ketertarikan seksual.
Kesimpulan dari dua jurnal tersebut; umumnya hewan menghindari atau bahkan tidak memiliki ketertarikan seks dengan keluarganya. Namun manusia adalah entitas yang unik, sehingga jangan heran apabila perilakunya bisa lebih daripada hewan.
Dalam artikel “Fantasy and Reality: An Essay on Incest” oleh Laurie Betito dan Andrea Doyle (2008), Fantasi seksual terhadap orang tua atau anggota keluarga lain dalam tahap perkembangan awal seorang anak bisa dianggap normal dan universal, selama tidak diwujudkan dan dapat diolah serta direpresi secara sehat. Yang menjadi masalah apabila fantasi tersebut terus terpelihara karena ketidakseimbangan psikologis akibat trauma kekerasan, pelecehan, atau dinamika keluarga disfungsional.
Ciptakan Keluarga yang Harmonis
Orang tua yang baik dan harmonis adalah kunci utama untuk bisa memberikan pendidikan moral, norma bahkan seks yang normal. Orang tua dituntut untuk mampu berkomunikasi secara intens dengan anak, agar pengaruh buruk seperti fantasi seksual yang berlebihan, terlebih terhadap keluarga sendiri tidak turut serta tumbuh dalam tahap perkembangan emosional seorang anak.
Dalam konteks keluarga, dinamika hubungan dan komunikasi yang terbuka mengenai seksualitas dapat membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang variasi normal dalam fantasi dan perilaku seksual. Hal ini penting untuk mencegah keluarga kita, terutama anak kita untuk terjebak menjadi korban atau bahkan mungkin menjadi calon pelaku kejahatan seksual di lingkungan keluarga.
Orang tua harus memberikan pendidikan norma diikuti dengan mencontohkan perilaku yang baik, agar anak-anak dapat memahami norma-norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Sebuah pedoman perilaku yang bisa diterima dalam suatu masyarakat. Sehingga batas norma yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat dipahami secara utuh oleh anak kita.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.