Rawa Singkil dan Harga Deforestasi di Aceh
Aceh merupakan provinsi dengan kualitas hutan terbaik di Pulau Sumatra. Secara nasional, tutupan hutannya menempati peringkat ke-9, melampaui rata-rata nasional. Namun kondisi ini terus mengalami penurunan. Hutan Aceh secara perlahan menyusut, dan dalam banyak kasus, alih fungsi tersebut tidak menghasilkan produktivitas baru.
Pada 2006, luas hutan Aceh mencapai 3,37 juta hektare. Tutupan itu mencakup enam kategori: hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove sekunder, dan hutan tanaman. Namun, berdasarkan laporan Tingkat Referensi Emisi dan Serapan Hutan Aceh (Bappeda Aceh, 2023), luas hutan pada 2020 tinggal 3,01 juta hektare. Artinya, dalam waktu 14 tahun, sekitar 360.000 hektare hutan hilang.
Yang memprihatinkan, sebagian besar lahan tersebut tidak beralih menjadi lahan produktif. Sebanyak 188.000 hektare berubah menjadi kawasan tidak produktif seperti semak belukar, sabana, lahan kosong, dan rawa terbuka. Hanya sekitar 165.000 hektare yang dialihfungsikan menjadi area pertanian, perikanan, atau perkebunan.
Penurunan luas hutan ini tak hanya berdampak ekologis, tetapi juga sosial-ekonomi. Laporan Margono dkk (2014) menyebut bahwa deforestasi di Indonesia, termasuk Aceh, dipicu oleh ekspansi perkebunan, pembalakan liar, dan pembangunan infrastruktur. Dalam konteks Aceh, pembukaan lahan juga kerap terjadi di kawasan konservasi yang semestinya dilindungi secara ketat.
Kawasan Ekosistem Leuser adalah salah satu bentang alam tropis tersisa di Asia Tenggara yang masih dihuni oleh empat satwa kunci dunia: gajah, orangutan, badak, dan harimau. Di dalamnya, terdapat Suaka Margasatwa Rawa Singkil, kawasan rawa gambut dengan populasi orangutan terpadat di Indonesia dan dunia.
Rawa Singkil, yang ditetapkan sebagai suaka margasatwa sejak 1998, membentang seluas 82.000 hektare atau lebih luas dari wilayah negara Singapura. Hampir seluruh areanya merupakan rawa gambut dalam yang sangat efektif menyerap karbon. Selain penting secara ekologis, kawasan ini juga menopang ekonomi masyarakat di sekitarnya, seperti Desa Teluk Rumbia.
Namun, sejak 2022, kami mengamati adanya peningkatan drastis dalam laju kehilangan hutan di kawasan ini. Berdasarkan pemantauan citra satelit sejak 2015, kerusakan yang terjadi setelah 2022 menunjukkan pola pembukaan lahan sistematis: kanal dibangun, tanah gambut dikeringkan, lalu kawasan dibakar atau dibuka untuk perkebunan. Saat kami turun ke lapangan, di beberapa titik, pohon-pohon tumbang masih terlihat, juga sisa-sisa asap pembakaran.
Meski merupakan kawasan konservasi, namun upaya penegakan hukum terkesan tidak serius. Sejauh ini hanya pelaku-pelaku kecil yang terjaring. Padahal, perusakan kawasan konservasi seperti Suaka Margasatwa Rawa Singkil jelas melanggar hukum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa aktivitas pembukaan lahan atau perambahan di kawasan konservasi merupakan tindak pidana yang bisa dikenai sanksi penjara.
Sejak 2022, kami telah mengirim lebih dari selusin surat kepada pemerintah daerah maupun kementerian terkait dengan menembuskan kepada Presiden. Isinya berupa laporan kerusakan dan permintaan tindak lanjut. Namun belum satu pun pelaku yang diproses secara hukum. Situasi ini mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah dalam melindungi aset ekologis yang sangat vital tersebut.
Deforestasi membawa dampak serius bagi masyarakat. Selama tujuh tahun terakhir, tercatat 344 peristiwa banjir di Aceh. Seluruh kabupaten dan kota pernah mengalami banjir, bahkan wilayah-wilayah di dataran tinggi seperti Aceh Tengah. Kabupaten Aceh Singkil paling sering terdampak, dengan Desa Teluk Rumbia sebagai salah satu titik langganan banjir. Ratusan hektare sawah tergenang dan gagal panen. Jalan-jalan desa rusak, mobilitas terganggu, dan biaya hidup meningkat. Ini menunjukkan bahwa sekuat apa pun pembangunan infrastruktur, jika kawasan hulu rusak, maka hasilnya tetap rapuh.
Data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menunjukkan kerugian ekonomi akibat bencana pada tahun 2023 mencapai Rp411 miliar. Jika tren ini terus terjadi, maka 4-5% dari total APBA Aceh harus terus-menerus dialokasikan untuk pemulihan, bukan pembangunan baru.
HAkA dan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat, meski sektor kehutanan dan perkebunan berkontribusi sekitar 20-30 persen terhadap PDRB Aceh, kesejahteraan masyarakat masih rendah. PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) per kapita Aceh pada 2023 hanya sekitar Rp41 juta per tahun, tergolong rendah secara nasional.
Kontribusi langsung sektor kehutanan, khususnya penebangan kayu, hanya sebesar 1,54%. Dengan kata lain, deforestasi yang menimbulkan risiko bencana besar, justru tidak memberi sumbangan ekonomi yang sebanding.
Bencana juga memperparah kemiskinan. Ketika banjir melanda, aktivitas ekonomi masyarakat berhenti, aset rusak, dan jalan atau jembatan terputus. Biaya pemulihan sering kali melebihi biaya pembangunan awal. Di desa-desa, sekolah rusak, irigasi lumpuh, dan produktivitas pertanian menurun tajam. Ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
Melihat laju deforestasi yang makin mengkhawatirkan, terlebih di kawasan konservasi seperti Suaka Margasatwa Rawa Singkil, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah serius, bukan sekadar seremonial atau imbauan. Dua langkah strategis mendesak untuk segera dilakukan.
Pertama, memperkuat upaya perlindungan hutan untuk mempertahankan tutupan hutan yang tersisa, khususnya di kawasan-kawasan bernilai ekologis tinggi. Upaya ini harus dibarengi dengan program reboisasi secara sistematis dan berkelanjutan pada wilayah-wilayah hutan yang sudah terdegradasi. Rehabilitasi tidak cukup hanya dengan menanam pohon, tetapi juga memastikan bahwa hutan yang tumbuh kembali memiliki struktur dan fungsi ekologis yang memadai, termasuk mendukung keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Kedua, dan yang selama ini paling lemah pelaksanaannya, adalah mengoptimalkan peran aparat penegak hukum dalam mencegah perusakan hutan dan melaksanakan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Ini mencakup patroli aktif, investigasi atas laporan masyarakat, serta penindakan hukum terhadap pelaku perambahan dan pembakaran hutan, terutama di kawasan konservasi.
Selama ini, kami tidak melihat adanya upaya nyata penindakan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, terhadap para pelaku perusakan. Bahkan setelah kami mengirimkan lebih dari selusin surat pelaporan sejak 2022, belum ada satu pun pelaku yang diproses secara hukum. Ketidakseriusan ini hanya akan membuka ruang impunitas, yang membuat para perusak hutan merasa aman beroperasi di zona yang seharusnya paling dilindungi.
Tanpa perlindungan dan penegakan hukum yang nyata, deforestasi akan terus berjalan, dan bencana ekologis yang menyertainya akan makin membebani masyarakat Aceh.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
