Pengungkapan Sukarela Saat Kesulitan Keuangan
Dari data Bursa Efek Indonesia per 20 Juni 2025, tercatat sebanyak 53 perusahaan dengan notasi E yang berarti memiliki ekuitas negatif. Perusahaan seperti ini sedang mengalami kesulitan keuangan dengan penyebab beragam, antara lain terlalu banyaknya utang, pengelolaan bisnis yang buruk, dan atau industri yang terdisrupsi berbagai hal. Dalam kondisi seperti ini, ada kecenderungan awal dari manajemen untuk menahan informasi negatif atau mencoba meminimalkan skala masalah, dan berharap situasi akan membaik dengan sendirinya. Namun, pendekatan ini, justru dapat memperburuk krisis dan mengikis kepercayaan pemangku kepentingan.
Ada beberapa alasan yang sering disebut sebagai bias psikologis untuk memahami mengapa manajer seringkali enggan dalam melakukan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), terutama saat menghadapi kesulitan keuangan. Dengan memahami bias yang terjadi, diharapkan pemilik (investor) bisa meminimalkannya lewat serangkaian kebijakan dan prosedur.
Pertama, manajer, terutama yang memiliki rekam jejak sukses atau berada dalam posisi kepemimpinan yang kuat, cenderung terlalu percaya diri (overconfidence) pada kemampuan mereka untuk membalikkan keadaan tanpa diketahui pihak eksternal. Sebagai contoh dalam kasus Garuda (GIAA), optimisme yang berlebihan terkait pemulihan pasar penerbangan pasca-pandemi atau keberhasilan restrukturisasi tanpa transparansi penuh, bisa menjadi penghalang kemauan untuk mengungkapkan. Meskipun ada sinyal jelas dari penurunan penumpang dan pembatasan perjalanan global (data IATA menunjukkan penurunan drastis lalu lintas udara global 2020-2021), komunikasi GIAA di awal krisis masih mempertahankan narasi pemulihan cepat. Manajer cenderung “merapikan” laporan keuangan, sebagian karena tekanan kinerja dan bias optimism ini.
Yang kedua, adanya kecenderungan kuat untuk mencari dan menafsirkan informasi yang mengkonfirmasi keyakinan yang sudah ada (bias konfirmasi). Manajer mungkin hanya berfokus pada data yang menunjukkan sedikit harapan perbaikan (misalnya, peningkatan kecil pada rute tertentu) sambil mengabaikan indikator yang jauh lebih mengkhawatirkan (misalnya, tumpukan utang yang tidak terkendali, atau lessor yang mulai tidak percaya). Dalam konteks GIAA, ini bisa jadi berarti terlalu fokus pada potensi pasar domestik yang besar dan mengabaikan dampak jangka panjang dari tingginya biaya operasional dan utang yang tidak tertangani.
Penjelasan ketiga adalah loss aversion yaitu perasaan sakit akibat potensi kerugian secara psikologis jauh lebih kuat daripada potensi keuntungan yang setara. Ini mendorong manajer untuk menghindari pengungkapan informasi negatif yang dapat menyebabkan penurunan harga saham, penarikan investasi, atau reaksi negatif dari kreditur. Bagi GIAA, potensi delisting saham, tuntutan pailit dari kreditur, atau kehilangan dukungan pemerintah adalah “rasa sakit” yang sangat ditakuti. Ketakutan ini seringkali memicu penundaan pengungkapan atau upaya untuk “membungkus” berita buruk dengan narasi yang lebih positif. Data empiris dari Tandelilin (2010) dalam studinya tentang perilaku investor di BEI menunjukkan bahwa pasar bereaksi lebih negatif terhadap berita buruk dibandingkan reaksi positif terhadap berita baik. Ini memperkuat kecenderungan penghindaran pengungkapan kerugian ini di level perusahaan.
Hubungan yang dirasakan antara perusahaan dan pemangku kepentingan (misalnya, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas, regulator, atau serikat pekerja) sangat memengaruhi perilaku pengungkapan. GIAA sebagai BUMN memiliki dimensi tambahan yaitu tekanan untuk tidak mempermalukan pemerintah atau menunjukkan kelemahan di mata publik. Hal ini bisa mendorong manajemen untuk membatasi pengungkapan demi menjaga citra. Di sisi lain, ketika hubungan dengan pemangku kepentingan memburuk (misalnya, para lessor mengajukan gugatan), tekanan untuk mengungkapkan lebih banyak informasi (misalnya, melalui proses hukum) justru meningkat.
Perlu disadari bahwa cara menyampaikan informasi adalah penting (framing effects). Bagaimana sebuah informasi disajikan dapat secara dramatis akan memengaruhi bagaimana informasi tersebut diterima dan ditafsirkan. Jika masalah keuangan GIAA dibingkai sebagai “tantangan operasional sementara akibat pandemi,” tanggapan yang diharapkan mungkin berbeda dibandingkan jika dibingkai sebagai “krisis keuangan struktural yang membutuhkan restrukturisasi radikal.”
Pada kasus GIAA, di awal pandemi, informasi sering dibingkai sebagai masalah temporer yang disebabkan oleh force majeure. Namun, seiring berjalannya waktu, para pemangku kepentingan mulai menyadari bahwa masalah GIAA jauh lebih dalam dan struktural, bukan hanya akibat pandemi. Pembingkaian yang tidak lengkap ini menciptakan diskoneksi antara persepsi manajemen dan realitas yang dilihat oleh kreditur dan lessor, yang pada akhirnya dapat memicu ketidakpercayaan dan mempersulit negosiasi.
Peran Pemangku Kepentingan
Pemulihan perusahaan pada saat kesulitan keuangan tidak mungkin terjadi tanpa dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Ini sangat dipengaruhi oleh strategi komunikasi dan pengungkapan yang lebih baik.
Sebagai contoh, dukungan penuh dari pemegang saham. Pemerintah lewat Kementerian BUMN, berusaha untuk menyelamatkan GIAA melalui restrukturisasi. Pernyataan publik dan dukungan kebijakan dari pemerintah memberikan sinyal kuat kepada pasar dan kreditur. Data menunjukkan pemerintah menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp7,5 triliun setelah proses restrukturisasi, sebuah bukti kepercayaan yang kembali tumbuh.
Dukungan yang sangat penting dan utama lainnya adalah dari para kreditur. Pada awalnya, mereka menuntut pembayaran dan bahkan mengajukan gugatan. Namun, setelah komunikasi yang intensif dan transparan dari GIAA mengenai skema homologasi dan rasionalisasi utang, mayoritas kreditur menyetujui proposal restrukturisasi. Data dari putusan PKPU menunjukkan persetujuan signifikan dari kreditur (lebih dari 95%) terhadap rencana perdamaian GIAA.
Dukungan penting lainnya adalah karyawan. Melalui komunikasi internal yang lebih jujur mengenai tantangan dan rencana perusahaan, GIAA diharapkan bisa menjaga semangat karyawan di tengah kondisi sulit, bahkan saat harus melakukan efisiensi jumlah karyawan. Dukungan publik dan media juga perlu diraih. Setelah GIAA mulai menunjukkan komitmen restrukturisasi dan transparansi, liputan media menjadi lebih konstruktif, dan opini publik mulai melihat upaya pemulihan yang serius.
Penutup
Ilmu perilaku mengingatkan kita bahwa manajer bukanlah manusia yang sepenuhnya rasional. Oleh karena itu, penting bagi investor untuk mengenali dan mengatasi bias yang mungkin terjadi seperti adanya bias terlalu percaya diri, bias konfirmasi, dan loss aversion yang dapat menghalangi pengungkapan dan akhirnya bisa menurunkan kepercayaan pemangku kepentingan serta merugikan perusahaan. Di Indonesia, di mana persepsi dapat memengaruhi pasar, kemampuan untuk membangun kembali dan mempertahankan kepercayaan melalui komunikasi yang berkualitas adalah aset tak ternilai. Dengan komunikasi dan transparansi yang tepat, perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan bisa lebih mendapat dukungan dari pemangku kepentingan. Pada akhirnya, reputasi dan kepercayaan yang dibangun di masa sulit adalah fondasi utama bagi keberlanjutan dan keberhasilan jangka panjang perusahaan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
