Whistleblowing System yang Gagal dalam Melindungi Pelapor Korupsi
Salah satu inovasi dalam pemberantasan korupsi dan penegakan tata kelola yang baik adalah melalui mekanisme pelaporan di dalam sebuah organisasi atau Whistleblowing System (WBS). Secara teoritis, mekanisme ini ibarat harapan dan menjadi sebuah kanal terstruktur yang disediakan bagi internal organisasi untuk melaporkan berbagai dugaan pelanggaran, kecurangan, atau praktik ilegal lainnya.
Sejatinya, Whistleblowing System dirancang sebagai mekanisme deteksi dini yang aman. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mendefinisikannya sebagai sistem untuk memproses pengaduan atau pengungkapan informasi yang dilakukan oleh pelapor mengenai tindakan pelanggaran yang terjadi di organisasinya.
Tujuannya mulia: menciptakan efek gentar (deterrent effect), memitigasi risiko kerugian finansial dan reputasi, serta membangun budaya organisasi yang bersih dan berintegritas. Namun, di sinilah letak paradoks terbesarnya. Alih-alih menjadi perisai bagi mereka yang berniat baik, WBS di banyak institusi di Indonesia justru menjelma menjadi sebuah jebakan administratif—sebuah ilusi perlindungan yang pada akhirnya mengorbankan sang pelapor itu sendiri.
Sekilas artikel ini terlihat seperti sebuah kalimat hiperbolis tiada makna. Namun, sejatinya ini adalah sebuah kesimpulan pahit dari realitas di lapangan. Bahwa WBS adalah monumen kegagalan sistem dalam melindungi individu paling krusial dalam pemberantasan penyimpangan, yaitu sang whistleblower.
Kegagalan ini berakar pada beberapa persoalan fundamental. Mulai dari payung hukum yang lemah, meski memang telah memiliki payung hukum yang secara spesifik mengatur perlindungan bagi pelapor, saksi, dan korban, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun didirikan sebagai eksekutornya.
Namun, mari kita jujur, seberapa efektifkah perlindungan ini menjangkau seorang aparatur negara atau karyawan di sebuah instansi daerah atau karyawan BUMN di pelosok yang mencoba melaporkan atasannya? Proses untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK seringkali birokratis dan reaktif, bukan proaktif. Perlindungan baru terasa hadir setelah pelapor mengalami tindakan balasan (retaliation), Jikalau sudah terjadi dimanakah pendekatan secara preventif dilakukan?
Bentuk-bentuk tindakan balasan ini sangat beragam namun merusak. Ia tidak selalu berbentuk ancaman fisik. Bentuk yang paling umum adalah “pembunuhan karakter” secara perlahan di lingkungan kerja. Pelapor akan dicap sebagai pengkhianat, tidak loyal, atau “orang yang suka cari masalah”.
Kariernya mendadak macet; suasana kantor mendadak tidak nyaman, mutasi ke posisi yang tidak strategis atau “kantong buangan” menjadi hukuman informal, hingga tak jarang berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam beberapa kasus, bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa.
Dalam kasus ASN di Semarang misalnya, korban sempat sempat melaporkan kepada penyidik bahwa anggaran negara yang digunakan oleh kantornya bermasalah. Malahan anggaran tersebut tercatat sebagai SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran). Naas, laporan tersebut justru harus membuatnya kehilangan nyawa.
Harus diakui bahwa saat ini institusi diklaim membangun portal WBS yang canggih dengan jaminan anonimitas. Namun, siapa yang mengelola laporan di balik portal tersebut? Seringkali, unit yang ditugaskan adalah bagian dari struktur internal yang rantai komandonya tidak sepenuhnya independen.
Laporan mengenai pejabat tinggi bisa jadi diterima dan diproses oleh unit yang secara struktural berada di bawah kendali pejabat yang dilaporkan. Ini adalah konflik kepentingan yang nyata. Yakni ketika laporan masuk justru “sibuk” mencari siapa yang melaporkan bukan sibuk mencari kebenaran atas laporan tersebut.
Lantas bagaimana mungkin sebuah sistem dapat berjalan efektif jika potensi terlapor memiliki kuasa untuk mengintervensi, mengintimidasi, atau bahkan mengetahui identitas pelapor melalui jalur informal di dalam organisasi? Janji anonimitas menjadi ilusi ketika dalam lingkungan kerja yang kecil, penelusuran “siapa yang paling mungkin tahu informasi ini” dapat dengan mudah mengerucut pada satu atau dua nama.
Yang tak kalah pelik dan yang paling sulit diubah, adalah faktor budaya. Budaya “ewuh pakewuh” atau sungkan, serta budaya paternalistik “asal bapak senang” dalam dunia birokrasi kita masih mengakar kuat. Melaporkan atasan atau kolega dianggap sebagai tindakan yang melanggar harmoni sosial di tempat kerja.
Seorang pelapor tidak hanya melawan individu yang korup, tetapi juga melawan sebuah sistem nilai kolektif yang salah kaprah, sehingga sistem WBS harus dipaksa beroperasi dalam sebuah ekosistem sosial yang irasional dan feodal. Hasilnya, sistem tersebut lumpuh. Ia ada secara fisik, tetapi mati secara fungsi.
Maka, apa artinya semua ini? Ini berarti bahwa sekadar memiliki aplikasi atau kanal WBS tidaklah cukup. Membanggakan adanya WBS sebagai bukti komitmen anti-korupsi adalah sebuah kenaifan, keberhasilan sebuah WBS sejatinya dapat diukur dari satu indikator sederhana: nasib para pelapornya. Selama masih ada kisah-kisah pilu para whistleblower yang kariernya hancur, dikucilkan, dan bahkan hingga kehilangan nyawa, maka selama itu pula WBS hanyalah sebuah fasad.
Maka, untuk keluar dari kegagalan sistemik ini, perbaikan tidak bisa lagi bersifat parsial. Diperlukan sebuah perombakan paradigma. Dimulai dengan independensi unit pengelola WBS harus menjadi harga mati. Idealnya, laporan tingkat tinggi harus langsung ditangani oleh lembaga pengawas eksternal yang independen, bukan oleh inspektorat internal yang rentan terhadap intervensi.
Kemudian, perlindungan hukum harus bersifat proaktif dan otomatis. Saat laporan yang kredibel masuk melalui WBS, identitas pelapor harus segera diamankan oleh mekanisme eksternal seperti LPSK dan setiap potensi tindakan balasan harus dimonitor secara ketat dengan sanksi yang tegas bagi para pelaku. Terakhir, yang terpenting adalah komitmen kepemimpinan. “Tone from the top” bukan sekadar jargón tetapi menjadi budaya yang harus ditanamkan dengan benar.
Pada akhirnya, keberanian seorang whistleblower adalah cerminan yang sehat bagi sebuah organisasi. Jika sistem justru menghukum mereka yang berani bercermin, maka sesungguhnya sistem itu sendiri sedang membusuk dari dalam. WBS saat ini, dalam banyak kasus, bukanlah solusi, melainkan bagian dari masalah—sebuah sistem yang gagal melindungi pahlawan sunyi di garda terdepan perang melawan korupsi dan penyimpangan. Getir memang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
