Raja Ampat Juga Milik Nelayan
Di tengah sorotan dunia terhadap Raja Ampat sebagai ikon pariwisata bahari Indonesia, ada satu wajah yang nyaris tak pernah muncul dalam narasi pembangunan, yakni perikanan rakyat. Kawasan yang terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia ini kerap dipromosikan sebagai surga bawah laut, tetapi justru para penjaga lautnya, terutama para nelayan lokal, tak memperoleh perhatian yang sepadan.
Beberapa bulan lalu, Raja Ampat viral di media sosial karena temuan aktivitas tambang nikel yang mengancam kelestarian lingkungan. Pemerintah memang telah mencabut izin empat perusahaan tambang (Juni 2025), tetapi satu perusahaan, PT Gag Nikel, masih beroperasi dengan dalih di luar kawasan geopark. Publik geger, tetapi masyarakat lokal terbelah. Di tengah terbatasnya pilihan ekonomi, tambang menjelma sebagai solusi pragmatis. Bagi sebagian keluarga, tambang menawarkan kepastian: gaji rutin, pekerjaan di dekat rumah, dan harapan menguliahkan anak ke kota.
Menjadi sebuah pertanyaan besar: mengapa masyarakat pesisir di pulau-pulau tersebut, yang secara historis hidup dari laut, tidak lagi melihat laut sebagai sumber kehidupan dan memilih bekerja di tambang?
Hampir seluruh kampung pesisir di Raja Ampat memiliki sejarah panjang sebagai komunitas nelayan. Laut bukan sekadar sumber pangan, melainkan juga fondasi budaya dan tumpuan ekonomi warga. Hasil tangkapan seperti ikan, gurita, lobster, dan rumput laut menjadi sumber utama penghidupan. Namun, seiring masifnya promosi pariwisata bahari, wajah Raja Ampat kini lebih banyak ditampilkan sebagai destinasi wisata kelas dunia. Narasi besar tentang keindahan bawah laut seakan menjadikan pariwisata sebagai masa depan tunggal wilayah ini.
Meski sektor pariwisata telah membawa dampak ekonomi positif bagi sebagian warga, tidak semua masyarakat memiliki akses atau kapasitas untuk ikut terlibat langsung. Homestay yang berkembang di kampung-kampung wisata memang terbukti memberi manfaat, tetapi jumlahnya tidak bisa diperluas tanpa batas. Sebab, jika seluruh warga mendirikan homestay, sementara jumlah wisatawan tidak sebanding, yang terjadi justru adalah persaingan usaha yang tidak sehat, seperti penurunan harga, perebutan tamu, dan potensi konflik sosial. Oleh karena itu, sektor pariwisata, betapapun menjanjikannya, belum tentu bisa menjadi sandaran utama bagi seluruh warga.
Dalam situasi seperti ini, mayoritas masyarakat tetap bertumpu pada sektor perikanan yang sesungguhnya memiliki potensi besar, tetapi belum sepenuhnya ditopang oleh infrastruktur memadai.
Masalah utama sektor perikanan di Raja Ampat bukan terletak pada hasil tangkap, melainkan pada sistem pasca-panen. Dengan akses pasar yang minim dan listrik yang hanya menyala pada malam hari melalui genset, hasil tangkapan tidak bisa disimpan lama. Kapal pengumpul datang seminggu sekali. Masyarakat tidak bisa menjual ikan dalam jumlah banyak, dengan hasil jual hanya berkisar Rp200-300 ribu setiap kali pengangkutan. Jumlah yang jauh dari cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup, apalagi jika dibandingkan dengan Upah Minimum Sektoral Provinsi Papua Barat Daya 2025 sebesar Rp3.631.000 per bulan.
Ketiadaan cold storage, transportasi laut reguler, dan harga BBM yang berkali lipat dari harga daratan membuat biaya operasional nelayan tidak masuk akal. Mereka bekerja keras tanpa kepastian pasar.
Membangun Pilar Ekonomi dari Laut
Sama seperti sektor pariwisata yang kini berkembang setelah melalui pelatihan, pendampingan, dan dukungan kelembagaan, sektor perikanan pun membutuhkan ekosistem serupa. Beberapa kampung telah memulai inisiatif pengolahan ikan menjadi abon dan kerupuk, tetapi skala produksinya terbatas karena kendala logistik dan tidak adanya koperasi yang mampu menjangkau distribusi hingga kota-kota besar seperti Sorong atau Manokwari.
Pemerintah pusat sebenarnya memiliki program seperti Koperasi Merah Putih yang digadang mampu menjadi penggerak ekonomi desa. Namun syarat keanggotaan minimal 500 orang jelas tidak realistis di Raja Ampat, di mana satu kampung saja kerap hanya dihuni oleh 100-200 jiwa. Untuk menuju kampung tetangga pun tak cukup berjalan kaki seperti di Pulau Jawa, masyarakat harus menggunakan perahu, menyeberangi laut yang tidak selalu bersahabat.
Model koperasi semestinya lahir dari kebutuhan dan inisiatif warga, bukan sekadar proyek birokrasi yang serba top down. Seperti yang dikritisi dalam banyak riset kelembagaan, koperasi yang tidak berakar pada partisipasi rakyat hanya akan menjadi lembaga kosong: berbadan hukum, tetapi tak bernyawa secara sosial.
Jika tambang ditolak demi lingkungan, maka negara wajib menghadirkan jalan keluar ekonomi. Perikanan adalah jalan itu. Tidak hanya berakar secara budaya, tetapi juga lebih merata secara sosial. Perikanan tidak mengubah ekosistem, tidak memperburuk daya dukung lingkungan, dan bisa menjadi pilar pembangunan jika dijalankan dengan sistem adil dan berkelanjutan.
Yang dibutuhkan hari ini bukanlah retorika besar tentang ekonomi biru, tetapi aksi nyata: pelabuhan ikan yang berfungsi, pembeli ikan yang datang rutin, koperasi yang sungguh-sungguh bekerja untuk nelayan, dan harga dasar ikan yang berpihak kepada nelayan.
Pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya bicara soal lingkungan yang lestari, tetapi juga tentang kesejahteraan masyarakat yang selama ini menjaga ekosistem itu dengan cara hidup mereka. Jika tambang harus dihentikan demi kelestarian, maka pembangunan perikanan yang adil, merata, dan berpihak kepada nelayan harus menjadi prioritas nyata, bukan sekadar rencana jangka panjang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
