Sesat Logika untuk Menyingkirkan Demokrasi dan Keadilan
Dalam Kongres Partai Solidaritas Indonesia pada 20 Juli 2025, Presiden Prabowo menyampaikan pernyataan kontroversial bahwa demo “Indonesia Gelap” merupakan rekayasa yang dibiayai oleh koruptor. Dalam suatu dialog di satu stasiun televisi, salah satu politisi Gerindra, mengkonfirmasi pernyataan presiden tersebut didasarkan pada fakta bahwa Kejaksaan telah menahan tiga orang tersangka dengan tuduhan obstruction of justice dalam kasus korupsi timah dan impor gula.
Ketiga orang tersebut adalah M. Adhiya Muzakki, Tian Bahtiar, dan advokat Marcella Santoso. Mereka dituduh membuat konten dan narasi yang menyerang institusi kejaksaan termasuk isu-isu seperti RUU TNI dan kampanye Indonesia Gelap, walaupun dua isu terakhir kemudian dibantah oleh Marcella. Lebih lanjut dimunculkan narasi bahwa siapapun yang membela atau tidak mengecam ketiga orang tersebut maka mereka sebagai bagian atau pembela koruptor.
Kesesatan Logika dalam Wacana Kekuasaan
Pernyataan di atas jika ditelaah secara kritis mengandung kesesatan logika (logical fallacy). Kesesatan logika pertama disebut dengan Guilt by Association, yaitu menyimpulkan seseorang bersalah karena diasosiasikan atau memiliki kesamaan dengan pihak yang dianggap salah, bukan karena tindakannya sendiri.
Dalam hal ini, logika yang digunakan adalah karena sejumlah tersangka korupsi menyuarakan narasi “Indonesia Gelap”, maka siapa pun yang menyuarakan hal yang sama dianggap sebagai bagian dari gerakan mereka. Ini adalah bentuk penalaran keliru, sebab kesamaan ekspresi tidak serta merta mencerminkan kesamaan niat, identitas, atau afiliasi. Dalam masyarakat demokratis, ekspresi politik bisa lahir dari motivasi dan konteks yang berbeda. Narasi yang sama belum tentu lahir dari agenda yang sama; dan keterlibatan seseorang tidak bisa disimpulkan hanya dari kemiripan ujaran.
Sebagai analogi, bayangkan seorang jurnalis mengkritik Kejaksaan karena ketidaktepatan data dalam penetapan tersangka. Sementara pada waktu yang sama seorang buzzer koruptor juga mengkritik demi kepentingannya. Kesamaan kritik ini tidak serta merta menjadikan sang jurnalis bagian dari komplotan koruptor.
Demikian pula jika seorang koruptor berkata “demokrasi kita sedang terancam”, bukan berarti semua yang menyuarakan hal serupa adalah komplotannya. Dalam hukum dan logika, keterlibatan seseorang tidak bisa disimpulkan hanya dari kesamaan narasi. Harus ada bukti konkret seperti aliran dana, komunikasi langsung atau tindakan bersama. Tanpa itu, tuduhan afiliasi hanyalah inferensi yang keliru dan menyesatkan.
Kesesatan berikutnya adalah adanya False Dichotomy, yaitu memaksakan pilihan antara dua kutub ekstrem, seolah tidak ada jalan tengah atau pilihan lain. Dalam narasi ini, publik dihadapkan pada dikotomi palsu: jika mengkritik presiden, maka dianggap otomatis mendukung koruptor. Padahal, tidak mengkritik bukan juga berarti menyetujui dan mengkritik bukan berarti memusuhi.
Dalam masyarakat demokratis, seseorang bisa memiliki pandangan kritis terhadap presiden tanpa sekaligus membela kepentingan manapun. Ia bisa tidak sejalan dengan Prabowo, tanpa harus mendukung narasi “Indonesia Gelap” atau bahkan menolak keduanya sekaligus. Memaksa masyarakat memilih secara biner mengabaikan kompleksitas sikap politik dan mereduksi kebebasan berpikir menjadi loyalitas buta.
Konsekuensi berikutnya adalah adanya kesesatan berpikir Straw Man ketika argumen lawan disederhanakan atau diputarbalikkan menjadi sesuatu yang lebih ekstrem dan mudah diserang. Dalam konteks narasi “Indonesia Gelap”, penguasa dapat menyatakan bahwa mereka yang menyuarakan kritik semacam itu berarti ingin menggulingkan negara atau membela koruptor. Padahal, ini adalah distorsi dari maksud sebenarnya.
Kritik terhadap institusi hukum bisa dilandasi oleh keprihatinan atas korupsi yang meluas, lemahnya akuntabilitas pejabat, atau ketidakadilan struktural — bukan karena ingin menghancurkan negara atau melindungi pelaku kejahatan. Menyamakan kritik dengan niat makar atau pembelaan terhadap koruptor bukan hanya keliru secara logika, tetapi juga berbahaya bagi ruang demokrasi.
Dari Kesesatan Logika ke Abuse of Legal Reasoning
Apa yang dipertontonkan secara terbuka oleh penguasa melalui narasi di atas bukan sekedar kesesatan logika, melainkan dapat bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya, yaitu abuse of legal reasoning. Kesesatan logika itu menjadi pre-text, dalih awal yang tampaknya masuk akal, untuk membenarkan penggunaan hukum secara represif.
Dengan membingkai kritik sebagai dukungan terhadap koruptor, atau memaksa publik memilih antara “bersama negara” atau “bersama koruptor”, penguasa membangun kerangka legitimasi untuk tindakan hukum yang sebenarnya sarat muatan politis. Inilah titik dimana logika yang menyesatkan mulai dipadukan dengan instrumen hukum dan bisa menjadi penyalahgunaan penalaran hukum yang sistemik.
Ciri-ciri abuse of legal reasoning oleh penguasa adalah ketika penguasa menafsirkan pasal secara parsial, tanpa mempertimbangkan kebebasan berpendapat, konteks wacana, atau pluralitas interpretasi. Pembentukan narasi tunggal dilakukan ketika kritik dianggap ancaman dimana menyerang pemerintah atau negara dilabeli sebagai “tidak nasionalis” yang kemudian dijadikan justifikasi kriminalisasi ekspresi yang sah secara konstitusional. Hukum tidak lagi ditujukan untuk menegakan keadilan, tetapi digunakan sebagai alat untuk memperkuat narasi tunggal dan melemahkan ruang kritik,
Abuse of legal reasoning bukan hanya masalah teknis penerapan hukum, melainkan gejala dominasi kekuasaan atas akal sehat dan moral publik. Ketika hukum kehilangan akarnya pada keadilan dan justru menjadi sarana penundukan ekspresi warga, maka ia menjelma menjadi kekerasan yang dilegalkan. Hal ini berbahaya karena menyederhanakan keragaman sikap publik menjadi dua kutub ekstrem: pro-pemerintah atau anti-pemerintah. Padahal demokrasi mengakui multi-posisi dimana kita bisa netral, apatis atau kritis terhadap semua pihak.
Menjadikan kesamaan opini sebagai bukti keterlibatan adalah bentuk inferensi yang salah dan berbahaya, apalagi jika dipakai untuk mempidanakan warga negara. Jika narasi sesat seperti “kritik merupakan bagian dari kejahatan” dan “diam adalah mendukung lawan negara” terus digunakan secara sistematis oleh negara atau aparat kekuasaan, maka dampak jangka panjangnya sangat serius yang dapat menggerus fondasi demokrasi.
Demokrasi membutuhkan ruang diskursus, perbedaan pendapat yang tajam seharusnya diperbolehkan dan dilindungi. Jika negara memonopoli tafsir mana opini yang sah dan mana yang subversif, maka kritik tidak lagi dilihat sebagai koreksi, melainkan sebagai ancaman. Demokrasi tanpa kritik adalah otoritarianisme yang dipoles pemilu.
Praktik ini secara tidak disadari turut merusak persatuan melalui polarisasi narasi secara paksa. Ungkapan seperti “jika tidak bersama pemerintah, maka kamu bersama musuh negara” menciptakan garis pemisah yang tajam di antara warga. Polarisasi semacam ini tidak hanya membelah masyarakat secara horizontal, tetapi juga merusak fondasi kehidupan demokratis.
Kondisi ini dapat membuka jalan bagi munculnya otoritarianisme gaya baru. Negara tak lagi menggunakan kekerasan fisik, tapi memakai logika sesat dan instrumen hukum yang lentur. Dengan cara ini oposisi dipinggirkan, kritik didistorsi menjadi ancaman, dan perbedaan pandangan dijinakkan lewat kerangka hukum yang seolah terlegitimasi, namun sesungguhnya menjauh dari keadilan substantif.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
