Spirit Menurunkan Emisi dalam Perencanaan Daerah

Asri Pebrianti
Oleh Asri Pebrianti
23 Agustus 2025, 07:05
Asri Pebrianti
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Hari-hari ini adalah masa yang sibuk bagi perencana pembangunan daerah. Mereka harus menyelesaikan dokumen perencanaan pembangunan untuk lima tahun ke depan atau yang biasa disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) 2025-2029 paling lambat akhir Agustus 2025. Sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2025, penyusunan dokumen itu harus tuntas dalam jangka waktu enam bulan sejak kepala daerah terpilih dilantik. Pelantikan kepala daerah telah dilakukan pada 20 Februari 2025 maka ini artinya batas waktu penyusunan rencana pembangunan daerah lima tahun ke depan jatuh pada 20 Agustus 2025.

Penyusunan RPJMD adalah hal yang menantang bagi pemerintah daerah pada saat ini. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Badan Perencana Pembangunan Nasional sudah menerapkan sejumlah rambu-rambu dalam penyusunannya. Disebutkan bahwa kepala daerah dan anggota legislatif terpilih harus menyesuaikan visi misinya dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Alasannya karena rencana pembangunan daerah lima tahun merupakan bagian yang integral dan harus selaras dengan rencana pembangunan tersebut.  

Penyusunan rencana pembangunan itu harus bisa menuju pencapaian lima sasaran Visi Indonesia Emas 2045. Tanpa mengecilkan yang lainnya, sasaran yang kontekstual dengan adanya kebakaran hutan dan lahan dan penyusunan second Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia adalah penurunan intensitas gas rumah kaca (GRK). Pemerintah menargetkan penurunan intensitas GRK sebesar 93,5% pada 2045 mendatang. Persentase penurunan emisi GRK menjadi satu dari 45 indikator kinerja utama (IKU) pembangunan nasional ke daerah yang masuk ke dalam landasan transformasi sebagai misi kelima dari delapan misi agenda pembangunan transformasi menyeluruh.

Upaya menurunkan intensitas emisi rumah kaca secara nasional sangat bergantung pada rencana pemerintah daerah. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 ditegaskan bahwa pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota harus berkontribusi dalam penurunan intensitas emisi GRK. Kalau dikuantifikasi, pemerintah daerah ditargetkan bisa membantu pemerintah pusat menurunkan emisi GRK sebesar 51,51% secara kumulatif dari baseline 2025 dan sekitar 80,98% secara tahunan dari baseline tersebut hingga target 2045. 

Untuk 2026, pemerintah juga sudah memasang target penurunan emisi GRK bagi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Seperti diamanatkan dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2025 tentang Rancangan Rencana Kerja Pemerintah 2026, target penurunan emisi GRK secara kumulatif sebesar 19,07% dan secara tahunan sebesar 27,35%.

Pemerintah pusat juga menargetkan menurunnya potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim pada empat sektor prioritas yakni kelautan dan pesisir, air, pertanian dan kesehatan. Targetnya 0,819 dari baseline 2024 dan 0,275 pada 2026.

Keterbatasan fiskal menjadi tantangan bagi penurunan intensitas emisi GRK. Badan Koordinasi Penanaman Modal menghitung rata-rata anggaran untuk pengendalian perubahan iklim pada APBN sebesar Rp100,4 triliun. Besar anggaran tersebut hanya sebesar 29,9% dari kebutuhan anggaran idealnya berdasarkan NDC Indonesia yang sebesar Rp343,6 triliun. 

Untuk menutup kesenjangan anggaran ini, peran investasi lestari dibutuhkan. Investasi lestari yang dimaksud berarti investasi yang ramah lingkungan, berkomitmen untuk mendidik tenaga kerja lokal, bersedia melakukan alih teknologi, dan memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam.

Transisi menuju ekonomi hijau diperkirakan dapat meningkatkan output ekonomi nasional hingga Rp4.376 triliun. Selain itu, perubahan ini juga diproyeksikan menambah produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp2.943 triliun dalam satu dekade mendatang. Efek berganda dari ekonomi hijau terhadap PDB jauh melampaui struktur ekonomi saat ini yang masih didominasi oleh sektor industri ekstraktif seperti pertambangan.

Keyakinan ini diperkuat dengan kajian terhadap Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Pada 2024, Kabupaten Morowali menunjukkan kinerja ekonomi yang luar biasa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Morowali atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai sekitar Rp173,86 triliun, menyumbang 46,01% dari total PDRB Provinsi Sulawesi Tengah. 

Sementara berdasarkan harga konstan (ADHK), perekonomian tumbuh sebesar 16,26% atau lebih rendah dari dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 20,34%. Alasan mengapa ADHB lebih besar dibandingkan dengan ADHK karena ADHB sudah memasukkan pengaruh inflasi dan perubahan harga, sedangkan ADHK menggunakan harga pada tahun dasar yang tetap sehingga efek kenaikan harga tidak dihitung.

Struktur perekonomiannya sangat bergantung pada sektor industri pengolahan logam dasar, yang berkontribusi 73,6%. Selanjutnya lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebesar 16,8% atau turun dari 17,79% pada 2023. Pertumbuhan ekonominya cenderung menurun sebab ketergantungan pada industri ekstraktif telah menimbulkan biaya lingkungan yang tinggi termasuk deforestasi, polusi, dan penurunan kapasitas penyerapan karbon. 

Morowali telah bertransisi dari penyerap karbon bersih pada tahun 2011 (-1.337 Gg CO₂eq) menjadi kawasan dengan emisi tinggi pada 2022 menjadi 8718.50 Gg CO₂. Lonjakan industrialisasi, terutama sejak pembentukan Kawasan Industri Morowali Indonesia (IMIP) pada 2015 telah mendorong peningkatan emisi sebesar 59,4% terutama dari sektor energi dan industri.

Sekitar 35% wilayah Morowali telah berubah fungsi untuk pertambangan, dengan banyak lokasi yang tumpang tindih dengan kawasan hutan.

Sepanjang 2019-2023, aktivitas pertambangan nikel nasional telah menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas 37.660 hektare yang setara dengan emisi 28,7 juta ton emisi karbon. Dari luas deforestasi tersebut, sekitar 16% atau 6.110 hektare di antaranya, terjadi di pertambangan yang berada di Morowali. 

Sebaliknya, penghentian deforestasi justru akan semakin menguntungkan bagi Kabupaten Morowali. Laporan terbaru dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) 2025 menyatakan, valuasi hutan Kabupaten Morowali mencapai Rp2,81 triliun per tahun atau 44,61% lebih tinggi dari realisasi pendapatan Pemerintah Kabupaten Morowali pada 2023 yang hanya sebesar Rp1,94 triliun. Komponen terbesar dari nilai tersebut berasal dari nilai manfaat tidak langsung yaitu fungsi hutan sebagai serapan karbon. Bila hutan terus hilang akibat perluasan perizinan tambang nikel maka menambah kerugian mencapai Rp568 miliar per tahun.

Karena itu, intervensi kebijakan dalam perencanaan pembangunan di Kabupaten Morowali diperlukan untuk mencapai target penurunan gas emisi rumah kaca. Kabar baiknya, Pemerintah Kabupaten Morowali sudah mulai tertarik untuk memasukan konsep pembangunan rendah karbon ke dalam dokumen perencanaan. 

Pemangku kebijakan sudah mulai menyeimbangkan industri ekstraktif dengan pembangunan rendah emisi karbon. Kesadaran ini juga sudah diikuti oleh beberapa pemerintah daerah seperti Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tamiang. 

Karena itu komitmen pemerintah daerah untuk mengintegrasikan perencanaan pembangunan yang berpihak pada ekosistem dan lingkungan melalui praktik-praktik ekonomi berkelanjutan sangat diperlukan dan penting untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045 dan bukan Indonesia Cemas 2045.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Asri Pebrianti
Asri Pebrianti
Regional Economics Specialist – Traction Energy Asia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...