Tengkulak: Musuh atau Pahlawan?
Dalam wacana publik Indonesia, kata tengkulak hampir selalu memiliki konotasi negatif. Mereka digambarkan sebagai pihak yang memanfaatkan kesulitan petani kecil dengan membeli hasil panen pada harga rendah, lalu menjualnya kembali dengan margin besar. Di banyak media, tengkulak adalah “musuh bersama” yang memperdalam penderitaan petani.
Bahkan Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan termasuk dalam pidato pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menyatakan “perang” terhadap tengkulak. Menurut Prabowo, salah satu motif utama membentuk koperasi merah putih adalah dalam rangka “membinasakan” para tengkulak.
Namun, jika kita menelisik lebih dalam, gambaran ini terlalu menyederhanakan. Tengkulak tidak muncul dalam ruang kosong. Mereka hadir karena ada kesenjangan kelembagaan: bank enggan menyalurkan kredit kepada petani miskin; koperasi tidak selalu berfungsi efektif; infrastruktur pasar terbatas; dan negara tidak mampu menjangkau seluruh desa dengan intervensi harga (Timmer, 1996).
Dalam kondisi seperti itu, tengkulak justru sering menjadi “pahlawan tak dikenal” yang menyediakan likuiditas, akses pasar, dan semacam “asuransi” informal bagi petani (Simatupang dan Timmer, 2008).
Tulisan ini membahas fenomena tengkulak dengan menggunakan kerangka poverty traps Carter & Barrett, kemudian mengaitkannya dengan kasus petani padi di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengalaman negara lain (India, Kenya, dan Cina). Pertanyaan utama yang akan dijawab adalah: Apakah tengkulak selalu eksploitatif? Bagaimana caranya agar mereka bisa berfungsi sebagai mitra pembangunan, bukan predator ekonomi?
1. Kerangka Teoretis Carter & Barrett: Poverty Traps
a. Konsep Dasar
Carter & Barrett (2006, 2017) menjelaskan bahwa rumah tangga miskin sering terperangkap dalam kondisi low-level equilibrium akibat keterbatasan aset, pasar, dan institusi. Ada threshold aset yang menentukan nasib rumah tangga:
- Jika berada di atas threshold aset tertentu→ mereka mampu berinvestasi, menyimpan hasil, mengakses pasar, dan secara bertahap keluar dari kemiskinan.
- Jika berada di bawah threshold tertentu → mereka terjebak dalam poverty trap: pendapatan rendah → tabungan tidak terkumpul → investasi tertunda → pendapatan tetap rendah (Carter & Barrett, 2006).
b. Risiko dan Keterbatasan Pasar
Dalam keadaan mekanisme pasar yang sempurna dan komplit, pasar seharusnya menyediakan asuransi, kredit, dan kontrak berjangka untuk melindungi petani dari risiko harga dan guncangan cuaca. Namun, di negara berkembang termasuk Indonesia, pasar-pasar ini sering tidak ada.
Ketiadaan instrumen formal mendorong rumah tangga yang risk-averse untuk mengambil strategi aman meski merugikan dan tidak optimal. Salah satunya adalah menjual hasil panen segera setelah panen raya. Dengan begitu, mereka menghindari risiko harga jatuh lebih dalam, sekaligus memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek (Carter dan Barrett, 2017).
2. Tengkulak dalam Konteks Indonesia
a. Fungsi Tengkulak bagi Petani (Padi) di Pedesaan
Dalam praktik di pedesaan Indonesia, tengkulak memainkan beberapa fungsi krusial:
- Penyedia likuiditas. Saat bank dan lembaga keuangan enggan menyalurkan kredit karena risiko tinggi dan biaya administrasi besar, tengkulak hadir memberi pinjaman atau uang muka.
- Jembatan pasar. Tengkulak membeli gabah langsung dari sawah, mengangkutnya ke penggilingan, lalu menyalurkannya ke kota. Tanpa mereka, petani kecil tidak punya akses ke pasar yang lebih luas.
- Quasi-insurance. Dengan memberi pinjaman input di awal musim, tengkulak ikut menanggung sebagian risiko panen, meski imbalannya adalah harga beli rendah saat panen (Simatupang & Timmer, 2008).
b. Mengapa Tengkulak Dianggap “Jahat”
Stigma negatif muncul karena:
- Tengkulak membeli komoditas pada harga jauh di bawah harga pasar saat paceklik.
- Mereka sering mengikat petani dalam utang berbunga tinggi yang harus dilunasi dengan hasil panen.
- Dalam banyak desa, mereka menjadi pembeli tunggal (monopsoni), sehingga petani tidak punya pilihan (Banerjee & Duflo (2011, pp. 48–52).
c. Carter–Barrett Lens
Dengan kacamata Carter–Barrett, tengkulak sebenarnya adalah respons rasional terhadap kegagalan pasar formal. Mereka muncul karena petani kecil berada di bawah asset threshold: tidak punya modal, gudang, atau daya tawar. Tengkulak membantu petani bertahan, tetapi sekaligus memperkuat lingkaran kemiskinan karena struktur relasi yang timpang (Carter & Barrett, 2006).
3. Perbandingan Internasional
Fenomena tengkulak bukan hanya ada di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain seperti India, Cina, dan Afrika. Bagian ini akan menguraikan peran tengkulak di beberapa negara.
a. India: Arthiyas di Punjab dan Haryana
Di India, perantara disebut arthiyas. Mereka berfungsi hampir sama dengan tengkulak: memberikan kredit musiman, membeli hasil panen, dan menjembatani petani dengan mandis (pasar lelang). Kritiknya, arthiyas mengekstrak rente besar dan sering menguasai politik lokal (Chand, 2012).
Namun, tanpa mereka, banyak petani tidak bisa menanam. Reformasi pemerintah untuk membuka akses langsung ke pasar gagal karena petani takut kehilangan “asuransi informal” yang selama ini disediakan arthiyas (Banerjee & Duflo, 2011).
b. Kenya: Pedagang Jagung Kecil
Di pedalaman Kenya, pedagang lokal membeli jagung dari petani miskin. Mereka sering dianggap oportunistik karena membeli saat harga rendah. Namun penelitian Barrett (2008) menunjukkan bahwa para pedagang ini adalah satu-satunya mekanisme agregasi: mereka menanggung biaya transportasi, risiko penyimpanan, dan risiko harga (Barrett, 2008, p. 305). Tanpa mereka, surplus kecil petani tidak akan pernah masuk pasar.
c. Cina: Village Collectors
Selama masa awal reformasi (1980-an), petani di Cina menjual hasil panen ke village collectors. Mereka berfungsi sebagai agregator dan distributor lokal (Lin, 1992; Huang & Rozelle, 1996). Seiring pertumbuhan koperasi desa dan BUMN lokal, fungsi ini perlahan digantikan.
Pelajaran pentingnya: ketika koperasi dan negara kuat, peran middlemen bisa direduksi. Tetapi ketika lembaga formal lemah, mereka justru vital.
Tabel. Ringkasan Peran Middlemen di Berbagai Negara
| Negara | Aktor Middlemen | Fungsi Utama | Kritik/Problem | Kontribusi/Pelajaran | Referensi |
| Indonesia | Tengkulak (pedagang gabah/beras di desa) | - Memberi pinjaman/input musiman - Menghubungkan petani dengan penggilingan/pasar - Menyerap risiko harga jangka pendek | - Membeli di harga rendah saat panen - Mengikat petani dengan hutang berbunga tinggi - Monopsoni di banyak desa | - Menjadi quasi-insurance ketika lembaga formal lemah - Dapat di-upgrade menjadi aggregator modern | Timmer (1996); Simatupang & Timmer (2008) |
| India | Arthiyas (Punjab, Haryana) | - Menyalurkan kredit musiman - Menjembatani petani dengan pasar mandi | - Ekstraksi rente besar - Dominasi politik lokal - Reformasi pasar menghadapi resistensi petani | - Petani bergantung pada arthiyas sebagai “asuransi informal” - Reformasi gagal tanpa alternatif kelembagaan | Banerjee & Duflo (2011); Chand (2012) |
| Kenya | Pedagang jagung kecil | - Membeli surplus kecil - Menanggung biaya transportasi & penyimpanan | - Membeli murah saat panen - Dipersepsikan oportunistik | - Penelitian menunjukkan mereka satu-satunya mekanisme agregasi - Tanpa mereka surplus petani tidak masuk pasar | Barrett (2008); Fafchamps et al. (2005) |
| China | Village collectors (1980-an) | - Mengumpulkan hasil panen - Menjadi penghubung ke koperasi desa dan pasar negara | - Mengambil margin signifikan - Dikritik sebagai spekulan lokal | - Penting di awal liberalisasi - Perannya menurun saat koperasi/BUMN desa menguat | Lin (1992); Huang & Rozelle (1996) |
4. Bagaimana Menjadikan Tengkulak “Mitra”
Dari pada memusuhi tengkulak, pemerintah sebaiknya menjadikan tengkulak sebagai partner sekaligus competitor untuk menghindari dan mengurangi peluang mereka menggunakan kekuatan monopsoni atau monopoli di pasar pertanian di pedesaan Indonesia.
- Tingkatkan kompetisi. Pastikan ada lebih dari satu pembeli di desa. Akses transportasi yang baik dan digital marketplace dapat mengurangi monopsoni. Pengalaman petani coklat di Sulawesi, porsi harga yang diterima meningkat dari 65 % menjadi 85 % setelah jalan trans Sulawesi selesai (Akiyama, 1995). Kenaikan ini terjadi di samping karena biaya transaksi menurun juga monopsoni sejumlah tengkulak berkurang akibat makin banyaknya pedagang yang terlibat.
- Sediakan alternatif likuiditas. Kredit musiman berbunga rendah atau resi gudang bisa membuat petani tidak sepenuhnya bergantung pada uang muka tengkulak.
- Formalisasi relasi. Kontrak pertanian yang transparan dapat menempatkan tengkulak sebagai mitra logistik, bukan predator.
- Modernisasi peran. Tengkulak bisa ditingkatkan menjadi aggregator modern yang memenuhi standar kualitas, traceability, dan pasokan stabil untuk industri. (Fafchamps et al, 2005).
5. Refleksi Teoritis dan Kebijakan
Dengan perspektif Carter–Barrett, tengkulak adalah aktor second-best. Mereka beroperasi di ruang kosong yang ditinggalkan pasar formal dan negara. Karena itu, pendekatan kebijakan seharusnya tidak “menghapus” mereka, melainkan:
- Mendisiplinkan insentif melalui persaingan dan regulasi.
- Mengisi kekosongan institusional dengan akses kredit, asuransi mikro, dan infrastruktur penyimpanan.
- Mengintegrasikan mereka ke rantai nilai modern sehingga keuntungan mereka diperoleh dari efisiensi, bukan eksploitasi.
Kesimpulan
Tengkulak adalah cermin paradoks pembangunan pedesaan: mereka dipandang sebagai “penindas” petani kecil, tetapi tanpa mereka sistem pangan mungkin tidak berjalan. Dengan kerangka Carter–Barrett, jelas bahwa tengkulak beroperasi karena petani berada di bawah asset threshold. Untuk mengubah mereka dari predator menjadi mitra, kebijakan harus:
- Memberi alternatif likuiditas,
- Mendorong kompetisi sehat,
- Membentuk kontrak transparan,
- Dan meng-upgrade peran mereka sebagai aggregator modern.
Dengan strategi ini, tengkulak dapat menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Mereka bisa menjadi jembatan yang membantu petani melewati threshold aset, sehingga keluar dari poverty trap yang selama ini membelenggu pedesaan Indonesia Carter & Barrett (2017).
***
Daftar Pustaka
Banerjee, A. V., & Duflo, E. (2011). Poor economics: A radical rethinking of the way to fight global poverty. New York: PublicAffairs.
Barrett, C. B. (2008). Smallholder market participation: Concepts and evidence from eastern and southern Africa. Food Policy, 33(4), 299–317.
Carter, M. R., & Barrett, C. B. (2006). The economics of poverty traps and persistent poverty: An asset-based approach. Journal of Development Studies, 42(2), 178–199.
Carter, M. R., & Barrett, C. B. (2017). Asset thresholds and social protection. World Development, 94, 443–451.
Chand, R. (2012). Development policies and agricultural markets in India: Emerging issues. Indian Journal of Agricultural Economics, 67(1), 1–23.
Fafchamps, M., Gabre-Madhin, E., & Minten, B. (2005). Increasing returns and market efficiency in agricultural trade. Journal of Development Economics, 78(2), 406–442.
Huang, J., & Rozelle, S. (1996). Technological change: Rediscovering the engine of productivity growth in China’s rural economy. Journal of Development Economics, 49(2), 337–369.
Lin, J. Y. (1992). Rural reforms and agricultural growth in China. American Economic Review, 82(1), 34–51.
Simatupang, P., & Timmer, C. P. (2008). Indonesian rice production: Policies and realities. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1), 65–80.
Timmer, C. P. (1996). Does Bulog stabilize rice prices in Indonesia? Should it try? Bulletin of Indonesian Economic Studies, 32(2), 45–74.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
