PDB: Indikator Sakti, Sarat Kontroversi
Bulan lalu, tepatnya pada 5 Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 sebesar 5,12%. Angka tersebut menimbulkan perdebatan di publik, utamanya karena dianggap tidak menggambarkan keadaan ekonomi yang sebenarnya.
Ketidakpercayaan publik bukan tanpa alasan. Beberapa indikator pendukung seperti Purchasing Managers Index (PMI) dan konsumsi rumah tangga, menunjukkan ketidaksinkronan. Selain itu, adanya fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) di pusat-pusat perbelanjaan semakin menambah kejanggalan dari data yang dirilis BPS.
Secara definisi, pertumbuhan ekonomi adalah gambaran peningkatan aktivitas ekonomi yang tercermin melalui Produk Domestik Bruto (PDB). PDB menghitung aktivitas ekonomi yang terdiri dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan net ekspor (ekspor minus impor). Dengan demikian istilah pertumbuhan ekonomi menggambarkan peningkatan dari masing-masing komponen tersebut secara kumulatif dibandingkan periode (umumnya tahun) sebelumnya.
Data inilah yang kemudian yang secara universal menjadi acuan, yang nantinya berimplikasi terhadap berbagai macam hal, mulai dari acuan untuk ekspansi ekonomi, investasi, hingga dasar dalam pembentukan kebijakan publik. Bahkan peningkatan PDB atau pertumbuhan ekonomi diposisikan sebagai cerminan dari kesejahteraan (Wellbeing).
Terlepas dari diskusi terkait keabsahan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia, tulisan ini mencoba untuk membuka diskusi tentang kontroversi PDB sebagai indikator acuan (overarching indicator) yang menjadi referensi kualitas pembangunan hingga gambaran kesejahteraan hidup masyarakat.
Mengenal PDB: Mengukur Aktivitas Ekonomi, Bukan Kualitasnya
Kesaktian PDB sebagai indikator yang menjadi acuan hampir seluruh negara di dunia tidak terlepas beberapa peristiwa bersejarah.
Simon Kuznets, ekonom asal Amerika Serikat (AS), adalah yang pertama kali memperkenalkan perhitungan PDB (sebelumnya menggunakan pendekatan Produk Nasional Bruto) pada 1934. Presiden Amerika Serikat pada saat itu, yaitu Franklin D. Roosevelt menggunakan indikator tersebut untuk mempertimbangkan keterlibatan Amerika Serikat untuk Perang Dunia II. Pasalnya saat itu negara Paman Sam baru saja melewati krisis besar yang dikenal sebagai great depression.
Singkat cerita, indikator yang dikembangkan Simon Kuznets mampu meyakinkan para pemangku kepentingan bahwa keterlibatan AS dalam Perang Dunia II tidak akan mengganggu produksi dan konsumsi barang dan jasa. Sehingga AS kemudian bergabung dengan pihak sekutu yang kelak menjadi pemenang dalam perang tersebut.
Kabar kesaktian dari indikator tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia. Salah satunya melalui Bretton Woods Conference pada 1944, yang turut melahirkan dua lembaga keuangan internasional yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (saat itu masih International Bank for Reconstruction and Development). Pembentukan kedua lembaga itu kemudian semakin memantapkan penggunaan PDB sebagai tools untuk menilai aktivitas ekonomi suatu negara sebagai acuan untuk diberikan fasilitas pendanaan. Ditambah dominasi AS yang merupakan kekuatan ekonomi pasca Perang Dunia II, memperkuat posisi PDB sebagai standar global.
Seiring berjalannya waktu, dominasi AS dalam tatanan dunia yang baru dan di dalam kedua lembaga keuangan internasional itu semakin berkurang. Umumnya disebabkan munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru yang muncul, salah satunya adalah Tiongkok. Namun, posisi PDB sebagai indikator yang hanya menilai aktivitas ekonomi malah semakin strategis.
Padahal, tujuan awal PDB dibentuk adalah hanya untuk mengukur aktivitas perekonomian suatu negara. Indikator ini memang memiliki beberapa kelebihan, yaitu universal dan adaptif. Seluruh negara di dunia mampu untuk mengaplikasikan indikator PDB. Namun, PDB juga memiliki kelemahan. Sehingga jelas bermasalah menjadikannya sebagai overarching indicator.
Aktivitas ekonomi yang dipantau di dalam PDB memasukkan hal-hal lain yang justru bertolak belakang dengan konsep kesejahteraan dan bahkan keberlanjutan. PDB tidak memfasilitasi perhitungan yang lebih kompleks dan mendalam. Misalnya dalam kegiatan ekonomi pembabatan hutan, perhitungan hanya didasarkan pada kayu yang dapat dihasilkan dan dikonversi nilai ekonominya. PDB tidak memperhitungkan kerusakan yang dihasilkan serta manfaat yang dihasilkan dalam jangka panjang.
Contoh di atas menunjukkan bahwa pengukuran aktivitas ekonomi di dalam PDB tidak selamanya menggambarkan kualitas dari pertumbuhan tersebut.
Upaya Menemukan Indikator yang Lebih Tepat
Kritik terhadap penggunaan PDB sebagai indikator holistik bukanlah hal baru. Bahkan di panggung politik.
Robert F. Kennedy yang merupakan calon presiden AS tahun 1968 telah mengkritisi penggunaan PDB saat sedang aktif berkampanye. Di dalam pidatonya ia mengatakan: "It measures everything in short, except what makes life worthwhile" (PDB menghitung segalanya, kecuali apa yang membuat hidup berarti).
Menggunakan PDB sebagai indikator yang menilai kualitas ekonomi dapat dianalogikan seperti penggunaan energi listrik di sebuah gedung. Konsumsi energi tinggi tidak serta-merta berarti penghuninya hidup nyaman; bisa jadi justru menunjukkan inefisiensi dan penurunan kualitas hidup (Costanza et al., 2009).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk dapat menghadirkan indikator yang mampu menerjemahkan kualitas dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dimulai dari NASA dengan gerakan Social Indicator di tahun 1961 dan diikuti dari oleh berbagai indikator lain yang dirancang oleh berbagai lembaga dunia seperti Happy Planet Index oleh New Economic Foundation (NEF), Genuine Savings oleh Bank Dunia, dan Human Development Index (HDI) oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun, hingga saat ini memang masih belum ada indikator yang mampu menggantikan “kesaktian” PDB. Setidaknya karena tiga alasan: Pertama PDB adalah ukuran terhadap aktivitas ekonomi. Bagi sebagian negara, hal tersebut masih menjadi fokus utama pembangunan. Kedua, indikator-indikator alternatif belum ada yang memiliki konsep metodologi yang mampu mengatasi kekurangan dari PDB. Ketiga, penggunaan PDB selama ini telah terbukti efektif melegitimasi berbagai keputusan bagi para elit di lingkaran kekuasaan, mulai dari acuan penyusunan kebijakan hingga ala untuk mempertahankan kekuasaan.
Tiga tantangan itu menegaskan perlunya komitmen kuat, dari tingkat lokal hingga global, agar kualitas hidup dan pembangunan benar-benar tercermin dalam satu ukuran.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
