Mikro Perumahan: Jalan Alternatif Menutup Backlog Nasional

Widya Estiningrum
Oleh Widya Estiningrum
22 September 2025, 07:05
Widya Estiningrum
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kesenjangan antara rumah terbangun dan kebutuhannya (backlog) di Indonesia masih besar. Backlog kepemilikan sebanyak 9,9 juta rumah tangga, sedangkan backlog kelayakan huni sebesar 25,3 juta rumah tangga. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata jutaan keluarga yang hingga kini belum memiliki rumah, terutama ketidaklayakan hunian. 

Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi yang terus berlanjut, serta keterbatasan pasokan rumah murah menjadikan persoalan ini semakin mendesak. Pemerintah sebenarnya telah menggelar beragam program, salah satunya Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Namun, capaiannya belum sebanding dengan skala kebutuhan. 

Tantangan paling nyata justru muncul dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan pekerja informal. Mereka tidak memiliki slip gaji tetap, catatan kredit formal, maupun jaminan aset. Di titik inilah gagasan mengenai pembiayaan mikro perumahan menjadi relevan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan rumah layak huni memenuhi kriteria minimal air bersih, sanitasi layak, ketahanan termasuk luas perkapita bangunan, dan listrik sebagai penerang utama. Dengan jumlah backlog tidak layak huni yang cukup tinggi di Indonesia, mikro perumahan didesain untuk memberi kesempatan bagi masyarakat dalam memperbaiki, memperluas, atau memiliki hunian sederhana secara bertahap. Model ini diyakini dapat menjadi solusi alternatif bagi banyak keluarga, terutama di kota-kota kecil dan pedesaan, untuk memperbaiki rumah, menambah kamar, atau membangun rumah sederhana secara bertahap sesuai kemampuan. 

Skema Umum dan Fitur Mikro Perumahan

Fitur skema ini sederhana tetapi relevan dengan kebutuhan di lapangan. Plafon pinjaman relatif kecil, mulai dari Rp20 juta hingga Rp100 juta, sehingga cocok untuk perbaikan rumah, menambah kamar, atau membangun hunian sederhana secara bertahap. Tenor pinjaman fleksibel, berkisar antara 3 sampai 10 tahun, menyesuaikan jenis pembiayaan.

Cicilan pun dirancang ringan dan adaptif. Bagi pedagang kecil atau buruh harian, pembayaran bisa dilakukan harian, mingguan, hingga bulanan sesuai pola penghasilan. Dari sisi agunan, syaratnya lebih longgar. Tidak selalu harus sertifikat tanah, karena banyak masyarakat yang belum memilikinya. Sebagai gantinya, dapat digunakan jaminan kelompok atau mekanisme penjaminan lain.

Dengan desain seperti ini, skema mikro perumahan membuka akses yang lebih inklusif. Pekerja informal, pedagang mikro, hingga buruh harian yang biasanya kesulitan mengakses KPR, kini punya peluang lebih besar untuk memperbaiki dan membangun rumahnya sendiri.

Dilihat dari skema yang digambarkan, pendekatan ini berbeda dari program masif berbasis subsidi. Jika FLPP menargetkan pembiayaan KPR dengan standar tertentu, mikro perumahan justru membuka akses yang lebih inklusif. Konsepnya sejalan dengan praktik microfinance yang sukses memperluas akses pembiayaan usaha kecil, hanya saja konteksnya diarahkan untuk kebutuhan hunian, dengan fitur umum sebagaimana dijelaskan.

Implementasi dan Tantangan 

Wujud nyata implementasi mikro perumahan yang menyasar kepada segmen masyarakat informal dilakukan melalui kolaborasi PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dengan PT Sarana Multigriya Finansial Persero (SMF). Skema pembiayaannya sederhana. 

PNM, yang selama ini dikenal dengan program Mekaar untuk perempuan pra-sejahtera, pemberian pinjamannya diperluas untuk keperluan perbaikan, renovasi, atau pembangunan rumah secara bertahap. Plafonnya antara Rp10 juta hingga Rp50 juta dengan tenor pembiayaan relatif pendek, dua sampai lima tahun. Cicilan pun fleksibel, dapat mingguan atau dua mingguan, menyesuaikan ritme penghasilan pedagang kecil, buruh harian, hingga nelayan. 

Dibelakangnya, SMF hadir memberikan dukungan likuiditas jangka panjang untuk menjaga kesinambungan pembiayaan agar likuiditas tetap terjaga. Sejak dimulainya kolaborasi mikro perumahan, sebanyak 509 ribu rumah tangga telah mendapatkan pembiayaan untuk meningkatkan kelayakan hunian. Bagi kelompok ini, akses terhadap KPR konvensional nyaris tidak memungkinkan.

Namun implementasi mikro perumahan tidak berarti tanpa kendala. Pertama, profil debitur. Mayoritas calon penerima bekerja di sektor informal, dengan penghasilan harian yang fluktuatif, hal ini membuat Bank/Lembaga Keuangan Mikro (LKM) kesulitan menilai kemampuan bayar calon debitur. 

Kedua, agunan. Banyak agunan mikro belum mendapatkan sertifikat resmi, sehingga tidak memenuhi syarat kredit perbankan. Ketiga, biaya penagihan (collection cost). Dengan fitur yang membuka akses cicilan harian dan mingguan oleh debitur tentu membutuhkan biaya operasional penagihan yang cukup signifikan. Keempat, sumber pendanaan. Bank masih mengandalkan sumber pembiayaan jangka pendek, padahal pembiayaan perumahan menuntut pendanaan jangka menengah hingga panjang.

Dengan tantangan yang ada dan bercermin pada kisah sukses di beberapa negara lain seperti Bangladesh (Grameen Bank Housing Loan), di mana lebih dari dari 700 ribu rumah mikro dibangun dengan angka default credit yang sangat rendah. Mexico (CEMEX Program) sukses dengan lebih dari 500 ribu keluarga berhasil merenovasi rumah mereka. India (Micro Housing Finance Corporation) yang berhasil dengan ribuan keluarga informal untuk membeli apartemen kecil di perkotaan, sesuatu yang hampir mustahil dengan skema KPR konvensional. 

Di Indonesia dengan komposisi penghasilan masyarakat yang didominasi oleh pekerja informal, dalam menjawab kebutuhan pembiayaan perumahan tidak layak huni melalui skema mikro perumahan, dapat digambarkan sebagai berikut:

Grafik Opini_Mikro Perumahan
 

Masyarakat berpenghasilan rendah (pekerja informal/debitur) mengakses pembiayaan mikro melalui Bank atau LKM. Cicilan bersifat ringan dan fleksibel disesuaikan dengan pola pendapatan, pendekatan komunitas diterapkan untuk mengurangi risiko gagal bayar. 

Bank atau LKM memperoleh dana jangka panjang melalui Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan dengan skema refinancing kemudian diperkuat melalui pasar modal dengan dukungan investor melalui skema sekuritisasi. Pemerintah mendukung melalui penjaminan kredit guna menurunkan risiko penyaluran sekaligus meningkatkan appetite bank dalam menyalurkan kredit mikro perumahan.

Peluang dan Inovasi

Peluang pengembangan mikro perumahan yang coba dijelaskan skema diatas memuat setidaknya tiga strategi yang dapat ditempuh.

Pertama, kolaborasi multi pihak. Perbankan, LKM, dan Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan. Perbankan dan LKM dapat menyalurkan kredit, sementara Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan memberikan dukungan likuiditas jangka panjang melalui refinancing atau sekuritisasi.

Kedua, pemanfaatan teknologi digital. Penilaian risiko bisa diperluas menggunakan credit scoring berbasis alternatif, seperti transaksi e-wallet, riwayat pembayaran listrik, hingga catatan belanja, dengan big data masyarakat informal dapat dinilai kelayakannya tanpa menggunakan slip gaji.

Ketiga, instrumen pasar modal. Diharapkan dapat menjadi katalis penting dalam sektor perumahan. Salah satu mekanisme potensial yaitu sekuritisasi portfolio pembiayaan perumahan yang dalam praktiknya skema ini dapat diperkuat dengan dukungan Pemerintah, misalnya penjaminan, sehingga meningkatkan minat investor dan menurunkan risiko.

Peran Negara

Negara perlu memandang mikro perumahan sebagai integral dari integrasi program 3 juta rumah. Selama ini fokus kebijakan perumahan lebih banyak diarahkan kepada program subsidi masif seperti FLPP. Padahal segmen berpenghasilan rendah terutama pekerja informal lebih membutuhkan skema yang lebih fleksibel, di sinilah mikro perumahan memiliki peran strategis. Dengan desain pembiayaan yang lebih kecil, sederhana, dan bertahap program ini mampu menjangkau masyarat yang tidak terakomodir oleh pembiayaan konvensional.

Agar berjalan efektif, pemerintah dapat mengambil langkah konkrit berupa subsidi bunga selektif sehingga cicilan tetap terjangkau, serta skema penjaminan kredit untuk menurunkan risiko lembaga penyalur.

Pengalaman sejumlah negara membuktikan bahwa dukungan negara menjadi penentu keberhasilan. Filipina, misalnya, melalui Community Mortgage Program berhasil mengintegrasikan pendekatan komunitas dengan dukungan subsidi bunga sehingga ratusan ribu keluarga memperoleh rumah layak. Begitu pula di Meksiko, skema incremental housing yang difasilitasi swasta dan diperkuat regulasi pemerintah mampu menjawab kebutuhan perumahan rakyat.

Jika pendekatan serupa diterapkan di Indonesia, mikro perumahan dapat menjadi kunci dalam mengatasi backlog yang masih menumpuk. Lebih dari itu, ia juga dapat menjadi instrumen pemerataan sosial—memberikan kesempatan bagi masyarakat kecil untuk naik kelas dan memperoleh martabat melalui hunian yang layak. Dengan kata lain, mikro perumahan bukan hanya solusi teknis pembiayaan, melainkan juga investasi negara dalam membangun masa depan yang lebih inklusif.

Harapan ke Depan

Mikro perumahan adalah missing middle dalam ekosistem pembiayaan hunian Indonesia. Ia melengkapi perumahan subsidi yang sudah ada, sekaligus menjangkau segmen masyarakat yang tak tersentuh kredit konvensional. Dengan dukungan kelembagaan yang kuat, inovasi pendanaan, serta keberpihakan regulasi, mikro perumahan bisa menjadi jalan alternatif untuk menutup backlog nasional.

Akhirnya, menyediakan rumah layak bagi seluruh rakyat bukan semata urusan angka atau target pembangunan. Ia menyentuh martabat dan kualitas hidup manusia. Dalam kerangka itu, mikro perumahan layak mendapat perhatian lebih besar sebagai bagian dari solusi menyeluruh persoalan perumahan di Indonesia.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Widya Estiningrum
Widya Estiningrum
Deputi Direktur Pembiayaan dan Syariah di PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...