Danantara dan Utopia APBN Nol Defisit

Ronny P Sasmita
Oleh Ronny P Sasmita
24 September 2025, 07:05
Ronny P Sasmita
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Presiden Prabowo Subianto saat berpidato di depan Sidang Tahunan MPR dan DPR pada 15 Agustus 2025 menyatakan keinginannya menyampaikan bahwa Indonesia akan berhasil memiliki APBN tanpa defisit atau yang biasa disebut “balanced budget” alias anggaran berimbang pada 2027 atau 2028. Pernyataan tersebut sontak disambut tepuk tangan meriah oleh para anggota legislatif sebagai simbol dukungan terhadap visi fiskal Presiden Prabowo tersebut.

Namun, yang paling menarik dari semua rencana pendapatan negara untuk menutupi defisit tersebut adalah tentang dividen BUMN via Danantara yang jumlahnya nyaris persis dengan nilai proyektif defisit anggaran nasional. Sehingga kesan yang muncul, rencana strategis Prabowo dalam membuat defisit APBN menjadi nol adalah melalui peningkatan dividen BUMN. Artinya, Danantara akan menjadi penentu apakah nanti pada 2027 dan 2028 APBN Indonesia akan tetap defisit atau berubah menjadi berimbang. 

Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar BUMN dapat menaikan setoran dividen secara ambisius, yakni mencapai US$ 50 miliar per tahun, dengan tolok ukur rasio pengembalian aset (Return On Aset/ROA) sebagai dasar capaiannya. Lebih lanjut, ia menyebut target dividen BUMN pada 2025 diproyeksikan sebesar Rp300 triliun, di mana Rp200 triliun dari total tersebut akan dikelola melalui Danantara, sebuah lembaga investasi negara (biasa dikenal dengan istilah sovereign wealth fund) yang diarahkan untuk mendukung investasi strategis, sementara sisanya tetap dikembalikan ke BUMN dan digunakan sebagai modal kerja. 

Kesan menutup defisit dengan dividen kental terasa jika ROA yang disebutkan oleh Prabowo  dikonversikan ke dalam rupiah, lalu disandingkan dengan defisit tahun ini dan proyeksi defisit dua tahun mendatang. Lihat saja, angka US$50 miliar setara dengan Rp825 triliun, dengan asumsi US$1 sama dengan Rp16.500an. Dengan kata lain, jika asumsi defisit tetap dipertahankan dengan tingkat pertumbuhan yang moderat, misalnya setara dengan pertumbuhan ekonomi, maka akan didapat angka defisit lebih kurang Rp700an triliun pada 2027 dan mendekati Rp800an triliun pada 2028. Maka otomatis APBN pada tahun-tahun itu akan surplus dan minimal berimbang. Dalam hemat saya, sesederhana itu cara perhitungan Prabowo.

Lantas, apakah hal itu bisa terwujud? Apakah BUMN-BUMN melalui BPI Danantara akan bisa menghasilkan Rp825 triliun (US$50 miliar) setahun, angka minimal yang ditarik dari proyeksi ROA BUMN-BUMN sebesar 5%? Optimisme Prabowo tentu perlu dihargai. Tapi, membenturkannya ke realitas historis dividen BUMN tentu tak kalah pentingnya. 

Pertama, mari dibenturkan kepada data historis dividen BUMN selama lima tahun ke belakang. Pada 2020, setoran dividen dari BUMN tercatat sebesar sekitar Rp43,9 triliun, kemudian menurun menjadi Rp29,5 triliun pada 2021, lalu meningkat kembali menjadi Rp39,7 triliun pada 2022. 

Tahun 2023 mencatat lonjakan besar dengan realisasi dividen sebesar Rp82,1 triliun, yaitu lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada 2024 tren naik berlanjut, naik tipis sekitar Rp85 triliun. Sedangkan pada 2025 ditargetkan menjadi Rp90 triliun. Sementara secara akumulatif dari 2020 hingga 2024, total setoran dan usulan dividen mencapai sekitar Rp279,7 triliun

Angka tersebut jelas sangat tidak sinkron dengan harapan Prabowo. Apalagi jika disandingkan dengan fakta unik PMN yang diterima BUMN sepanjang masa itu. Pada periode 2020-2024, pemerintah telah menyuntikkan PMN yang tak kalah besarnya. BUMN-BUMN menerima PMN Rp75,94 triliun pada 2020, kemudian turun menjadi Rp52 triliun di 2021, selanjutnya turun lagi menjadi Rp38,47 triliun pada 2022, tapi kembali naik menjadi Rp41,31 triliun pada 2023, dan kembali naik sekitar Rp57,96 triliun untuk 2024. 

Memasuki tahun 2025, pemerintah mengusulkan PMN sebesar Rp44,24 triliun, dengan alokasi terbanyak (69%, sekitar Rp30,4 triliun) untuk penugasan pemerintah; sisanya untuk pengembangan usaha (27%, atau sekitar Rp11,8 triliun) dan restrukturisasi (4%, atau sekitar Rp2 triliun) 

Dari data setoran dividen dan PMN terhadap BUMN dalam lima tahun terakhir, terlihat sangat jelas bahwa angka US$50 miliar dividen BUMN sangat tidak masuk akal dicapai dalam waktu dekat, bahkan dalam 10 tahun ke depan sekalipun. Sekalipun dibuat kalkulasi bahwa dividen BUMN tumbuh 10% pertahun dari baseline dividen terakhir pada 2025, angka Rp900 triliun baru dicapai pada 2075an. Itupun asumsi pertumbuhan linier tanpa mempertimbangkan bahwa selama ini ternyata tidak pernah terjadi pertumbuhan liner dividen. Nyatanya yang terjadi justru fluktuasi yang pada ujungnya tetap tidak signifikan jumlahnya.

Kedua, BPI Danantara bukanlah “mesin fiskal” utama untuk pemerintah. Tentu saja Danantara adalah hasil “institutional engineering” yang cerdas untuk konteks Indonesia, meskipun secara global Danantara adalah “follower” dari Temasek, Khasana, SASAC, KIA, dan seterusnya. Namun meletakan asumsi bahwa kehadiran Danantara akan serta merta mengangkat dividen BUMN menjadi sepuluh kali lipat lebih di dalam dua tahun, tentu sangat sulit diterima akal. Apalagi jika dilihat dari sisi sejarah dan model kinerja BUMN-BUMN selama ini. 

Dan tak lupa pula bahwa Danantara tak dirancang untuk menghasilkan untung seperti Norges Bank Investment Management (NBIM), sebagai pengelola dana The Government Pension Fund Global (GPFG). Pertama, Danantara tidak mendapatkan dana dari kelebihan devisa ekspor Indonesia. Danantara sendiri sampai hari ini masih berjibaku memutar otak untuk mendapatkan dana dari pihak ketiga, karena aset-aset BUMN Indonesia tidak liquid. Artinya, Danantara tidak serta merta bisa langsung tancap gas tahun ini untuk menanam modal di pasar uang dan pasar saham, misalnya, sehingga tahun depan tinggal memetik return-nya.

Kedua, Danantara secara kategorial adalah strategic develpoment investment sovereign wealth fund. Sebagai strategic development investment SWF, maka Danantara akan fokus untuk mengalokasikan investasi ke sektor dan bidang yang dianggap akan memberikan “leverages” pada visi ekonomi pemerintah, sebut saja pertumbuhan ekonomi 8%. 

Nah, dalam konteks ini, besar kemungkinan Danantara akan lebih banyak berdarah-darah ketimbang menghasilkan darah untuk negara, karena targetnya jangka panjang dan related dengan tujuan strategis nasional lima atau sepuluh tahun mendatang. Sebut saja misalnya investasi Danantara untuk baterai kendaraan listrik di salah satu konglomerasi nasional, di mana “konon” dananya berasal dari pinjaman sindikasi beberapa bank luar negeri. Apakah investasi ini akan menghasilkan untung seketika? Jawabannya tidak. Jadi singkat kata, kesimpulan saya adalah bahwa proyeksi penerimaan negara dari dividen BUMN sebesar US$50 miliar masih akan menjadi narasi manis sampai sepuluh tahun mendatang, bahkan lebih. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...