Dua Ratus Triliun, Himbara, dan Bayang-Bayang Kredit Fosil
Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menggelontorkan dana sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke himpunan bank milik negara (Himbara), menuai pro dan kontra. Kebijakan ini muncul saat perekonomian Indonesia menunjukkan kondisi lesu, ditandai dengan daya beli masyarakat melemah, seiring dengan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kenaikan harga bahan pokok beberapa bulan terakhir.
Uang Rp200 triliun akan diambil dari kas negara senilai Rp425 triliun yang mengendap di Bank Indonesia, dan akan disalurkan di antaranya ke empat bank Himbara: BNI, BRI, BTN, Mandiri.
Langkah ini dianggap sebagai “jurus cepat” pemerintah untuk menjaga likuiditas, mendorong penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif, dan menggenjot daya beli masyarakat di tengah tekanan ekonomi nasional. Namun, di balik optimisme tersebut, terselip pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini solusi jangka panjang atau sekadar tambal sulam sesaat?
Dalam kerangka teori ekonomi moneter, penempatan dana mengendap pemerintah ke perbankan nasional dapat dipandang sebagai bentuk injeksi likuiditas yang berfungsi menjaga stabilitas sistem keuangan, sekaligus menggerakkan perekonomian.
Dalam logika sederhana, injeksi dana yang masuk ke Himbara tidak boleh berhenti di kas bank, tetapi harus bergerak ke pengusaha, industri kecil, hingga masyarakat sebagai stimulus ekonomi. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Tanpa pengawasan yang ketat, dana likuiditas ini bisa tersedot kembali ke sektor spekulatif, misalnya obligasi atau instrumen jangka pendek lain, alih-alih mengalir ke sektor produktif yang membuka lapangan kerja lebih luas.
Pengawasan Kredit Fosil
Di titik ini muncul persoalan lain yang jarang disentuh, ke mana sebenarnya dana Rp200 triliun itu akan bermuara? Beberapa bank domestik besar seperti Mandiri, BRI, BNI, BCA, hingga Permata menjadi tulang punggung pembiayaan industri nasional. Namun, laporan Koalisi #BersihkanBankmu mengungkap, sebagian portofolio kredit kelima bank tersebut, masih terkonsentrasi pada sektor energi fosil, terutama batu bara mencapai US$5,6 miliar. Sepanjang 2021–2024, lembaga keuangan di Indonesia tercatat mengucurkan pinjaman hingga US$7,2 miliar kepada perusahaan batu bara, dengan PT Bank Mandiri Tbk sebagai penyumbang terbesar.
Kita tahu, Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) di sektor energi hingga 358 juta ton CO2 pada 2030 melalui pengurangan energi berbasis fosil. Tahun ini, Kementerian ESDM bahkan telah merilis Peta Jalan Pensiun Dini PLTU melalui Peraturan Menteri ESDM No 10/2025. Namun di sisi lain, fakta lapangan menunjukkan hal sebaliknya, pembiayaan bank masih condong ke fosil.
Tanpa pengawasan, dana segar yang digelontorkan pemerintah berpotensi memperpanjang umur industri, yang justru menjadi sumber persoalan iklim sekaligus kerentanan ekonomi. Jika likuiditas tambahan itu kembali dialokasikan untuk proyek PLTU batu bara, tambang batubara, atau infrastruktur berbasis energi fosil lain, maka kebijakan ini tidak hanya gagal mendorong transformasi ekonomi, tetapi juga menjauhkan Indonesia dari komitmen transisi energi.
Apakah Bisnis Fosil Masih Menjanjikan?
Sektor batubara dan energi fosil kian kurang menjanjikan untuk jangka panjang, sejalan dengan target pemerintah mencapai net zero emission pada 2060. Dalam jangka pendek, permintaan global terhadap batubara memang belum sepenuhnya menurun. Namun, menurut perkiraan Institute for Essential Services Reform (IESR), permintaan domestik diperkirakan mencapai puncaknya pada 2025–2030, lalu turun signifikan hingga 15%-20%.
Sejumlah negara telah lebih dulu meninggalkan batubara. Inggris dan Finlandia secara resmi menutup PLTU terakhirnya, disusul negara lain yang bergerak ke arah serupa. Tren ini menegaskan bahwa penggunaan sekaligus permintaan batubara di level global akan terus menurun.
Di sisi lain, Indonesia masih berencana menambah kapasitas energi fosil sebesar 16,6 GW sebagaimana tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Kebijakan ini berpotensi menjerat Indonesia dalam infrastructure lock-in, yakni situasi ketika investasi besar pada infrastruktur berbasis fosil justru membuat transisi energi semakin mahal dan sulit dilakukan.
Dengan tren itu, bisnis fosil makin sarat risiko stranded asset, di mana aset akan kehilangan nilainya sebelum masa ekonominya selesai karena berubahnya regulasi, teknologi, atau permintaan pasar. Bagi bank, stranded asset berarti kredit macet dalam skala besar.
Artinya, keputusan mengucurkan Rp200 triliun tanpa arahan jelas kepada bank-bank domestik dan ke sektor mana dana itu akan mengalir, bisa melahirkan risiko sistemik baru. Jika dana terserap untuk menopang industri batubara, perbankan nasional akan semakin dalam terikat pada sektor yang rentan. Ketika permintaan global batubara jatuh, bukan hanya perusahaan tambang yang goyah, melainkan juga bank-bank penyalur kreditnya. Pada titik itu, dana talangan negara kembali dipertaruhkan.
Sebaliknya, penyaluran dana segar untuk mendukung investasi ke ekonomi hijau dapat menggenjot ekonomi nasional. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, pada 2024 total investasi tahunan global untuk energi bersih mencapai USD2 triliun, melampaui investasi bahan bakar fosil untuk pertama kalinya sejak 2016. Sektor energi bersih menciptakan 34,8 juta lapangan kerja, yang 16,2 juta di antaranya berasal dari sektor energi terbarukan pada 2023. Sementara itu, kontribusi sektor energi bersih terhadap ekonomi global pada tahun 2023 mencapai US$320 miliar, setara dengan 10% dari pertumbuhan PDB global.
Jika perbankan Indonesia gagal membaca arah ini, maka kita akan tertinggal. Alih-alih menjadi motor transisi energi, bank-bank nasional justru terjebak menjadi “penopang terakhir” industri yang sedang ditinggalkan dunia. Ini akan menjadi sebuah pilihan yang bukan hanya keliru secara strategis, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi nasional jangka panjang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
