Agar Bayar Pajak Jadi ‘Happy’

Khusnaini
Oleh Khusnaini
29 September 2025, 07:05
Khusnaini
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

“Jika ekonomi bertumbuh, maka bayar pajak jadi happy,” ujar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam sebuah kesempatan. Ucapan itu sekilas terdengar sederhana, namun sesungguhnya menyimpan pesan mendalam: pajak bukan semata kewajiban, melainkan instrumen penting yang menopang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, mari kita jujur. Apakah benar masyarakat Indonesia membayar pajak dengan perasaan “happy”? Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pajak kerap dipandang sebagai beban, bukan kontribusi sukarela. Padahal, hampir semua layanan publik yang dinikmati sehari-hari—dari sekolah murah, rumah sakit yang terjangkau, jalan tol, hingga bantuan sosial—bersumber dari pajak yang kita bayarkan. Pertanyaannya, mengapa persepsi publik terhadap pajak begitu negatif?

Literasi dan Komunikasi Pajak yang Lemah

Salah satu penyebabnya adalah rendahnya literasi masyarakat tentang keuangan negara. Banyak orang tidak tahu bahwa gaji aparatur sipil negara, subsidi energi, hingga program bantuan sosial dibiayai oleh pajak. Selama ini, kementerian dan lembaga lebih sering menampilkan programnya seolah sebagai hadiah dari institusi masing-masing, bukan dari rakyat yang membayar pajak.

Contohnya dapat dilihat dalam program-program pendukung UMKM. Kementerian Koperasi dan UKM rutin menyalurkan bantuan permodalan maupun pelatihan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga rendah. Para pelaku UMKM sering menganggap bantuan ini sebagai fasilitas yang “diberikan pemerintah”, tanpa menyadari bahwa subsidi bunga KUR sebagian besar bersumber dari pajak masyarakat. Alhasil, ketika usaha mereka berkembang, apresiasi hanya tertuju pada kementerian penyelenggara, sementara kontribusi rakyat yang membayar pajak nyaris tak pernah terlihat.

Hal serupa juga terjadi pada program-program sosial. Kementerian Sosial menyalurkan bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bagi keluarga miskin, bantuan ini ibarat nafas baru untuk bertahan hidup. Namun jarang sekali ada penjelasan bahwa dana bansos tersebut sejatinya hasil dari gotong royong nasional melalui pajak. Karena komunikasi yang absen, penerima cenderung melihat bansos semata sebagai kemurahan hati pemerintah, bukan hasil kontribusi mereka sendiri dan masyarakat lainnya.

Kondisi ini menciptakan kesenjangan persepsi yang berbahaya. Kementerian Keuangan dipandang sebagai “vampir penghisap” uang rakyat, sementara kementerian atau lembaga lain tampil seperti “Sinterklas” yang dermawan. Fenomena komunikasi yang timpang ini akhirnya melahirkan stigma: pemungut pajak adalah aktor antagonis, sedangkan pembagi program adalah protagonis.

Jika pola komunikasi seperti ini terus berlangsung, jangan harap masyarakat akan rela membayar pajak dengan sukacita. Yang muncul justru rasa enggan, sinis, bahkan perlawanan terhadap kewajiban perpajakan.

Pajak dan Fitrah Manusia

Ada hal yang lebih mendasar. Definisi pajak dalam undang-undang adalah kontribusi wajib yang tidak memberikan manfaat langsung kepada pembayar. Sementara teori perilaku manusia menyebutkan bahwa seseorang hanya akan terdorong melakukan sesuatu jika ia merasakan manfaat langsung.

Kontradiksi ini membuat membayar pajak terasa melawan fitrah manusia. Secara psikologis, orang cenderung lebih senang menerima bantuan ketimbang memberi kontribusi. Maka, wajar jika pajak lebih sering dipersepsikan pahit.

Namun, masalahnya bukan pada pajak itu sendiri, melainkan pada cara kita mengomunikasikannya. Jika pajak terus diposisikan sebagai kewajiban tanpa manfaat, stigma negatif akan tetap melekat. Tetapi jika dikemas sebagai investasi sosial bersama—gotong royong modern untuk membangun negeri—maka pajak bisa menjadi simbol kontribusi dan kebanggaan.

Membangun Komunikasi Pajak yang Inklusif

Inilah saatnya pemerintah mengubah strategi komunikasi pajak. Pajak tidak boleh hanya dibicarakan di meja kantor Direktorat Jenderal Pajak. Komunikasi harus dilakukan secara menyeluruh, sejak uang dipungut hingga kembali hadir dalam bentuk layanan publik.

Setiap kementerian, lembaga, bahkan pemerintah daerah perlu menegaskan bahwa program mereka dibiayai dari pajak. Bayangkan jika pada setiap baliho program bantuan sosial, rumah sakit daerah, atau pembangunan infrastruktur, tertera jelas tulisan: “Dibiayai dari pajak Anda.” Pesan sederhana namun kuat ini akan menghubungkan kembali masyarakat dengan kontribusi mereka.

Lebih jauh, kesadaran pajak perlu diinklusikan di seluruh aparatur negara. Selama ini, duta pajak hanya identik dengan pegawai DJP. Padahal, setiap ASN, setiap guru, setiap perawat di rumah sakit pemerintah sejatinya bisa menjadi duta pajak dengan menceritakan bahwa penghasilan dan fasilitas mereka bersumber dari kontribusi masyarakat.

Tak kalah penting adalah kolaborasi lintas sektor. Pemerintah pusat, pemda, BUMN, dan media massa perlu bahu membahu membangun narasi kolektif tentang pajak. Media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk menampilkan kisah nyata bagaimana pajak telah membantu masyarakat: dari petani yang menerima subsidi pupuk, pelajar yang memperoleh beasiswa, hingga korban bencana yang mendapat bantuan logistik.

Strategi komunikasi yang inklusif ini akan mengikis stigma “pajak sebagai beban” dan menggantinya dengan persepsi “pajak sebagai kontribusi”. Jika berhasil, masyarakat tidak lagi merasa dirugikan, melainkan justru bangga ikut berperan dalam pembangunan.

Dari Beban ke Sukacita

Membayar pajak memang tidak pernah mudah. Selalu ada rasa enggan ketika sebagian penghasilan harus diserahkan kepada negara. Tetapi, dengan komunikasi yang tepat, perasaan itu bisa diubah. Bayar pajak tidak lagi dianggap sebagai kehilangan, melainkan kontribusi nyata untuk sekolah anak-anak, pelayanan kesehatan, pembangunan jalan, hingga bantuan bagi saudara-saudara yang membutuhkan.

Di sinilah relevansi pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa: “Jika ekonomi bertumbuh, maka bayar pajak jadi happy.” Pertumbuhan ekonomi memang akan memperluas basis pajak, tetapi yang lebih penting adalah pertumbuhan kesadaran kolektif masyarakat bahwa pajak adalah investasi bersama.

Pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan simbol gotong royong bangsa. Ia adalah darah yang mengalirkan kehidupan pada republik ini. Dengan komunikasi yang inklusif dan terintegrasi, kita bisa mengubah wajah perpajakan: dari momok menakutkan menjadi kebanggaan bersama. Dan saat itu tiba, membayar pajak benar-benar bisa dilakukan dengan “happy”.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Khusnaini
Khusnaini
Dosen PKN STAN

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...