Prabowo, Gaza, dan Ujian Politik Luar Negeri Indonesia

Robaitulloh Salim MS
Oleh Robaitulloh Salim MS
17 Oktober 2025, 07:05
Robaitulloh Salim MS
Katadata/ Amosella
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di KTT Perdamaian Gaza di Doha, Qatar, akhir pekan lalu menjadi salah satu momen paling signifikan dalam arah baru diplomasi Indonesia. Untuk pertama kalinya, kepala negara Indonesia secara terbuka menghadiri forum yang juga dihadiri perwakilan Israel.

Langkah ini memunculkan dua tafsir: di satu sisi, menunjukkan ambisi Indonesia untuk memainkan peran diplomatik yang lebih aktif; di sisi lain, memicu kekhawatiran bahwa Indonesia mulai mengendurkan prinsip moral luar negeri yang selama ini berpihak pada Palestina.

Diplomasi di Tengah Realitas Politik Global

Sejak lama, posisi Indonesia terhadap Palestina menjadi simbol moralitas politik luar negeri. Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina tidak hanya berdasarkan hubungan keagamaan, tapi juga amanat konstitusi: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”

Namun dinamika global berubah cepat. Menurut data Lowy Institute Global Diplomacy Index (2025), Indonesia kini menempati peringkat ke-13 dunia dalam jaringan diplomatik, dengan 133 kedutaan dan konsulat. Ambisi menjadi kekuatan menengah dunia menuntut pendekatan yang lebih pragmatis—termasuk keterlibatan dalam forum yang melibatkan pihak-pihak berkonflik.

Keterlibatan Prabowo di KTT Gaza bisa dibaca sebagai langkah realpolitik: menjaga relevansi Indonesia di panggung global, sekaligus memperkuat posisi strategis di Timur Tengah yang kaya energi dan investasi. Tapi tanpa kejelasan batas moral, langkah ini bisa mengaburkan identitas diplomasi Indonesia yang berbasis nilai kemanusiaan.

Antara Aspirasi Publik dan Kepentingan Negara

Dukungan publik Indonesia terhadap Palestina konsisten tinggi. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan lebih dari 87% warga Indonesia menolak normalisasi hubungan dengan Israel, dan menganggap isu Palestina sebagai bagian dari tanggung jawab moral bangsa.

Karena itu, diplomasi Prabowo membawa risiko domestik yang nyata. Kritik di media sosial dan forum publik memperlihatkan kecemasan bahwa keterlibatan Indonesia di KTT Gaza bisa menjadi “normalisasi terselubung”. Dalam konteks demokrasi, persepsi publik seperti ini tidak bisa diabaikan—karena legitimasi kebijakan luar negeri juga ditentukan oleh penerimaan rakyat.

Pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka bahwa partisipasi diplomatik bukan bentuk pengakuan, melainkan strategi untuk membuka jalur kemanusiaan dan memperjuangkan gencatan senjata permanen. Tanpa komunikasi politik yang jelas, langkah diplomasi bisa disalahpahami sebagai kompromi.

Menjaga Marwah Politik Luar Negeri Bebas Aktif

Prinsip “bebas aktif” selama ini menjadi identitas diplomasi Indonesia. “Bebas” berarti tidak memihak kekuatan global manapun; “aktif” berarti berperan nyata dalam menciptakan perdamaian.

Dalam konteks Gaza, prinsip ini menuntut keseimbangan antara kepentingan nasional dan solidaritas kemanusiaan. Indonesia bisa memanfaatkan momentum KTT Gaza untuk mendorong diplomasi kemanusiaan konkret: pengiriman bantuan medis, misi pembangunan pascakonflik, dan peran aktif di forum PBB.

Namun peran itu hanya akan bermakna jika dijalankan dengan transparansi moral. Politik luar negeri yang kehilangan dasar etiknya akan mudah terjebak pada transaksi politik global—dan kehilangan kepercayaan publik di dalam negeri.

Diplomasi yang Berkarakter, Bukan Simbolik

Langkah Prabowo membuka peluang bagi Indonesia untuk tampil sebagai mediator kredibel di kawasan konflik. Tapi agar tidak sekadar simbolik, kebijakan luar negeri Indonesia perlu memperkuat tiga hal:

  1. Konsistensi antara kebijakan diplomasi dan sikap moral nasional;
  2. Penguatan kapasitas Kementerian Luar Negeri dalam diplomasi multilateral;
  3. Komunikasi publik yang jujur, terbuka, dan faktual.

Diplomasi yang berkarakter bukanlah yang paling keras bersuara, melainkan yang paling konsisten menjaga prinsip. Indonesia bisa memainkan peran strategis tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang berpihak pada kemanusiaan.

Penutup

Kunjungan Prabowo ke KTT Gaza adalah ujian awal bagi arah politik luar negeri di era barunya. Dunia mungkin memuji keberaniannya, tapi rakyat Indonesia menuntut kejelasan moral dan komitmen kemanusiaan.

Di tengah persimpangan antara idealisme dan kepentingan, Indonesia perlu menegaskan kembali satu hal: bahwa kekuatan sejati diplomasi kita bukan pada seberapa dekat dengan kekuatan global, melainkan seberapa teguh kita memegang amanat konstitusi—untuk menegakkan keadilan dan perdamaian bagi semua bangsa.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Robaitulloh Salim MS
Robaitulloh Salim MS
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi, Universitas Jember

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...