Kontekstualisasi Transmigrasi

Anggalih Bayu Muh Kamim
Oleh Anggalih Bayu Muh Kamim
18 Oktober 2025, 06:05
Anggalih Bayu Muh Kamim
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintahan Presiden Prabowo membentuk kembali Kementerian Transmigrasi dengan arahan untuk menjadikan “transmigrasi sebagai upaya untuk membentuk kawasan pertumbuhan baru.” Kementerian Transmigrasi mengklaim bahwa transmigrasi yang didorong pada masa pemerintahan Prabowo diklaim menggunakan “paradigma baru” yang meninggalkan “paradigma lama yang seolah semata memandang pemindahan penduduk dari daerah yang padat penduduk ke daerah yang jarang penduduk.” 

Kenyataannya regulasi mengenai transmigrasi pada masa Orde Baru dimulai dari UU Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi sudah mengarahkan bahwa proyek tersebut didorong memang untuk “menghubungkan munculnya kawasan pertumbuhan baru,” sehingga klaim menggunakan “paradigma baru tidak sepenuhnya terbukti.” Begitu pula UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian maupun UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian sudah membayangkan bahwa transmigrasi dilihat akan mencetak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah.

Paradigma yang digunakan pada dasarnya tetap sama untuk mengerahkan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dalam “program ambisius” yang difasilitasi oleh pemerintah baik pada proyek yang sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah maupun swasta. Perbedaannya hanya pada prioritas proyek yang ingin dikejar. UU Nomor 3 Tahun 1972 misalnya, mengarahkan transmigrasi untuk mengejar peningkatan produksi pangan yang ada di daerah, sedangkan UU Nomor 15 Tahun 1997 mengarahkan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja untuk proyek-proyek yang bersifat sektoral dan dalam pembangunan daerah begitu pula dalam UU Nomor 29 Tahun 2009. Perbedaan yang ada dalam UU Nomor 29 Tahun 2009 yang digunakan sampai saat ini adalah peran utama dari pemerintah daerah asal calon transmigran dan daerah tujuan transmigrasi dalam pelaksanaan proyek. 

Kecenderungan untuk memindahkan penduduk untuk dijadikan tenaga kerja tidak dilepaskan dari proyek kolonisasi yang dilakukan pada masa Hindia Belanda seperti yang dilakukan di Sumatera Timur (Breman, 1997). Logikanya tidak dapat dilepaskan dari menganggap lahan yang digunakan untuk proyek adalah “lahan tidur/kosong yang tidak diolah secara produktif oleh penduduk setempat” dan seolah “dapat diambil untuk dimasukkan penduduk dari daerah lainnya untuk dijadikan tenaga kerja murah yang dikendalikan secara ketat untuk menopang investasi” (Pelzer, 1985).  

Proyek transmigrasi (masih terjerat logika kolonisasi) semata ingin memasukkan “modal produktif dengan memanfaatkan tenaga kerja yang mudah dikendalikan dari daerah lainnya” dapat terlihat dari regulasi sejak masa Orde Baru yang membingkai transmigrasi sebagai bagian dari “upaya menjaga stabilitas nasional.” Pemerintah beralasan bahwa aset daerah perlu diolah untuk menjaga ketahanan nasional, padahal motif dan mekanisme yang digunakan semata untuk terus menjaga legitimasi kuasa untuk mencegah munculnya suara rakyat kecil dari identitas yang berbeda di akar rumput (Tirtosudarmo, 2007). Transmigrasi lokal yang digunakan untuk memindah penduduk lokal ke “daerah yang di dekatnya” untuk dijadikan penopang investasi pun kenyataannya juga mengorbankan penghidupan warga dan semata memfasilitasi kepentingan proyek semata (Palupi et. al., 2017).

Kontekstualisasi

Upaya pembangunan di akar rumput melalui transmigrasi semestinya berangkat dari kebutuhan rakyat kecil di daerah asal yang kenyataannya juga dapat mendukung maupun menjadi pelakunya sendiri. Kita dapat berangkat dari mulai melakukan redefinisi atas transmigrasi lokal yang dapat dijadikan sebagai pintu utama untuk memfasilitasi penduduk lokal dengan tetap mempertahankan pengetahuan lokal untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya dan bersama maju dengan warga dengan identitas sosial yang berbeda. 

“Penataan penduduk” dalam transmigrasi lokal dapat dimulai dengan menata penduduk menyesuaikan dengan sumber daya komunalnya yang belum dikelola secara maksimal dengan memanfaatkan pengetahuan lokalnya. Misalnya di lokasi studi yang digali oleh penulis di kawasan Weri-Saharey, Distrik Fakfak Timur, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat ternyata setiap orang yang ada di dalam suku Mbaham tetap memberi ruang untuk mengolah lahan dengan hak pakai yang dalam bahasa lokal disebut sebagai hak makan yang dapat diberikan kepada siapapun tanpa melihat latar belakang identitasnya.

Pemindahan penduduk di kawasan Weri-Saharey sendiri sebenarnya sudah dilakukan semenjak pembentukan distrik Fakfak Timur pada sekitar 1990-an disertai dengan pembentukan kampung baru sebagai ibukota distrik. Pemindahan penduduk dari kampung lama ke kampung-kampung baru pada dasarnya ditempatkan di lokasi yang masih menjadi “wilayah kelola yang berkaitan dengan warga yang sudah ditempatkan.” Sayangnya, penetapan kawasan tersebut pada tahun 2017 oleh pemerintah pusat tidak disertai dengan pemahaman tentang pemindahan penduduk dari kampung lama ke kampung-kampung baru pada dasarnya adalah bentuk transmigrasi lokal yang dilakukan dari bawah. Sebab, pemerintah pusat sebatas memahami bahwa transmigran lokal itu sebagai mereka yang berasal dari identitas yang berbeda yang sudah tinggal pada daerah yang ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi. Makna lain yang dipakai selama ini adalah sebatas mendorong warga lokal mendukung investasi yang masuk.

Kontekstualisasi atas transmigrasi lokal dengan mengikuti pengetahuan warga lokal atas sumber daya menjadi penting untuk memahami bahwa sebenarnya warga di akar rumput yang telah “dipindah” pun pada dasarnya juga “transmigran lokal” dan mereka perlu difasilitasi juga dalam pembangunan. Hal tersebut penting untuk memperkuat penerimaan atas kedatangan dari warga yang berasal dari luar komunitas setempat. Apalagi warga lokal yang telah dipindahkan juga membuka ruang pemanfaatan sumber daya komunal secara terbuka bagi siapapun untuk dimanfaatkan asalkan mau tinggal di lokasi setempat dan tidak menjual lahan. Kontekstualisasi seperti ini menjadi inovasi penting untuk meningkatkan kesejahteraan bersama antara warga dari identitas yang berbeda dalam pemanfaatan sumber daya tanpa harus merusak pengetahuan lokal dari komunitas setempat.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Anggalih Bayu Muh Kamim
Anggalih Bayu Muh Kamim
Peneliti Ekspedisi Patriot Kementerian Transmigrasi-IPB University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...