Transformasi Kehumasan Polri di Era Digital
Revolusi digital telah mengubah lanskap komunikasi publik secara fundamental. Ruang publik didominasi oleh media digital yang interaktif, cepat, dan masif. Kehadiran internet, media sosial, big data, serta kecerdasan buatan tidak hanya mempercepat aliran informasi, tetapi juga menjadikannya sebagai arena kontestasi narasi.
James Grunig menekankan bahwa “kehumasan modern harus mengedepankan komunikasi dua arah yang simetris, bukan sekadar propaganda”. Komunikasi publik bukan lagi sekadar menyampaikan informasi, melainkan menciptakan ruang interaksi.
Dua tantangan eksternal. Pertama, dinamika generasi digital native. Tantangan ini semakin kompleks dengan hadirnya generasi digital native, yaitu kelompok masyarakat yang sejak kecil tumbuh bersama internet dan media sosial. Generasi ini menuntut akses informasi yang cepat, visual, dan interaktif. Mereka terbiasa dengan format komunikasi singkat, emotif, dan penuh simbol visual, bukan dengan teks panjang yang formal.
Kedua, tuntutan globalisasi dan transparansi. Tantangan juga datang dari dinamika global. Di era keterbukaan informasi, dunia internasional menuntut standar tinggi dalam transparansi institusi negara. Keterlambatan klarifikasi, upaya menutup informasi, atau komunikasi yang tidak konsisten akan dengan mudah terekspos dan menggerus citra di mata publik global.
Berkaca dari demonstrasi pada bulan Agustus lalu, sebagai langkah antisipasi, informasi di era digital nyaris tanpa henti setiap detik dengan beragam isu yang saling bertabrakan. Bagaimana mempersiapkan langkah-langkah kedepan, agar sebagai warga bangsa kita tidak terjebak pada aksi saling serang dan menyalahkan institusi tertentu. Karena menjaga dan merawat kedamaian dan keharmonisan sesama warga bangsa adalah tanggung jawab bersama.
Antisipasi Ancaman Hibrida
Era digital bukan hanya menghadirkan peluang percepatan komunikasi publik, melainkan juga membuka ruang bagi ancaman hibrida yang semakin kompleks. Konsep ancaman hibrida oleh Frank Hoffman, mengacu pada kombinasi simultan antara kekuatan konvensional, taktik irreguler, terorisme, dan perang informasi yang saling berkelindan dalam satu kesatuan strategi.
Ancaman ini bukan lagi bersifat abstrak, melainkan nyata dan hadir dalam bentuk serangan siber, disinformasi, propaganda digital, hingga infiltrasi ideologi ekstrem yang memanfaatkan algoritma media sosial. Karakteristik ancaman semacam ini memperlihatkan bahwa tantangan keamanan publik tidak lagi dapat dipisahkan antara dunia nyata dan dunia maya; keduanya saling berkelindan dan menciptakan risiko multidimensional.
Serangan siber yang menargetkan infrastruktur vital, kebocoran data publik, serta penyebaran informasi palsu yang masif adalah wajah nyata dari ancaman hibrida.
Joseph Nye dalam teorinya tentang soft power menegaskan bahwa kekuatan dalam era informasi ditentukan oleh kemampuan membentuk preferensi melalui narasi. Namun dalam praktik ancaman hibrida, soft power sering dipelintir menjadi sharp power, yaitu penggunaan narasi digital secara manipulatif untuk menekan dan mendelegitimasi negara.
Untuk memahami mengapa ancaman hibrida berbahaya, teori securitization dari Copenhagen School dapat dijadikan rujukan. Teori ini menjelaskan bahwa suatu isu berubah menjadi ancaman keamanan ketika berhasil dibingkai oleh aktor politik sebagai sesuatu yang mengancam kelangsungan hidup kolektif.
Dalam konteks Indonesia, hoaks, polarisasi, dan serangan digital bukan lagi sekadar persoalan komunikasi, melainkan isu keamanan yang berdampak langsung pada kohesi sosial. Ketika kepercayaan publik terhadap institusi negara melemah, stabilitas nasional turut terancam.
Laporan RAND Corporation bahkan menegaskan bahwa ancaman hibrida sering bersifat asimetris, dilakukan oleh aktor dengan sumber daya kecil tetapi memanfaatkan ruang digital untuk menghasilkan dampak luas. Inilah yang membuat Polri harus mengubah cara pandang bahwa keamanan digital tidak bisa dipisahkan dari keamanan publik secara keseluruhan.
Antisipasi terhadap ancaman hibrida menuntut pendekatan yang komprehensif, bukan hanya teknis. Bruce Schneier, pakar keamanan siber, menyebut bahwa keamanan bukan semata soal teknologi, melainkan juga persoalan kepercayaan dan perilaku. Artinya, memperkuat perangkat keras dan infrastruktur digital memang penting, tetapi tanpa membangun budaya transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi publik yang terbuka, strategi tersebut akan rapuh.
James Grunig dengan teorinya tentang komunikasi dua arah menekankan pentingnya interaksi dialogis antara institusi dan masyarakat. Klarifikasi atas isu publik tidak boleh bersifat reaktif dan kaku, melainkan harus interaktif, mudah diakses, serta menyentuh dimensi emosional masyarakat.
Ancaman hibrida juga tidak bisa ditangani secara soliter. Polri membutuhkan kolaborasi dengan ekosistem keamanan yang lebih luas, termasuk BSSN, Kominfo, TNI, akademisi, media, dan komunitas digital. Manuel Castells menegaskan, kekuasaan di era digital ditentukan oleh kemampuan membangun jaringan informasi.
Oleh sebab itu, membangun jejaring kolaboratif menjadi keharusan. Media arus utama, dapat berfungsi sebagai mitra kredibel dalam menyampaikan informasi terverifikasi, sementara akademisi dapat memberi landasan rasional terhadap isu-isu yang kompleks. Influencer digital memiliki jangkauan emosional yang kuat untuk mendekati generasi muda, sedangkan organisasi masyarakat sipil dapat memperkuat legitimasi sosial dengan menjembatani pesan negara ke masyarakat akar rumput. Kolaborasi ini menjadi instrumen esensial dalam menghadapi disinformasi terstruktur.
Studi kasus global memberikan gambaran nyata tentang bagaimana ancaman hibrida bekerja. Serangan siber Rusia terhadap Ukraina sejak 2014 menunjukkan bagaimana operasi digital dapat melumpuhkan infrastruktur negara. Pemilu Amerika Serikat 2016 menjadi contoh bagaimana kampanye disinformasi digital mampu memengaruhi perilaku politik jutaan warga. Fenomena Brexit di Inggris menegaskan bahwa manipulasi algoritma media sosial bisa mengubah arah keputusan politik nasional.
Di kawasan Asia Tenggara, laporan ASEAN Cybersecurity Outlook menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat serangan siber tertinggi. Fakta ini memperlihatkan bahwa ancaman hibrida di ruang digital bukan sekadar potensi, tetapi realitas yang sudah berlangsung. Dampaknya jelas: melemahkan stabilitas keamanan publik, mengganggu legitimasi institusi, dan mengikis kepercayaan masyarakat.
Strategi Berbasis Teknologi
Filsuf komunikasi Haryatmoko mengingatkan, “media bekerja dengan logika waktu pendek: kecepatan sering mengorbankan kedalaman dan akurasi”. Polri harus menyadari hal ini agar setiap pesan yang dikomunikasikan tidak hanya cepat, tetapi juga valid dan dapat diverifikasi.
Menghadapi derasnya arus informasi digital, strategi komunikasi Polri tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan konvensional. Polri harus memanfaatkan teknologi mutakhir sebagai instrumen kunci dalam mengelola opini publik, merespons isu, serta memperkuat legitimasi.
Pertama, optimalisasi media sosial sebagai garda depan. Media sosial kini menjadi arena utama pembentukan opini publik. Oleh karena itu, Polri melalui Divisi Humas memiliki kanal informasi melalui Instagram, X, Facebook, TikTok, hingga YouTube. Platform ini harus berkembang menjadi garda depan komunikasi publik yang kredibel, cepat, dan humanis.
Model komunikasi real-time engagement akan memperkuat kedekatan Polri dengan masyarakat. Pola ini bukan hanya menekan ruang bagi hoaks, tetapi juga memperlihatkan sisi responsif dan transparansi institusi.
Kedua, big data dan artificial intelligence (AI) sebagai sistem deteksi dini. Teknologi big data dan AI memungkinkan Polri membaca pola persebaran isu di media digital secara lebih akurat. Analisis sentimen publik, trend mapping, dan keyword monitoring dapat membantu Polri memahami persepsi masyarakat terhadap kebijakan tertentu. AI juga dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi potensi hoaks sejak dini.
Ketiga, digitalisasi layanan publik. Komunikasi publik bukan hanya penyampaian informasi, tetapi juga pelayanan. Digitalisasi layanan publik, seperti website resmi yang ramah pengguna, aplikasi mobile terpadu, hingga chatbot interaktif, dapat menjadi kanal komunikasi dua arah. Model komunikasi dua arah ini sejalan dengan teori James Grunig mengenai two-way symmetrical communication, di mana komunikasi tidak bersifat satu arah seperti propaganda, melainkan interaktif, dialogis, dan partisipatif.
Keempat, monitoring dan evaluasi berbasis data. Salah satu kelemahan komunikasi publik konvensional adalah sulitnya mengukur efektivitas pesan. Dengan teknologi analitik real-time, kita dapat memantau jangkauan pesan, tingkat keterlibatan audiens, serta peta isu strategis yang berkembang. Data ini bukan hanya berguna untuk evaluasi, tetapi juga sebagai landasan bagi pengambilan kebijakan lanjutan.
Namun, strategi berbasis teknologi tidak bisa dilepaskan dari tantangan implementasi. Pertama, kesiapan sumber daya manusia. Transformasi digital membutuhkan personel dengan literasi digital tinggi, keterampilan analitik, serta sensitivitas terhadap tren komunikasi baru. Kedua, infrastruktur teknologi harus kuat, aman, dan andal untuk mencegah kebocoran data serta serangan siber. Ketiga, etika komunikasi digital harus dijaga.
Meneguhkan Legitimasi
Dunia digital telah mengubah ekspektasi publik, mempercepat arus informasi, sekaligus memperbesar risiko disinformasi. Dalam konteks ini, legitimasi institusi tidak lagi ditentukan semata oleh kinerja operasional, tetapi juga oleh kemampuan mengelola narasi publik secara cerdas dan adaptif.
Dalam pandangan, Jürgen Habermas, ruang publik adalah arena di mana opini dibentuk melalui interaksi komunikatif yang rasional. Jika Polri mampu mewujudkan prinsip ini dalam ruang digital, legitimasi publik akan semakin kokoh. Tetapi jika gagal, narasi tandingan akan dengan cepat merebut ruang kepercayaan masyarakat.
Jika Hoffman menyebut bahwa ancaman hibrida mengeksploitasi celah dalam sistem, maka tugas Polri adalah menutup celah tersebut dengan memperkuat kapasitas siber, membangun komunikasi publik yang transparan, memperluas kolaborasi multi-aktor, serta memberdayakan masyarakat melalui literasi digital. Antisipasi ini menuntut konsistensi nilai: profesionalisme, humanisme, dan transparansi.
Teknologi hanyalah alat, tetapi legitimasi lahir dari kepercayaan publik yang dibangun melalui komunikasi yang jujur dan inklusif. Jika Polri mampu mengelola ancaman hibrida dengan strategi yang komprehensif, maka era digital tidak lagi menjadi ancaman eksistensial, melainkan kesempatan untuk memperkuat kohesi sosial dan meneguhkan legitimasi Polri sebagai institusi yang relevan, adaptif, dan dipercaya masyarakat di tengah disrupsi global.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
