Dilema Kapitalisme Indonesia: Efisiensi Tanpa Keadilan

Dr. Made Satyaguna
Oleh Dr. Made Satyaguna
29 Oktober 2025, 06:05
Dr. Made Satyaguna
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Indonesia sering dikenal sebagai salah satu negara dengan perekonomian paling stabil di Asia. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) stabil di kisaran 5%, tingkat inflasi relatif rendah, dan defisit fiskal yang terkendali. Secara umum, indikator ekonomi makro hampir semua mencerminkan tingkat efisiensi yang solid, terutama dalam kondisi saat ini. Namun, di balik gambaran efisiensi ini, ketimpangan justru meningkat yang berdampak buruk pada kualitas hidup banyak orang.

Sejauh ini, efisiensi ekonomi telah dicapai melalui disiplin fiskal, reformasi regulasi, dan arus masuk investasi yang berkelanjutan. Di saat yang sama, pasar tenaga kerja kehilangan kapasitasnya dalam penyerapan tenaga kerja. Menurut Pusat Data dan Teknologi Informasi Ketenagakerjaan, meskipun produktivitas tenaga kerja telah meningkat sejak 2020, nilai tambah per pekerja justru menurun. Kesempatan kerja menjadi lebih fleksibel, namun seringkali tidak memiliki jaminan sosial dan perlindungan pendapatan. Skenario ini bukanlah suatu kebetulan; melainkan merupakan karakteristik intrinsik dari model pertumbuhan yang berfokus pada akumulasi modal.

Menurut Laporan Ekonomi untuk Asia dan Pasifik yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada Oktober 2025, meskipun statistik ketenagakerjaan menunjukan tren positif, kaum muda masih menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Kesenjangan ini menyoroti perlunya reformasi struktural yang bertujuan meningkatkan kapasitas perekonomian dalam mengakomodasi tenaga kerja, terutama di kalangan demografi yang lebih muda.

Upaya untuk menderegulasi dan mendorong investasi memang berhasil menarik modal asing; namun, hal ini belum berimbang dengan kesempatan kerja bagi semua. Sebagian besar investasi disalurkan ke sektor padat modal seperti pertambangan, energi, dan infrastruktur, mengabaikan industri padat karya seperti manufaktur ringan dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pertumbuhan ekonomi terkonsentrasi pada sejumlah perusahaan besar dan wilayah perkotaan tertentu. Alhasil, kapitalisme kita telah menjadi efisien dari sudut pandang modal, tetapi kurang efisien dari perspektif bagi hasil.

Efisiensi Tanpa Keadilan Menciptakan Dilema

Meskipun laba perusahaan melonjak dan indeks pasar saham telah mencapai titik tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya, hal ini tidak mengakibatkan peningkatan pada kesejahteraan bagi masyarakat umum. Produktivitas tenaga kerja telah meningkat sebesar 6.9% sejak 2020, tetapi upah riil hanya meningkat sekitar 0,6% per tahun. Biaya hidup, transportasi, dan layanan kesehatan telah meningkat tajam, menyebabkan banyak keluarga kelas menengah terlilit utang, tabungan semakin menipis, dan waktu untuk interaksi sosial yang lebih sedikit. 

Keadaan ini sejalan dengan tesis kemiskinan Karl Marx, di mana kelas pekerja tidak mengalami penurunan kekayaan secara absolut, melainkan semakin tertinggal secara relatif dibanding kelas kapitalis (pemilik modal). Contohnya adalah Indonesia, di mana ekonomi sedang berkembang, konsumsi meningkat, tetapi kesejahteraan riil terus stagnan. Kita menyaksikan kemakmuran semu, ditopang oleh kredit konsumen dan tekanan sosial, sementara ketimpangan yang mendasarinya terus melebar dan tersembunyi di balik statistik makroekonomi.

Ketimpangan ini bukan sekadar faktor ekonomi, tetapi juga bersifat sosial. Pekerja menghadapi jam kerja yang panjang, stres yang meningkat, dan waktu istirahat semakin berkurang. Kesempatan mobilitas sosial semakin terbatas karena meningkatnya biaya pendidikan dan kesehatan melampaui kemampuan keluarga rata-rata. Secara psikologis, kelas menengah di masyarakat kita menjadi semakin cemas dan berjuang lebih keras hanya untuk mempertahankan gaya hidup yang dulu dianggap “normal”.

Tata Kelola Kemakmuran Asimetris

Masalah utamanya bermula dari tata kelola ekonomi yang tidak merata (asimetris). Pemerintah terlalu memprioritaskan pengelolaan pembangunan sementara mengabaikan sistem peradilan. Kita telah membangun kerangka kerja yang efektif menarik modal tetapi tidak efektif dalam menangani distribusi manfaat. Industri besar menerima insentif pajak, namun jaring pengaman sosial bagi pekerja rentan masih belum memadai. Undang-undang ketenagakerjaan disederhanakan untuk fleksibilitas, tetapi hal ini justru melemahkan perlindungan pekerja. Lebih lanjut, sistem perpajakan lebih mengutamakan konsumsi dan sewa daripada redistribusi yang berkeadilan.

Efisiensi semacam ini menghasilkan apa yang disebut “Tata Kelola Kemakmuran Asimetris”, di mana pertumbuhan dikelola dengan baik, tetapi kemakmuran dibiarkan dibentuk oleh kekuatan pasar yang tidak seimbang. Sehingga, kapitalisme yang terjadi menghasilkan surplus ekonomi yang tidak memiliki legitimasi sosial. Di satu sisi, investor menikmati keamanan dan kenyamanan; di sisi lain, pekerja dan masyarakat luas merasa terabaikan.

Teori-teori modern ekonomi seperti Thomas Piketty (2013) hingga Joseph Stiglitz (2012) berpendapat bahwa ketika imbal hasil investasi melebihi pertumbuhan ekonomi (r > g), ketimpangan pasti akan terjadi. Pola ini jelas terlihat di Indonesia, di mana ekspansi aset keuangan telah jauh melampaui pertumbuhan upah. Dalam lima tahun terakhir, kekayaan 1% populasi teratas hampir berlipat ganda, sementara mayoritas masyarakat hanya merasakan sedikit peningkatan.

Mereformasi Kapitalisme

Jawabannya bukan menolak kapitalisme, melainkan memperbaikinya. Kita membutuhkan bentuk kapitalisme yang berlandaskan keadilan, bukan sekadar efisiensi. Pemerintah harus berupaya memperkuat kerangka kerja redistributif, bukan hanya meningkatkan daya saing investasi. Sistem perpajakan yang benar-benar progresif sangat penting, terutama terkait keuntungan perusahaan dan aset keuangan. Pemberian subsidi seharusnya lebih berfokus pada peningkatan produktivitas masyarakat daripada mendorong konsumsi jangka pendek.

Selain itu, kebijakan industri perlu menekankan penciptaan lapangan kerja yang bermakna, bukan hanya proyek padat modal. Sektor UMKM, ekonomi hijau, dan industri kreatif seharusnya menerima insentif yang setara dengan sektor yang lebih besar, karena di sanalah letak kemandirian sosial-ekonomi yang sesungguhnya. Pelatihan vokasi dan jaminan sosial perlu dipandang sebagai investasi bagi daya saing bangsa, bukan sebagai beban fiskal.

Reformasi tata kelola harus mengatasi inti permasalahan, memulihkan keseimbangan antara efisiensi pasar dan keadilan sosial. Tanpa keseimbangan ini, efisiensi akan terus menjadi ilusi, representasi dangkal dalam laporan ekonomi yang tidak memiliki substansi dalam realitas sosial.

Refleksi Akhir

Pertumbuhan tanpa keadilan sama dengan efisiensi tanpa legitimasi. Indonesia memang mengalami pertumbuhan, tetapi mengalami kekurangan keadilan yang nyata. Saat ini keberanian politik sangat dibutuhkan untuk mengakui bahwa sistem yang terlalu berpihak pada modal (kapitalis) akan kehilangan fondasi sosialnya. Bangsa yang menunjukkan efisiensi berupa angka tetapi gagal menanamkan rasa keadilan, akan menghadapi ketidakstabilan. Ketidakstabilan ini terjadi karena ketimpangan terus-menerus menuntut suatu bentuk perbaikan, baik berupa frustasi, stagnasi, maupun menurunnya kepercayaan publik.

Kapitalisme Indonesia saat ini berada di persimpangan antara efisiensi dan keadilan. Jalan tengah bukanlah melalui revolusi, melainkan melalui reformasi yang bertujuan memprioritaskan keadilan sehingga pertumbuhan bertransformasi dari kemewahan statistik menjadi pengalaman sejati bagi seluruh warga negara.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Dr. Made Satyaguna
Dr. Made Satyaguna
Portfolio Strategic PT UOB KayHian Sekuritas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...