Kriminalisasi Warga sebagai Reaksi Alamiah Kekuasaan Negara

Alvino Kusumabrata
Oleh Alvino Kusumabrata
30 Oktober 2025, 07:05
Alvino Kusumabrata
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Salah satu seruan dalam Reformasi 1998 adalah perlindungan dari penghilangan dan penahanan aktivis tanpa prosedur hukum yang sah. Kini, 27 tahun kemudian, tuntutan Reformasi itu lenyap seiring orkestrasi kekuasaan rezim militerisme Prabowo-Gibran. 

Protes besar yang terjadi pada akhir Agustus dan awal September lalu mendorong perburuan terhadap aktivis dan warga negaranya sendiri. Akrobat operasi itu memecahkan rekor sebagai kriminalisasi terbesar terhadap warga pasca-Reformasi 1998. Sebanyak 5.444 orang ditangkap. Polri juga menetapkan 960 orang sebagai tersangka (YLBHI, 2025). 

Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru, adalah salah satu dari 900-an orang itu. Dia ditangkap pada 1 September. Terkini, Muhammad Fakhrurrozi atau Paul, aktivis Yogyakarta, dijemput paksa-tangkap dari Sleman ke Polda Jatim.

Dari apa yang terjadi, pembaca mesti mafhum bahwa segala prosedur upaya paksa terhadap aktivis telah melenceng jauh dari hukum acara pidana kita. Tentu pula upaya paksa serampangan, atau kriminalisasi tersebut, dapat diklasifikasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pengerdilan esensi kebebasan berekspresi.

Pembaca dapat juga menafsirkan kriminalisasi skala besar ini sebagai bagian dari proyek penguatan militerisme kekuasaan negara.

Akan tetapi, pertanyaan tetap muncul: apa yang sebenarnya hendak dicapai oleh instrumen negara, Polri, kala mengkriminalisasi warga biasa seperti kita? 

Mengasosiasikan kriminalisasi dengan melanggar HAM tidak lantas menghapus pertanyaan itu. Begitu juga dengan mengartikulasikan penangkapan sewenang-wenang sebagai upaya pembenaran kecurigaan Prabowo atas dugaan makar. Jawaban yang ada justru terkesan parsial-sektoral tanpa benar-benar meletakkan pada level struktural negara.

Penangkapan besar-besaran yang terjadi tidak bisa diterjemahkan sekadar untuk memuaskan nafsu otoriter Prabowo semata. Bagi saya, negara berusaha mendapatkan hasil yang jauh lebih besar dengan mengorbankan ribuan warga.

Melindungi Kapital

Kriminalisasi aktivis menunjukkan pengambilalihan kewenangan yang tidak diberikan oleh hukum dan aktor polisi, serta mengabaikan hak-hak hukum tersangka secara teratur. Tindakan-tindakan tersebut terhubung dengan konsep ilegalitas kepolisian yang “berada di luar hukum” (Neocleous, 2021). 

Kecenderungan ilegalitas kepolisian sebetulnya beresonansi dengan konteks militerisme yang sedang menancapkan kukunya di Indonesia. Pada saat bersamaan, gejala militerisme yang mengakar kuat dalam kekuasaan negara menjadikan segalanya tampak terpusat, macam keterlibatan militer dalam food estate, Koperasi Merah Putih, dan Makan Bergizi Gratis (MBG)

Karl Liebknecht dalam Militarism and Anti-Militarism (1973) menyebutkebutuhan atas militerisme merupakan ekspresi paling kuat dan terkonsentrasi pada kekuasaan kelas-kelas sosial tertentu untuk mempertahankan diri atas ancaman sesuatu. Pertahanan diri itu bersambungan dengan kecenderungan kelas dominan untuk menjaga kontinuitas “pembagian kue” sumber daya kapital ekonomi-politik terpusat sebagai konsekuensi perubahan dari berakhirnya desentralisasi (Hadiz, 2025).

Bagi negara militeristik, proses mengubah warga biasa sebagai kriminal telah menjadi fitur inheren untuk menghasilkan dan merekayasa tatanan sosial yang sudah timpang. Implikasinya membawa pada kriminalisasi yang merupakan reaksi alamiah dari kekuasaan negara untuk mengatasi ancaman direbutnya sumber daya kapital terpusat itu. Dalam bahasa kolonial, upaya penangkapan untuk menegakkan rust en orde (keamanan dan ketertiban umum).

Sebagai reaksi negara, kriminalisasi adalah langkah untuk memindahkan konflik dari arena politik ke ruang hukum. Skala konflik yang bisa mengerahkan puluhan aparat kemudian dialihkan ke dalam bilik pengadilan. Inilah yang menyebabkan dimulainya gejala depolitisasi.

Kekuasaan negara via Polri akan menggunakan kriminalisasi yang menjadi sarana fasilitas produksi berbagai “musuh negara”, tergantung apakah mereka musuh tatanan sosial-ekonomi kapitalis atau musuh tatanan militeristik. 

Dengan menegakkan standar hukum tertentu dan menargetkan orang-orang “berbahaya”--seperti Saiful Amin dan Shelfin Bima–dua pelajar Kediri yang ditangkap, proses kriminalisasi berusaha memastikan bahwa reproduksi status quo tetap terjaga.

Orang-orang yang terlibat demonstrasi besar dianggap akan mengganggu sirkulasi modal dan kepentingan politik para elite. Terutama yang terkait dalam proyek-proyek penting pemerintah.

Dalam derajat lain, penangkapan massal ini tidak bisa berdiri sendiri, ia terkoneksi langsung dengan agenda politik besar negara. Penangkapan ukuran besar yang sama juga bermakna menanggalkan artikulasi suara kritis agar proyek strategis negara bisa beroperasi tanpa halangan berarti.

Dengan demikian, dalam tatanan sosial-kapitalis, apapun bentuk penangkapan selalu diabsahkan oleh polisi demi tujuan yang lebih besar lagi: menjaga keseimbangan ketidaksetaraan sosial yang dipertahankan melalui hukum dan cara-cara yang dijustifikasi sah (Bernat & Whyte, 2021). 

Sehingga pembaca tidak perlu heran bila polisi memilih buku-buku radikal milik aktivis sebagai objek sitaan. Sebab instrumen kekerasan negara tersebut akan melegalkan bentuk ilegalitas demi melindungi proses akumulasi kapital milik pusat.

Jadi, negara ini tidak pernah alergi membaca, tapi negara memang berusaha membuktikan warga biasa adalah musuh berbahaya dengan menggeledah ruang-ruang privat kita sekalipun. Kita inilah yang dapat membuka potensi ancaman bagi keberlangsungan pembagian sumber daya ekonomi-politik di antara kelas dominan—yang mana sedari awal kita tidak pernah kebagian jatah.

Bisa dikatakan pula, kekuasaan negara sebetulnya tidak pernah tertarik pada ancaman objektif pemidanaan dari “kejahatan” yang jadi targetnya. Hal persis juga selaras pada rezim militeristik sekarang yang tidak pernah tertarik pada aspek “kejahatan” apa yang Syahdan Husein, aktivis Gejayan Memanggil, lakukan. 

Sebaliknya, negara lebih menguliti pada potensi bahaya yang disasarnya terhadap hidup-matinya distribusi dan konsolidasi kapital bagi kelas dominan. Cara pandang negara dalam hal ini adalah kategorial: mana yang berbahaya dan tidak berbahaya. Yang berbahaya harus direstorasi dengan kriminalisasi.

Sejarah kriminalisasi aktivis dan warga biasa adalah sejarah yang akrab bagi Indonesia. Arief Budiman yang ditangkap atas penolakan Taman Mini Indonesia Indah 53 tahun yang lalu adalah “orang yang sama” dengan Muzaffar Salim, staf Lokataru, yang memposting posko aduan bagi pelajar. Mereka berdua adalah ancaman terhadap keberadaan pengorganisasian kapital untuk golongan satu persen.

Mari berdiri di persimpangan sejarah. Kriminalisasi skala kolosal hari ini membuat kita sadar satu hal: kita sejatinya tidak pernah selangkah lebih maju sejak Orde Ba(r)u Soeharto. Bahkan, dua langkah lebih mundur.

Sementara menulis paragraf di atas, pertanyaan menggelitik tumbuh di kesadaran: apakah kriminalisasi adalah harga yang harus kita bayar karena ia menjadi dinamika lingkaran setan antara negara dan kapital? Atau sudah saatnya kita meruntuhkan hubungan negara dengan kapital?

Bila kita memilih meruntuhkan relasi negara-kapital (oligarki) secara konsekuen, kriminalisasi bukan lagi keniscayaan yang menghantui kita karena kita tidak rugi sepeserpun untuk melawan.

Seperti James Baldwin catat dalam The Fire Next Time (1990): “the most dangerous creation of any society is the man who has nothing to lose.”

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Alvino Kusumabrata
Alvino Kusumabrata
Associate Research Fellow pada Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum UGM

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...