Belajar Berpikir di Era Kecerdasan Buatan

Yan Yulius
Oleh Yan Yulius
1 November 2025, 07:05
Yan Yulius
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dulu, lumrah untuk bisa mengingat nomor telepon orang terdekat kita. Banyak hal yang membuat orang kita secara terus menerus untuk mengingat, mengulang, dan menyimpan informasi. Seiring waktu berjalan, tugas itu kita serahkan sepenuhnya pada berbagai teknologi yang tersedia di sekitar kita.

Perubahan kecil seperti ini mungkin tampak sederhana, tetapi ini menandai bagaimana teknologi perlahan mengambil alih proses berpikir kita. Mulai dari kalkulator yang menggantikan perhitungan manual, hingga aplikasi navigasi yang membuat kita tak lagi menghafal arah jalan. Semuanya membuat hidup lebih mudah, namun sedikit demi sedikit menggeser cara kita belajar dan memecahkan masalah.

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah lompatan besar dalam teknologi, termasuk di bidang pendidikan. Dengan kemampuan memproses informasi dalam hitungan detik, AI membuka peluang besar untuk mendukung pembelajaran. Namun tanpa bimbingan yang tepat, siswa bisa terjebak menjadi pengguna pasif karena cepat mendapat jawaban, tetapi lemah dalam penalaran. Di sinilah pendidikan berperan penting, bukan sekadar mengajarkan teknologi, melainkan membentuk responsible learners yang tahu cara berpikir, bukan sekadar apa yang harus dipikirkan.

Prinsip inilah yang sejak lama dipegang oleh kurikulum International Baccalaureate (IB): pendidikan harus student-centered dan human-centered. Siswa bukan sekadar diajarkan untuk menguasai alat, tetapi diarahkan untuk memiliki keterampilan berpikir kritis, kreativitas, serta kesadaran nilai dan etika. Filosofi ini menekankan bahwa teknologi, termasuk AI, hanyalah alat bantu untuk memperkaya pembelajaran dan bukan pengganti peran manusia dalam mendidik maupun belajar.

Di Sekolah Ciputra Surabaya tempat saya mengajar dan menjabat sebagai Information and Communication technology (ICT) Coordinator, prinsip ini kami terapkan secara konkret. Dalam dua tahun terakhir, kami mulai mengintegrasikan AI ke ruang kelas dengan pendekatan bertahap: pengenalan sejak tingkat dasar, hingga penerapan literasi AI di kelas 5 dan 6, lalu mendalami keterampilan lebih lanjut di jenjang menengah. Semua ini selalu dikaitkan dengan nilai, etika penggunaan, dan keterampilan sosial-emosional agar siswa tidak hanya memahami cara kerja AI, tetapi juga dampaknya bagi diri mereka dan masyarakat.

Di Indonesia sendiri, arah kebijakan pendidikan juga sudah mulai menekankan pentingnya literasi digital dan keterampilan abad 21. Kementerian Pendidikan baru-baru ini menegaskan bahwa integrasi teknologi, termasuk AI, ke dalam kurikulum adalah bagian dari strategi untuk menyiapkan generasi emas 2045. Hal ini menunjukkan bahwa peran sekolah dan guru menjadi semakin penting, bukan hanya untuk mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga menanamkan nilai dan pola pikir kritis agar sejalan dengan visi pembangunan bangsa.

Dalam pandangan saya, AI tidak boleh menggantikan peran guru maupun siswa. Teknologi ini seharusnya memberdayakan manusia, menambah nilai dan memperkuat kemampuan kita, bukan mengambil alih sepenuhnya. Terlebih mengajar adalah pekerjaan hati, yang melibatkan intuisi, empati, dan kreativitas yang saat ini belum bisa digantikan mesin. Karena itu, AI di ruang kelas harus diposisikan sebagai alat yang mendukung pembelajaran dengan pendekatan student-centered dan human-centered.

Integrasi AI di sekolah juga tidak bisa berdiri sendiri. Orang tua perlu dilibatkan sejak awal agar memiliki pemahaman yang selaras dengan guru dan sekolah. Riset dari Parents.com (2024) mencatat bahwa keterlibatan orang tua dalam literasi digital anak membuat penggunaan teknologi menjadi lebih aman, sehat, dan mendukung kesejahteraan siswa. Bahkan ketika akses teknologi masih terbatas, pembelajaran tentang nilai dan etika tetap dapat diajarkan di rumah, sehingga anak memahami bahwa AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti penalaran dan tanggung jawab pribadi. 

Dari pengalaman kami di ruang kelas, siswa yang diperkenalkan pada AI dengan pendekatan nilai dan etika menunjukkan perubahan cara belajar yang nyata. Mereka tidak hanya lebih percaya diri menggunakan teknologi, tetapi juga lebih berhati-hati dalam memverifikasi informasi, berdiskusi dengan teman, dan bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri. Perubahan kecil ini menegaskan bahwa pendidikan holistik benar-benar dapat membentuk responsible learners yang siap menghadapi dunia nyata.

Tantangan selalu ada dan tantangan ini bukan hanya milik Indonesia semata. Studi dari Swiss Business School yang dipublikasikan di Phys.org (2025) menunjukkan bahwa penggunaan AI tanpa pendidikan berbasis nilai dapat menurunkan keterampilan penalaran dan kreativitas. Hal ini terjadi karena siswa lebih sering melakukan cognitive offloading, yaitu mengandalkan mesin untuk berpikir bagi mereka. Survei Tirto.id dan Jakpat (Mei 2024) menunjukkan 86,21% siswa usia 15-21 di Indonesia menggunakan AI setidaknya sekali sebulan untuk menyelesaikan tugas sekolah atau kuliah. 

Fakta ini memperlihatkan bahwa penggunaan AI sudah sangat umum, sehingga pendampingan yang menekankan nilai dan etika menjadi penting agar teknologi benar-benar memperkuat proses belajar, bukan semata-mata mempermudah tugas saja. Jika tren ini dibiarkan, kita berisiko melahirkan generasi yang canggih secara teknologi, tetapi miskin dalam penalaran dan pengambilan keputusan.

Di sinilah peran IB menjadi relevan. Kurikulum IB sejak awal menekankan bahwa pendidikan harus mengajarkan siswa “how to think, not what to think.” Dengan pendekatan berbasis inkuiri, integrasi lintas disiplin, serta penekanan pada etika dan responsible use teknologi, IB memberi contoh nyata bagaimana AI bisa menjadi bagian dari pembelajaran yang holistik. Bukan hanya menghasilkan siswa yang mahir secara teknis, tetapi juga pembelajar sepanjang hayat (lifelong learners) yang kritis, berempati, dan siap memimpin.

Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan sekolah saja. Dibutuhkan kolaborasi lebih luas antara sekolah, orang tua, pemerintah, dan komunitas di dunia pendidikan untuk memastikan integrasi AI benar-benar bermanfaat. Dengan menjadikan nilai, etika, dan kemanusiaan sebagai inti, kita bisa memastikan bahwa teknologi tidak menjauhkan anak-anak dari proses belajar yang bermakna, melainkan memperkaya perjalanan mereka sebagai generasi yang kritis, kreatif, dan berdaya saing global.

Kemajuan teknologi, termasuk AI, adalah keniscayaan. Kita tidak bisa menahannya, tetapi kita bisa mengarahkan bagaimana generasi muda menggunakannya. Mari kita pastikan anak-anak Indonesia tidak hanya menjadi pengguna AI yang cepat dan mahir, tetapi juga manusia yang mampu berpikir kritis, beretika, dan siap menghadapi tantangan global dengan hati dan akal budi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Yan Yulius
Yan Yulius
Wakil Kepala Sekolah dan Koordinator ICT Sekolah Ciputra Surabaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...