Soeharto Bukan Pahlawan Ekonomi

Robie Kholilurrahman
Oleh Robie Kholilurrahman
12 November 2025, 07:05
Robie Kholilurrahman
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

10 November 2025, Soeharto resmi dianugerahi gelar pahlawan nasional. Banyak yang menyambutnya positif berdasar nostalgia stabilitas, atau setidaknya memaklumi karena dianggap “juga banyak jasanya.” Banyak pula yang menggarisbawahi capaian pembangunan ekonominya sebagai pembenaran. Padahal, jika kita jujur dan jeli membaca data serta sejarah, menyebut Soeharto sebagai pahlawan bukan sekadar keliru, juga menyesatkan.

Soeharto memang membawa pertumbuhan, tetapi bukan transformasi. Ia adalah diktator sekaligus oligark yang gagal dan enggan membangun basis struktur perekonomian yang tangguh. Warisan paling nyata di bidang ekonomi justru krisis 1997 dan deindustrialisasi dini berkepanjangan yang masih kita rasakan hingga hari ini.

Pertumbuhan Tanpa Transformasi

Ideologi utama ekonomi Orde Baru adalah trickle-down economics. Sederhananya, si kaya harus tetap dan bahkan semakin kaya agar si miskin dapat ikut merasakan sedikit kucuran kekayaan. Trilogi Pembangunan digaungkan bak mantra: stabilitas sosial politik demi pertumbuhan, dan pertumbuhan demi pemerataan. Ketiganya dianggap saling berkaitan dan berurutan. Karena itu, ekonomi sering dijadikan dalih untuk membungkam penentang, dengan alasan bahwa stabilitas politik adalah prasyarat pertumbuhan.

Namun, pola pembangunan seperti ini bukan khas Indonesia. Korea Selatan di bawah Park Chung Hee menjalankan rezim otoriter yang hampir sejajar secara waktu. Di akhir 1960-an, kedua negara sama-sama berpendapatan sekitar US$7 miliar (GNI, Atlas Method, harga berlaku). Selama satu setengah dekade berikutnya, keduanya tumbuh di jalur yang serupa, mencapai sekitar US$80 miliar pada 1983.

Setelah itu, jalurnya berpisah. Indonesia tetap di garis tren yang sama, sementara Korea Selatan melesat jauh. Pada 1997, saat kekuasaan Orde Baru berakhir, pendapatan nasional Indonesia sekitar US$200 miliar, sedangkan Korea Selatan mencapai US$600 miliar. Menurut Bank Dunia, pada 2001 Korea Selatan telah menjadi negara berpendapatan tinggi, sementara Indonesia masih tergolong berpendapatan rendah.

Kedua negara sama-sama otoriter dan sama-sama miskin di awal pembangunan. Namun hasil akhirnya sangat kontras. Selama puluhan tahun, hanya satu yang menggunakan otoritarianisme untuk membangun kapasitas negara dan industrinya. Korea Selatan menggunakan kekuasaan untuk mendisiplinkan modal swasta, membangun industri berorientasi ekspor, dan menumbuhkan basis teknologi nasional. Indonesia, sebaliknya, menggunakan kekuasaan untuk memanjakan patronase dan rente, menghasilkan struktur industri yang rapuh dan perekonomian yang mudah terguncang oleh fluktuasi harga komoditas.

Jeffrey Winters (2011) bahkan menyebut rezim Soeharto sebagai Oligarki Kesultanan, atau oligarki terpimpin. Dalam model ini, birokrasi bukanlah mesin pembangunan dan perpanjangan tangan negara untuk mengarahkan modal swasta, tetapi menjadi pintu masuk bagi modal untuk berebut rente dari negara. Birokrasi berfungsi bukan untuk mendisiplinkan pasar, melainkan untuk mendistribusikan kekuasaan ekonomi ke lingkaran patronase.

Dalam percakapan pribadi beberapa tahun lalu, Winters menegaskan bahwa tidak seperti sebagian rezim otoriter lainnya, Soeharto tidak memanfaatkan otoritarianismenya untuk meninggalkan warisan struktur industri dan ekonomi yang mapan. Ia memusatkan kekuasaan bukan untuk memperkuat negara, tetapi untuk mengamankan posisi pribadi dan jaringan kroninya.

Secara statistik, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan selama 32 tahun Orde Baru memang mencapai 5,98%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata 4,73% selama 25 tahun pertama era Reformasi. Namun pertumbuhan bukanlah segalanya. Ada cerita yang lebih kompleks di balik angka tersebut. Pertumbuhan Orde Baru tidak ditopang oleh transformasi struktur industri yang dalam, melainkan oleh derasnya arus investasi asing, penghisapan tenaga kerja murah, serta keberuntungan dari lonjakan harga minyak dunia.

Ketika faktor eksternal itu meredup, rapuhnya fondasi pembangunan segera terlihat. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB yang sempat mencapai 32% pada 2002 terus menurun hingga hanya 18% pada 2022. Penurunan ini menegaskan bahwa perekonomian Indonesia tidak pernah memiliki basis industri yang kuat dan berdaya saing tinggi.

Dengan kata lain, warisan ekonomi Soeharto bukanlah capaian pembangunan, melainkan struktur perekonomian yang lemah, bergantung pada investasi asing dan harga komoditas global. Ketika krisis 1997 melanda, struktur yang rapuh itu runtuh seketika. Pertumbuhan yang dibanggakan berubah menjadi ilusi, sementara ketimpangan ekonomi yang ditinggalkan terus diwariskan hingga kini.

Pelajaran untuk Era Ekonomi Hijau

Lebih dari seperempat abad setelah kejatuhan Orde Baru, Indonesia kembali berada di persimpangan. Dunia kini bergerak menuju transisi energi dan ekonomi hijau. Ada green windows of opportunity atau jendela kesempatan hijau (Lema et al. 2020) yang harus dimanfaatkan jika Indonesia ingin benar-benar menjadi negara maju sebelum berusia seratus tahun pada 2045.

Indonesia memiliki cadangan nikel, tembaga, bauksit, dan mineral transisi lain yang dapat menjadi modal besar untuk membangun industri produk hijau. Namun sejarah mengajarkan bahwa sumber daya alam tidak berarti apa-apa tanpa strategi. Ia justru bisa menjadi kutukan. Booming minyak pada 1970-an memperkuat patronase dan menciptakan “negara di dalam negara.” Booming batu bara pada 2000-an memperlemah daya saing manufaktur dan memperdalam deindustrialisasi dini yang masih mencengkeram Indonesia hingga kini.

Pelajaran utama dari rezim Soeharto adalah bahwa negara memang harus hadir dalam ekonomi, tetapi cara hadirnya yang menentukan hasil. Negara pembangunan sejati bukanlah yang memanjakan elite dan kroni, melainkan yang membangun kapasitas negara dan industrinya. Kehadiran negara seharusnya memperkuat daya saing, bukan memperluas ketergantungan.

Dalam konteks demokrasi saat ini, kehadiran negara yang efektif berarti memperkuat kapasitas institusional untuk menahan pengaruh oligarki, sekaligus memperkuat kapasitas ideasional untuk membangun koalisi dan konsensus politik yang berpihak pada agenda industrialisasi jangka panjang. Tanpa fondasi politik yang kuat dan arah ideologis yang jelas, upaya industrialisasi akan mudah terseret oleh kepentingan jangka pendek dan logika rente yang dulu mendominasi masa Orde Baru.

Kini, persimpangan itu nyata di hadapan kita. Apakah kita akan mengulang pola lama yang dicontohkan Soeharto, membiarkan keuntungan sumber daya alam mengalir sebagai rente bagi para elite di sekitar kekuasaan? Ataukah kita dapat secara serius mengambil pelajaran dari keberhasilan negara-negara pembangunan di Asia Timur yang berhasil mendisiplinkan birokrasi negara sekaligus modal swasta untuk kepentingan pembangunan industri?

Soeharto bukanlah pahlawan ekonomi. Ia adalah diktator dan oligark yang gagal membawa Indonesia menjadi negara maju seperti Korea Selatan. Keberhasilannya hanya dalam memperkaya keluarga dan kroninya. Dari kegagalannya, seharusnya kita belajar tentang apa yang tidak boleh diulang: bahwa pertumbuhan tanpa transformasi bukan pembangunan, dan kekuasaan tanpa visi hanya akan mengabadikan ketergantungan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Robie Kholilurrahman
Robie Kholilurrahman
Manajer Program Transisi Mineral dan Kebijakan Industri Hijau, INDEF

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...