Gus Dur dan Soeharto Tidak Bisa Berdiri di Panggung Pahlawan yang Sama

Dian Purba
Oleh Dian Purba
14 November 2025, 06:05
Dian Purba
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pengumuman Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo adalah paradoks paling tajam dalam sejarah Indonesia modern. Ini adalah upaya rekonsiliasi yang mustahil secara moral, sebuah tuntutan agar bangsa merangkul dua warisan yang saling meniadakan. Soeharto adalah arsitek ketertiban berdarah; Gus Dur adalah martir demokrasi yang dikorbankan. Membedah kelayakan mereka menggunakan dokumen-dokumen akademik yang ada bukan sekadar meninjau sejarah; ini adalah perjalanan membongkar jantung pertentangan identitas bangsa.

Benturan ini bukan sekadar soal gaya memimpin, melainkan nilai fundamental. Di satu sisi, berdiri tegak warisan darah massal dan kendali penuh, di mana pembangunan dijadikan dalih penindasan. Di sisi lain, terhampar visi demokrat Muslim yang mengorbankan kekuasaan demi kewarganegaraan bineka. Menyematkan gelar ini pada dua antitesis sekaligus adalah pemaksaan untuk mendamaikan impunitas penguasa dengan cita-cita kemanusiaan—upaya yang hanya akan mengabadikan kebingungan sejarah.

Soeharto: Stabilitas di Atas Kuburan Massal

Jejak rekam Soeharto tidak dapat dipisahkan dari fondasi kekerasan 1965-1966. Klaim kepahlawanannya akan selamanya tersandung di sana. John Roosa, dalam karyanya Dalih Pembunuhan Massal (2008), menelanjangi mitos G30S sebagai kudeta komunis murni. Roosa berargumen itu adalah “dalih” yang dimanfaatkan Soeharto untuk menyingkirkan lawan politik dan membuka jalan bagi pembersihan anti-komunis yang mengerikan. Operasi ini, yang merenggut ratusan ribu jiwa, bukanlah amuk massa. Dalam Buried Histories (2020), Roosa menegaskan ini adalah operasi yang sistematis dan didorong dari pucuk pimpinan militer. Inilah dosa asal Orde Baru: rezim di atas kuburan massal dan kekebalan hukum, fondasi yang tak bisa didamaikan dengan gelar pahlawan.

Di atas fondasi berdarah ini, Soeharto membangun rezim yang oleh R. E. Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik (2005) digambarkan memiliki “kekuatan luar biasa” untuk menciptakan stabilitas. Stabilitas ini punya tujuan global. Mattias Fibiger dalam Suharto’s Cold War (2023) menganalisis bagaimana Soeharto memposisikan Indonesia sebagai benteng anti-komunis utama, menukar darah rakyatnya dengan dukungan politik dan ekonomi dari Barat. Dukungan inilah yang menjadi bahan bakar “Pembangunan”, ideologi utama Orde Baru. Namun, di balik fasad teknokrasi, buah pembangunan dialirkan untuk membeli loyalitas militer dan membesarkan kroni, menjadikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) fondasi kedua rezim setelah kekerasan berdarah.

Untuk melindungi struktur KKN ini, Soeharto menciptakan arsitektur penindasan. Stefan Eklöf dalam Power and Political Culture in Suhartos Indonesia (2003) merinci bagaimana rezim ini beroperasi lewat depolitisasi massa. Pemilu direkayasa, partai dilebur, dan Pancasila digunakan sebagai alat membungkam kritik, menciptakan “budaya politik” kepatuhan mutlak. Namun, sistem ini rapuh. Edward Aspinall dalam Opposing Suharto (2005) mendokumentasikan bagaimana KKN menggerogoti rezim dari dalam. Saat krisis finansial 1998 menghantam, fasad itu runtuh. Kejatuhan Soeharto adalah penolakan kolektif terhadap sistem yang ia bangun. Gelar pahlawan baginya adalah perayaan pembangunan yang mengorbankan kemanusiaan.

Gus Dur: Sang Antitesis dan Martir Keberagaman

Berdiri sebagai antitesis mutlak, Gus Dur adalah lawan tanding moral Soeharto. Greg Barton dalam Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat (2002) melukiskannya sebagai demokrat Muslim yang visinya tentang keberagaman telah lama terbentuk. Ia adalah kritikus Orde Baru yang berani menjaga jarak moralnya agar tidak dijinakkan oleh kekuasaan. Sikap ini ia wujudkan saat berkuasa (1999-2001) sebagai upaya drastis membongkar fondasi Orde Baru: ia memisahkan militer dari politik, membubarkan badan intelijen represif, dan mencabut kebijakan diskriminatif atas perayaan Imlek—sebuah pernyataan perang terhadap warisan Soeharto.

Kontribusi terbesarnya adalah pendekatannya pada konflik regional. Ahmad Suaedy dalam Gus Dur, Islam Nusantara, & Kewarganegaraan Bineka (2018) menyoroti bagaimana Gus Dur mengganti mesin perang Orde Baru dengan pendekatan manusiawi. Ia membawa konsep kewarganegaraan bineka untuk Aceh dan Papua, mengedepankan dialog dan pemulihan martabat, sebuah antitesis dari pendekatan militeristik Soeharto yang meninggalkan trauma. Visi Islam Nusantara (Suaedy, 2018; Burhanudin & van Dijk, 2013) adalah perlawanan kulturalnya, menawarkan Islam moderat yang demokratis. Namun, keberaniannya membongkar status quo ini—melawan sisa kekuatan Soeharto (Aspinall, 2005) dan elite baru—membawanya ke tubir jurang.

Puncak “kenekatannya” adalah gagasan mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 tentang pelarangan PKI. Bagi Gus Dur, ini adalah langkah logis untuk rekonsiliasi nasional, mengakhiri “dosa asal” (Roosa, 2008). Namun, bagi elite yang dibangun di atas fondasi anti-komunis, ini adalah pengkhianatan. Usulan ini melintasi “garis merah” Orde Baru dan mempercepat plot “penjeratan” dirinya. Pada akhirnya, cita-cita ini dibayar mahal. Virdika Rizky Utama dalam Menjerat Gus Dur (2019) berargumen Gus Dur tidak jatuh karena skandal, tapi “dijerat” oleh koalisi kekuatan lama yang terancam reformasi. Ironisnya, kejatuhannya mengukuhkan statusnya sebagai pejuang demokrasi yang dikorbankan.

Warisan yang Saling Menafikan: Pertarungan Dua Indonesia

Jelas, hubungan Soeharto dan Gus Dur bukanlah harmonis; itu adalah benturan dua era. Gus Dur bertekad membongkar karya Soeharto. Penganugerahan gelar bersama ini mencoba menghapus pertentangan fundamental itu. Padahal, mereka mewakili dua jiwa Indonesia yang bertarung: jiwa yang mendambakan stabilitas ala Soeharto (Eklöf, 2003) yang rela menukar HAM dengan pembangunan, dan jiwa yang merindukan kebebasan ala Gus Dur (Suaedy, 2018) yang menuntut dialog dan kemanusiaan dipulihkan.

Maka, layakkah mereka jadi pahlawan? Narasi pro-Soeharto (Elson, 2005; Fibiger, 2023) berpusat pada stabilitas. Namun, gelar pahlawan menuntut keluhuran moral. Analisis Roosa (2008, 2020) mengenai perannya dalam pembantaian 1965-1966 adalah beban moral yang tak bisa dihapus. Memberi gelar pahlawan pada Soeharto adalah tindakan validasi atas kekerasan negara. Ini berarti menyatakan bahwa pembantaian itu “wajar” dan perjuangan reformasi (Aspinall, 2005) adalah kesalahan—sebuah pesan berbahaya bahwa impunitas bisa dibenarkan oleh semen dan jalan tol.

Gus Dur, sebaliknya, adalah Pahlawan Hak Asasi Manusia dan Keberagaman (Suaedy, 2018; Barton, 2002). Kepahlawanannya justru terletak pada kegagalannya mempertahankan kekuasaan. Seperti diisyaratkan Virdika (2019), Gus Dur “dijerat” karena menolak berkompromi pada nilai reformasi. Ia dikalahkan bukan karena korupsi, tapi karena terlalu radikal. Warisannya adalah integritas moral, bukan kemenangan politik.

Pada akhirnya, keputusan untuk menjadikan keduanya pahlawan nasional secara bersamaan hanya akan menjadi pernyataan politis yang membingungkan, bukan kebenaran sejarah. Ini menciptakan sebuah pertentangan abadi: dua pahlawan yang mewakili dua Indonesia yang sama sekali berbeda—satu yang diciptakan oleh dalih pembunuhan, dan satu lagi yang berjuang untuk kewarganegaraan bineka.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Dian Purba
Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...