Daulat Digital Middle Power Asia: Di Mana Budaya?

Stelita Ladia Marsha
Oleh Stelita Ladia Marsha
15 November 2025, 07:05
Stelita Ladia Marsha
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Budaya Indonesia bukan sekadar medley tarian Nusantara yang kerap ditampilkan dalam seremoni korporat atau acara pemerintahan. Alasan jamaknya: ingin menampilkan kekayaan budaya dalam waktu singkat. Padahal budaya adalah langgam akal dan budi yang terbentuk secara turun-temurun dan hidup dalam keseharian masyarakat. Banyak bentuk budaya itu bermula dari ritus daur hidup yang kemudian menjadi hiburan sehari-hari, hingga akhirnya dianggap lazim dan luput dari dokumentasi serta data yang menunjang keberlangsungan dan nilai ekonominya.

Satu tahun pemerintahan, ada optimisme ketika Kementerian Kebudayaan melaporkan capaian. Lebih dari 4.300 data 3D modeling aset budaya, seperti keris dan noken yang diinskripsi dalam Warisan Budaya Takbenda UNESCO, telah dihimpun sebagai modal bagi masyarakat membuat berbagai pengembangan produk kekayaan intelektual (intellectual property/ IP).

Ketika peradaban bertransformasi ke jagat digital, budaya tak lagi sekadar tarian atau artefak fisik yang dipamerkan. Ia juga hadir sebagai data yang menjadikannya komoditas global sekaligus sumber pengaruh non-koersif lintas batas (soft power). Dalam konteks ini, menarik untuk menilik bagaimana dua middle power Asia, Indonesia dan Korea Selatan, menata strategi kedaulatan digital mereka di ranah budaya.

Kedaulatan digital (digital sovereignty)  budaya mengacu pada kemampuan suatu negara untuk mengelola, melindungi, dan mengendalikan data, konten, serta narasi budaya miliknya di ruang digital. Kemampuan ini meliputi proses dokumentasi, digitalisasi, distribusi, hingga pemanfaatannya secara ekonomi, pendidikan, dan diplomasi.

Indonesia dan Korsel sama-sama melihat budaya sebagai kekuatan strategis di era digital, namun berada pada tahap berbeda. Indonesia optimistis memanfaatkan transformasi digital untuk melestarikan dan memasarkan kekayaan budayanya, sembari memperkuat infrastruktur dan literasi digital. Sementara, Korsel telah lebih dulu mencapai digital maturity tinggi sehingga mampu mengkapitalisasi budayanya secara global. 

Budaya dan Jalan Panjang Menuju Kedaulatan Digital

Penting menjadi catatan, fokus Korsel terhadap pengembangan budaya berawal pada pertengahan 1990-an, ketika pemerintah mulai melihat sektor budaya bukan sekadar ekspresi identitas, tetapi juga sumber pertumbuhan ekonomi baru. Setelah krisis finansial Asia 1997, arah kebijakan nasional bergeser dari ketergantungan industri manufaktur menuju diversifikasi ekonomi berbasis kreativitas. Artinya, sudah sekitar tiga dekade Korsel fokus pada tata kelola kebudayaan. 

Selain itu, Korsel mulai memprioritaskan transformasi digital secara sistematis sejak awal 2000-an, ketika pemerintahnya menyadari bahwa kemajuan teknologi informasi dapat menjadi fondasi daya saing nasional. Momentum ini mencapai puncaknya pada era Digital New Deal (2020), yang menandai babak baru investasi besar-besaran dalam kecerdasan buatan, komputasi awan, data publik, serta digitalisasi warisan budaya. 

Berbeda dengan Korsel yang telah menata kebijakan budaya dan digitalnya sejak tiga dekade lalu, Indonesia “baru mulai” menempatkan kebudayaan dan transformasi digital sebagai agenda strategis nasional. Di ranah kebudayaan, prioritas itu menguat setelah disahkannya Undang-Undang No.5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan yang menjadi tonggak lahirnya kebijakan kebudayaan yang bukan sekadar pelestarian. Di sisi lain, agenda transformasi digital nasional baru dirumuskan secara sistematis melalui Peta Jalan Indonesia Digital 2021–2024.

Kesenjangan Kematangan Digital, Kesenjangan Kedaulatan

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Digital Government Index (DGI) 2023 menilai di antara 33 negara OECD, Korsel berada di kuadran “high maturity”. Sementara, Indonesia belum termasuk dalam penilaian penuh karena meskipun menjadi mitra kunci OECD sejak 2007, Indonesia baru mengajukan aksesi pada tahun 2024. 

Dari Laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) Digital Economy Report 2024, kita membaca bahwa Korsel merepresentasikan digital sovereignty berbasis inovasi, sementara Indonesia masih berjuang menuju kedaulatan digital berbasis sumber daya dan tata kelola data.

UNCTAD sangat menekankan pentingnya arsitektur data governance global yang adil. Disebutkan bahwa negara berkembang (seperti Indonesia) berada dalam posisi kurang menguntungkan karena ketiadaan regulasi nasional yang menyeluruh soal data budaya dan ekonomi berbasis data; ketergantungan pada platform digital global yang berbasis di negara maju; serta lemahnya kapasitas untuk menegosiasikan standar metadata dan interoperabilitas data di level internasional.

Posisi Indonesia dan Korsel juga dapat dilihat dari tolak ukur World Digital Competitiveness Ranking (WDCR) besutan International Institute for Management Development (IMD), yang mengukur kemampuan suatu negara mengadopsi, mengembangkan, dan mentransformasikan teknologi digital menjadi produktivitas dan kesejahteraan.

WDCR 2024 mengukur digital readiness dan maturity melalui tiga faktor utama: knowledge (pendidikan, penelitian dan pengembangan, talenta digital); technology (infrastruktur, regulasi, adopsi digital); dan future readiness (adaptabilitas bisnis dan masyarakat).

Laporan daya saing digital dunia ini menempatkan Korsel pada peringkat delapan dunia,
sedangkan Indonesia di posisi  43 dari 67 ekonomi yang dinilai. Perbandingan ini mencerminkan digital maturity gap yang signifikan.

Dalam konteks kebudayaan, kesenjangan kematangan digital antara Korea Selatan dan Indonesia tampak jelas pada cara keduanya menghubungkan ekosistem digital dengan strategi kebudayaan. Korsel menjadi contoh nyata bagaimana dokumentasi warisan dan ekspresi budaya dapat diubah menjadi mesin ekonomi dan instrumen diplomasi global. 

Dukungan strategi nasional Digital New Deal turut berkontribusi pada status kematangan digital Korea. Melalui strategi ini, lebih dari US$1,3 miliar pembiayaan tahunan dihadirkan untuk  menarget 900 ribu lapangan kerja digital baru, termasuk di sektor kebudayaan.

Laman resmi pemerintah Korsel pada 2022 juga melaporkan ekspor K-content, yang 70%-nya berakar pada budaya lokal, mencapai US$13,2 miliar, melampaui penjualan mobil dan produk farmasi. Hallyu Wave bukan lagi sekadar tren, melainkan kebijakan budaya digital yang berhasil mengubah soft power menjadi bernilai ekonomi tinggi. 

Indonesia sendiri masih berada pada tahap konsolidasi membangun fondasi digital dan tata kelola data budaya agar mampu mengikuti arus transformasi global. Indonesia kini memperkuat pilar kematangan digital, yakni infrastruktur, investasi teknologi budaya, talenta kreatif berbasis data, dan ekosistem pemanfaatan budaya digital.

Upaya digitalisasi aset budaya serta pendataan 2.727 Warisan Budaya Takbenda dan 228 cagar budaya nasional, menjadi langkah awal menuju kemandirian data budaya. Program seperti IP-Nesia yang melibatkan 56 studio gim dan 45 studio animasi dalam pengembangan produk IP berbasis budaya juga menjadi penanda langkah yang tepat. 

Untuk berada sejajar, Indonesia perlu memperkuat future readiness—memperbanyak talenta kreatif digital, mempercepat adopsi teknologi imersif (AI, VR, 3D) yang bukan sekedar kosmetik, dan membangun mekanisme tata kelola data budaya yang memungkinkan kolaborasi lintas sektor, sembari tetap melindungi aset budaya dan masyarakat yang memanfaatkannya. 

Di tengah globalisasi digital, bangsa yang berdaulat bukan hanya yang menguasai data, tetapi yang mampu menghidupkan nilai budayanya di dalamnya. Itulah arah yang semestinya dituju Indonesia. Melalui langkah terarah, budaya Indonesia dapat bertransformasi dari sekadar warisan yang dijaga menjadi daya saing digital yang menghidupkan ekonomi sekaligus memperkuat kedaulatan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Stelita Ladia Marsha
Stelita Ladia Marsha
Mahasiswa Digital Transformation and Competitiveness, Universitas Gadjah Mada

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...