Dari Manipulasi ke Kearifan: Pelajaran Indonesia di Era Kecerdasan Buatan
Di era di mana teknologi kian sulit dibedakan dari kenyataan, sebuah video yang menampilkan seolah-olah Menteri Keuangan Purbaya menjanjikan bantuan modal usaha sempat viral—padahal belakangan terbukti dihasilkan oleh kecerdasan artifisial (AI). Insiden ini bukan sekadar fenomena viral, ia menjadi pengingat bahwa informasi kini dapat direkayasa dengan cepat dan meyakinkan. Masyarakat dan negara harus mampu menyeimbangkan percepatan teknologi dengan refleksi kritis, agar tidak terjebak dalam manipulasi digital yang merugikan.
Dari titik ini muncul pertanyaan mendasar: apa kelebihan Indonesia dalam menghadapi gelombang AI yang bergerak begitu cepat? Di balik segala kerentanan digital, Indonesia memiliki modal sosial, kultural, dan nilai-nilai kebangsaan yang kuat. Fondasi ini sering luput dalam perdebatan publik, namun bisa menjadi jangkar penting bagi tata kelola teknologi yang lebih manusiawi dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Modal Sosial dan Kultural yang Kuat
Indonesia memiliki modal demografis dan kultural yang sangat bernilai. Dengan lebih dari 280 juta penduduk usia produktif, keberagaman bahasa, pola interaksi sosial, serta pluralitas budaya, Indonesia menyediakan ekosistem data yang kaya dan beragam. Keunikan ini menjadikan negara kita lahan subur bagi pengembangan model AI yang inklusif dan representatif.
AI bukan hanya alat teknis; ia menyentuh cara masyarakat membentuk nilai, norma, dan perilaku. Gagasan moral regulation Alan Hunt (1999) menekankan bahwa masyarakat modern membutuhkan mekanisme moral untuk menghadapi laju teknologi yang kerap lebih cepat daripada perkembangan norma sosial. Regulasi moral, menurut Hunt, bukan dimaksudkan menahan inovasi, tetapi membingkai tindakan kolektif agar selaras dengan nilai bersama.
Nilai kolektif Indonesia—gotong royong, musyawarah, dan solidaritas sosial—dapat menjadi dasar mengembangkan AI yang humanis dan kontekstual. Di tengah globalisasi teknologi, modal sosial ini bisa menjadi keunggulan strategis bangsa.
Teknologi Tidak Pernah Netral
AI memperbesar jangkauan informasi, memengaruhi opini, dan mengatur aliran pesan dalam skala luas. Denis McQuail (2010) menekankan bahwa tata kelola media bukan sekadar aturan tertulis, tetapi upaya menjaga keseimbangan antara kebebasan, tanggung jawab, dan kepentingan publik. Craig Calhoun (2012) menambahkan bahwa ruang publik modern hanya bisa bertahan sebagai arena rasional, bukan sekadar pasar yang dikendalikan algoritma.
Di Indonesia, tradisi komunikasi berbasis komunitas dan jaringan sosial yang erat menjadi modal kuat untuk menghadapi disrupsi informasi. Jaringan sosial ini mampu memperkuat ketahanan masyarakat terhadap polarisasi, hoaks, dan tekanan moral akibat percepatan teknologi. Dengan cara ini, AI dapat menjadi medium yang memperkuat kualitas diskursus publik, bukan mengaburkannya.
Sejumlah kajian menunjukkan bahwa teknologi komunikasi selalu melekat pada struktur sosial. Averbeck-Lietz (2013) menegaskan bahwa produksi atau penerapan AI tidak cukup dengan pendekatan teknis; ia harus dipahami sebagai bagian dari konteks sosial, budaya, dan politik. Heterogenitas masyarakat Indonesia memberi peluang unik untuk mengembangkan AI yang benar-benar kontekstual—mengenal dialek lokal, dinamika komunitas, serta kerentanan relasi kuasa yang ada di masyarakat.
Nezar Patria (2020) menekankan pentingnya membangun kewargaan media di era digital: kesadaran warga untuk memahami informasi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif. Dalam konteks AI, kewargaan media menjadi penguat etika publik yang melampaui regulasi formal. AI yang berkembang di masyarakat dengan kewargaan media matang akan lebih kecil risiko menjadi alat manipulasi.
Peran Strategis Pemerintah
Kelebihan Indonesia tidak akan bermakna tanpa peran strategis pemerintah. Negara perlu hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai orkestrator yang menyelaraskan inovasi, perlindungan publik, dan kepentingan jangka panjang bangsa.
Pertama, regulasi harus adaptif dan akuntabel, melindungi warga dari penyalahgunaan data, bias algoritma, dan ancaman privasi. Hermin Indah Wahyuni (2017) menekankan bahwa tata kelola komunikasi publik harus membangun ekosistem yang “transparan dan akuntabel,” sehingga teknologi memperkuat kepercayaan publik, bukan meruntuhkannya.
Kedua, penguatan kedaulatan pengetahuan melalui riset, pusat data nasional, dan pengembangan talenta digital lintas disiplin sangat penting. Indonesia tidak boleh bergantung hanya pada teknologi impor; ia perlu membangun kapasitas lokal yang berkelanjutan.
Ketiga, pemerintah harus menjamin keadilan digital. Tanpa intervensi, nilai tambah AI cenderung terpusat pada korporasi besar. Dengan tata kelola tepat, AI dapat memperluas layanan publik secara merata, termasuk dalam bidang teknis:
- Kesehatan: AI digunakan untuk mendiagnosis penyakit lebih cepat, memprediksi wabah, dan membantu penentuan dosis obat.
- Pertanian: Sistem AI memprediksi pola cuaca, kualitas tanah, dan hasil panen, membantu petani meningkatkan produktivitas.
- Transportasi: AI mendukung sistem lalu lintas pintar, memprediksi kepadatan jalan, dan mengoptimalkan rute transportasi publik.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa AI bukan sekadar alat digital, tetapi sarana nyata untuk meningkatkan kualitas hidup jika dikelola secara bijak.
Menata Masa Depan AI Indonesia
Kelebihan Indonesia dalam AI tidak terletak semata pada kecanggihan algoritma, tetapi pada kemampuan menyatukan teknologi dengan nilai kemanusiaan. Bangsa ini tidak perlu meniru model negara maju; kekuatannya muncul ketika teknologi ditata berdasarkan nilai sosial yang telah teruji dan terbukti menyejahterakan masyarakat.
Di era di mana teknologi bergerak lebih cepat daripada refleksi manusia, tugas kita bukan sekadar mengejar inovasi, tetapi menjaga agar inovasi tetap berpijak pada kearifan. Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi contoh bagi dunia—bahwa kecerdasan artifisial dapat berkembang tanpa kehilangan akar moral, sosial, dan kebangsaan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
