Perubahan Iklim, Krisis Pangan, dan Ancaman terhadap Ekonomi
Kondisi global menunjukkan bahwa perubahan iklim telah mencapai tahap yang semakin kritis. Memasuki tahun 2025, dampaknya telah terlihat jelas pada harga pangan, inflasi, dan arah berbagai kebijakan ekonomi dunia. Konferensi iklim COP30 yang berlangsung pada 10-21 November 2025 di Brasil menjadi panggung besar untuk menilai apakah dunia benar-benar serius dalam menanggapi perubahan iklim dan pemanasan global.
Edisi COP30 tahun ini turut diwarnai insiden mengejutkan ketika sebuah kebakaran besar terjadi di salah satu gedung pameran menjelang akhir pertemuan, ribuan peserta terpaksa dievakuasi dan jalannya negosiasi harus dihentikan sementara. Beberapa jam sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres baru saja menyerukan agar negara-negara yang hadir dapat mencapai kesepakatan mengenai upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dalam kesepakatan tersebut, negara-negara maju kembali ditekan untuk mendukung komitmen pendanaan iklim agar negara-negara berkembang juga mampu beradaptasi menghadapi risiko iklim yang semakin meningkat.
Namun di balik semua pembahasan teknis di forum dunia, perubahan iklim ternyata berdampak langsung ke kehidupan masyarakat: ketika cuaca ekstrem memicu ketidakstabilan pangan, masyarakatlah yang dipaksa untuk membayar kenaikan harga kebutuhan pokok mereka sendiri. Dampak ini nyata, dekat, dan langsung terasa di dapur setiap rumah tangga. Tanpa kita sadari, fenomena seperti melonjaknya harga cabai merah hingga menyentuh Rp86 ribu per kilogram dalam beberapa hari terakhir di provinsi Jakarta dan Kalimantan Tengah pun merupakan contoh nyata hal tersebut. Begitu pun dengan lonjakan harga beras yang dipengaruhi cuaca ekstrem, mulai dari banjir hingga kekeringan dan perubahan pola hujan, yang memperlihatkan bagaimana dampak perubahan iklim mendorong penurunan hasil produksi, dan seterusnya berdampak pada kenaikan harga di masyarakat.
Jenis inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga pangan ini kemudian disebut sebagai cost-push inflation, yaitu inflasi yang terjadi karena meningkatnya biaya produksi, bukan karena permintaan yang menguat. Jenis inflasi ini lebih berbahaya karena dapat membuat harga terus naik meskipun aktivitas ekonomi tidak sedang tumbuh, sehingga menyebabkan daya beli masyarakat mengalami penurunan, dan dampak lanjutannya dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi suatu negara secara keseluruhan.
Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Dompet Masyarakat
Dampak perubahan iklim terlihat semakin jelas melalui penurunan hasil panen, kenaikan biaya logistik akibat cuaca ekstrem, dan ketidakstabilan produksi pangan. Di musim panen pada April-Juni 2025 lalu, BPS mencatat 20,7% lahan pertanian telah memasuki fase panen, meningkat 14,5% dari tahun 2024. Akan tetapi, potensi panen malah diproyeksikan turun 8,6% menjadi 3,4 juta hektare akibat curah hujan tinggi yang berisiko mengurangi hasil panen. Di samping adanya gagal panen di daerah Kebumen, Jawa Tengah akibat serangan hama patek dan hujan yang terus-menerus yang menjadi pendorong kenaikan harga cabai merah sebelumnya.
Fenomena ini hanya beberapa dari sekian banyak yang mendukung bahwa cuaca ekstrem akibat perubahan iklim yang dapat mengakibatkan volatilitas produksi dan mengganggu rantai pasok dalam negeri maupun luar negeri. Seiring meningkatnya tekanan iklim, ekonomi global juga bergerak lebih berhati-hati. Gangguan pasokan akibat cuaca ekstrem menambah kompleksitas dalam upaya mengendalikan inflasi, yang sebelumnya sudah dipicu oleh konflik geopolitik dan perang dagang.
Di Indonesia, perubahan iklim telah menjadi faktor utama yang membentuk dinamika harga pangan. Ke depannya, produksi dalam negeri diperkirakan akan tetap fluktuatif akibat cuaca ekstrem yang meningkatkan biaya produksi, mengurangi output, dan memicu volatilitas pada berbagai komoditas. Ketika pasokan terganggu, harga akan naik dan inflasi pun terangkat, menciptakan tekanan tambahan terhadap stabilitas harga nasional. Tidak hanya itu, kenaikan harga pangan juga pada akhirnya akan mendorong kenaikan inflasi di berbagai negara, apalagi untuk negara yang masih mengandalkan hasil pertanian mereka dari alam atau pertanian ekstensif.
Berdasarkan data inflasi terakhir yang dirilis BPS, kelompok harga bergejolak (volatile food), yang dipengaruhi oleh hasil panen domestik yang tidak stabil serta disrupsi rantai pasok global tercatat sebagai komponen dengan nilai inflasi tertinggi saat ini. Kenaikan harga pangan ini tidak hanya memengaruhi inflasi, tetapi juga menekan pendapatan riil masyarakat. Kontribusi kenaikan harga kelompok komponen volatile food tentunya akan dapat menggerus daya beli dan menghadapkan rumah tangga pada dua pilihan: menahan konsumsi atau mengorbankan alokasi untuk kebutuhan penting lainnya. Dengan demikian, perubahan iklim tidak hanya mengganggu produktivitas pertanian, tetapi juga memperberat beban keuangan sehari-hari di masyarakat.
Pentingnya Transformasi Sektor Pertanian
Sektor pertanian berada di garis depan dampak perubahan iklim. Risiko baru seperti mundurnya masa tanam, penurunan luas panen, meningkatnya serangan hama, hingga naiknya biaya produksi, khususnya pupuk, merupakan berbagai faktor yang menekan pendapatan petani. Di samping perlu diingat juga bahwa dari data tenaga kerja BPS di Agustus 2025 mencatat sebanyak 28,15% penduduk Indonesia yang bekerja berasal sektor pertanian, yang merupakan sektor penyumbang tenaga kerja terbesar. Sehingga turunnya produksi dikhawatirkan tidak hanya memicu kenaikan harga dan memperkuat tekanan inflasi, tapi juga mengurangi daya beli kelompok masyarakat dengan sektor penyumbang tenaga kerja terbesar.
Untuk memutus siklus ini, transformasi pertanian menjadi kebutuhan yang mendesak. Indonesia perlu memperkuat ketahanan pangan melalui berbagai cara seperti modernisasi sistem produksi, peningkatan investasi pada irigasi, penanaman varietas tumbuhan yang tahan iklim, serta inovasi teknologi iklim cerdas. Food and Agriculture Organization (FAO) menekankan bahwa sistem teknik kultur pangan yang lebih tangguh mampu meningkatkan produktivitas sekaligus melindungi pendapatan petani dari guncangan cuaca ekstrem seperti Fenomena El Niño dan La Niña yang sering dirasakan Indonesia.
Peran Forum COP30 untuk Penguatan Ketahanan Pangan
Peran momentum pertemuan internasional seperti COP30 menjadi penting untuk membuka akses Indonesia pada teknologi dan kerja sama yang dibutuhkan untuk mempercepat transformasi sektor pertanian terhadap perubahan iklim, di samping untuk mendorong pendanaan iklim dan kerja sama antarbangsa. Tanpa langkah-langkah ini, gangguan iklim akan semakin menekan produksi dan menciptakan fluktuasi harga, yang pada akhirnya mengancam stabilitas ekonomi dalam negeri.
Dalam pertemuan tahun ini, Menteri Lingkungan Hidup Indonesia Hanif Faisol Nurofiq turut menyerukan persatuan ASEAN untuk membangun pasar karbon regional yang transparan dan berintegritas tinggi serta mempercepat aksi iklim kolektif. Selain itu, Indonesia juga dikabarkan telah berhasil mencatat transaksi kredit karbon dengan nilai perdagangan mencapai hampir Rp7 triliun, mencakup 13,5 juta ton CO₂ dari proyek berbasis teknologi dan sejumlah inisiatif pembangkit listrik.
Bagi Indonesia, momentum tersebut memperjelas bahwa COP30 bukan hanya ajang diplomasi, tetapi peluang strategis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi pendanaan hijau, adaptasi iklim dan pembangunan beremisi rendah, serta mendorong ketahanan pangan di dalam negeri. Dengan meningkatnya ancaman cuaca ekstrem, kebutuhan pendanaan untuk infrastruktur pertanian dan teknologi pengurangan risiko iklim semakin mendesak. COP30 juga membuka ruang bagi Indonesia untuk memanfaatkan transisi energi dan inovasi pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Kesadaran Perubahan Iklim Demi Keberlanjutan
Sebagai penutup, perubahan iklim terbukti memberikan dampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Perubahan iklim bukan lagi isu jauh di meja perundingan internasional, tetapi sudah menyentuh dapur setiap rumah tangga dan memengaruhi kesejahteraan masyarakat secara nyata. Karena itu, meningkatkan kesadaran publik mengenai perubahan iklim dan dampaknya terhadap kehidupan mereka sehari-hari menjadi penting. Pemerintah perlu menangani isu ini dengan lebih serius, karena cuaca yang semakin ekstrem dan harga yang terus naik menuntut respons kebijakan yang cepat dan tegas. Forum internasional seperti COP30 memang memberikan arah dan komitmen, namun yang benar-benar menentukan adalah implementasi di dalam negeri dan sejauh mana pemerintah mampu mengubah komitmen tersebut menjadi tindakan nyata yang melindungi kesejahteraan masyarakat.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
