Mengapa Bencana Sumatera Belum Jadi Bencana Nasional?
Gelombang bencana yang menerjang Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh menimbulkan pertanyaan di tengah Masyarakat. “Mengapa peristiwa ini belum ditetapkan sebagai bencana nasional?” Pertanyaan ini muncul seiring besarnya dampak yang dirasakan di berbagai wilayah. Korban jiwa terus bertambah, infrastruktur mengalami kerusakan masif, dan sejumlah daerah masih terisolasi. Kondisi tersebut membuat publik menilai bahwa penanganan bencana tidak lagi dapat sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah daerah.
Namun, penetapan status bencana nasional bukan keputusan sederhana. Status ini membawa konsekuensi yang luas yang terbatas dari sisi kemanusiaan, tetapi juga aspek ekonomi, politik, dan tata kelola anggaran.
Arti dari “Bencana Nasional”
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, status bencana nasional menyatakan bahwa sebuah daerah tidak lagi memiliki kapasitas untuk menangani bencana yang terjadi. Ketika status ini diberlakukan, penanganan berpindah ke pemerintah pusat melalui BNPB. Dalam situasi tersebut, pemerintah dapat mengerahkan TNI–Polri, memobilisasi bantuan lintas kementerian, mengakses dana nasional, hingga membuka peluang masuknya bantuan internasional.
Di sisi lain, penetapan status ini juga mengirimkan sinyal kuat kepada pasar dan komunitas internasional bahwa negara tengah menghadapi krisis berskala besar.
Dampak Ekonomi
Penetapan bencana nasional memerlukan pengalihan anggaran dalam skala besar. Dana Pembangunan seperti untuk pembangunan infrastruktur, dana pendidikan, dan proyek negara lainnya harus dialihkan untuk penanganan darurat. Pengalihan ini dalam bentuk bantuan sosial, relokasi, serta rekonstruksi. Oleh karena itu, keputusan ini memiliki implikasi langsung terhadap kesehatan APBN.
Padahal data terbaru menunjukkan bahwa defisit APBN 2025 telah mencapai sekitar Rp479,7 triliun per Oktober, atau sekitar 2,02% dari PDB. Dengan ruang defisit yang semakin terbatas, setiap tambahan belanja darurat berpotensi memberikan tekanan lebih besar terhadap APBN. Dalam situasi ekonomi global yang belum stabil, pemerintah tampaknya memilih langkah hati-hati.
Selain dalam konteks keuangan negara, status bencana nasional juga akan mempengaruhi perilaku pasar modal. Investor umumnya menilai bencana besar sebagai peningkatan risiko. Ini terjadi karena bencana akan mengganti rantai pasok yang akan membuat biaya logistik meningkat serta ketidakpastian ekonomi bertambah.
Beberapa media nasional menyebut bahwa banjir besar di Sumatera telah menekan IHSG karena pasar melihat gangguan pasokan komoditas sebagai ancaman terhadap stabilitas ekonomi. Hal ini dapat dipahami mengingat sejumlah industri nasional bergantung pada komoditas dari Sumatera, seperti batu bara, CPO, dan karet.
Meski demikian pengaruh bencana berdampak signifikan pada IHSG perlu diteliti lebih jauh lagi karena respons pasar dapat dipengaruhi dari berbagai faktor seperti reaksi pemerintah, kondisi global, dan kecepatan pemulihan ekonomi.
Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga
Ironisnya dalam beberapa tahun terakhir, kemampuan pemerintah daerah untuk menangani bencana besar menunjukkan penurunan. Penurunan transfer ke daerah mengurangi ruang gerak pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan penanggulangan bencana.
Pada Oktober lalu, Pemerintah Aceh menyatakan penolakan terhadap pemangkasan alokasi transfer ke daerah sebesar sekitar 25% untuk tahun 2025. Menurut Gubernur Aceh Muzakir Manaf, pemangkasan tersebut akan menghambat program prioritas seperti pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur di Aceh. Daerah juga dinilai tidak akan memiliki cukup anggaran cadangan untuk perbaikan infrastruktur rawan maupun memperkuat kesiapsiagaan.
Penurunan ruang fiskal ini berdampak langsung pada kualitas penanganan bencana. Evakuasi menjadi lambat karena daerah tidak memiliki alat berat yang memadai. Selain itu akses ke lokasi terisolasi terhambat, serta logistik tanggap darurat tidak dapat dipenuhi secara cepat. Ketidakmampuan ini menunjukkan bahwa penanganan bencana tidak lagi berada dalam kapasitas daerah.
Situasi ini menciptakan sebuah paradoks. Di satu sisi, kemampuan daerah melemah karena keterbatasan fiskal dan kesiapsiagaan. Namun di sisi lain, penetapan bencana nasional belum juga dikeluarkan. Paradoks ini membuat masyarakat menjadi pihak yang paling terdampak, di antara ketidakmampuan daerah dan belum optimalnya langkah pusat.
Jalan Tengah dan Komunikasi yang Empatik
Salah satu opsi realistis adalah menetapkan bencana di Sumatera sebagai “bencana daerah dengan penanganan khusus oleh pemerintah pusat.” Dengan mekanisme ini, pemerintah pusat tetap dapat mengambil alih peran strategis seperti dari pengerahan TNI–Polri, pengiriman logistik dan dana BNPB, hingga mobilisasi lintas Kementerian. Opsi ini dapat diambil tanpa harus mengumumkan status bencana nasional. Langkah ini memungkinkan negara hadir secara penuh dalam penanganan bencana, sekaligus menjaga stabilitas pasar dan ruang fiskal APBN.
Dasar hukumnya pun tersedia, melalui UU 24/2007, Perka BNPB No. 24/2010, dan Keppres Tanggap Darurat. Implementasi mekanisme tersebut dapat menjadi kompromi antara kebutuhan percepatan penanganan dan kehati-hatian fiskal.
Di luar aspek teknis penanganan, masyarakat juga menyoroti komunikasi pemerintah yang dinilai kurang menunjukkan empati. Dalam situasi bencana besar, narasi yang tepat sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik. Pernyataan yang kuat namun sensitif, informasi yang konsisten, serta penjelasan transparan mengenai rencana pemulihan dapat membantu meredakan keresahan masyarakat. Kehadiran negara dalam situasi bencana tidak hanya ditunjukkan melalui bantuan fisik, tetapi juga melalui komunikasi publik yang hangat, empatik, dan meyakinkan.
Pada akhirnya, bencana di Sumatera bukan sekadar peristiwa alam, tetapi sebuah bencana kemanusiaan. Ribuan warga kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan anggota keluarga. Karena itu, penanganan tidak cukup berhenti pada tahap darurat saja. Diperlukan rencana pemulihan yang terencana, terukur, dan berkelanjutan agar masyarakat dapat bangkit kembali beraktivitas dengan perasaan aman.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
