Polemik Tarif TransJakarta: Peluang Reformasi Transportasi Bebas Polusi
Wacana penyesuaian tarif TransJakarta memicu perdebatan di tengah masyarakat. Setelah hampir dua dekade tarif tidak berubah, sebagian warga tentu merasakan kekhawatiran atas potensi bertambahnya beban pengeluaran harian. Kekhawatiran ini wajar, sebab pengeluaran transportasi rumah tangga di wilayah Jabodetabek kini mencapai sekitar 11%-17% dari total pengeluaran bulanan—melampaui ambang ideal 10% sebagaimana direkomendasikan oleh Bank Dunia.
Di lain sisi, Pemprov DKI menghadapi tantangan fiskal yang tidak ringan. Pemangkasan dana transfer dari pusat ke daerah sebesar Rp15 triliun membuat ruang gerak anggaran semakin terbatas, sementara biaya operasional TransJakarta terus naik seiring pertumbuhan armada, pengembangan layanan, dan kebutuhan pemeliharaan. Tarif lama sebesar Rp3.500 per perjalanan sudah jauh di bawah biaya riil operasional, yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp13.000. Artinya, setiap perjalanan masih memerlukan subsidi sekitar Rp9.000-Rp11.500—beban yang sulit dipertahankan dalam jangka panjang tanpa mengurangi kualitas layanan.
Namun, jika hanya bertujuan menyelamatkan keuangan daerah, diskusi kenaikan tarif ini akan berhenti pada polemik jangka pendek. Kenaikan tarif, jika memang harus terjadi, seharusnya menjadi peluang strategis untuk memperbaiki mutu, keberlanjutan, dan efisiensi sistem transportasi publik Jakarta. Dengan tekanan fiskal daerah, biaya operasional yang meningkat, serta kualitas udara yang terus memburuk, kebijakan tarif tidak lagi dapat dipisahkan dari agenda reformasi struktural transportasi di kota terbesar di Indonesia ini.
Dari sudut pandang kebijakan publik, kondisi ini justru membuka jendela kesempatan bagi reformasi. Tiga agenda besar transportasi berkelanjutan—avoid, shift, improve—dapat didorong secara simultan bila Jakarta ingin serius menangani kemacetan dan polusi udara dari sektor transportasi.
Pemprov DKI perlu mengembangkan kota kompak dan Kawasan berbasis transit (KBT) untuk mengurangi kebutuhan perjalanan (avoid). Selanjutnya, perlu ada upaya untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik (shift) dengan meningkatkan layanan transportasi publik berkualitas tinggi, infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda, serta menerapkan zonasi tarif parkir, jalan berbayar elektronik (JBE) hingga kawasan rendah emisi. Dan yang tak kalah penting, pemprov perlu menjalankan elektrifikasi bus untuk efisiensi operasional dan menurunkan emisi sektor transportasi (improve).
Elektrifikasi sebagai Investasi Fiskal dan Lingkungan
Elektrifikasi armada TransJakarta bukan sekadar mengikuti tren global, melainkan langkah fiskal yang rasional. Berbagai studi menunjukkan bahwa biaya operasional bus listrik lebih rendah dibandingkan bus diesel. Saat ini, Transjakarta telah mengoperasikan 500 unit bus listrik. Transjakarta telah menargetkan akan mengoperasikan sebanyak 10.047 unit bus listrik hingga 2030.
Transisi elektrifikasi yang dilakukan oleh Transjakarta telah memberikan beberapa manfaat, seperti penghematan biaya operasional mencapai sekitar 20% dan pengurangan biaya energi lebih dari separuh dibandingkan bus berbahan bakar fosil pada rentang waktu pengoperasian bus listrik 2022-2024. Selain itu, bus listrik memiliki komponen mekanis yang jauh lebih sedikit, sehingga biaya perawatan lebih rendah dan ketersediaan armada lebih stabil. Penghematan tersebut dapat dialihkan untuk menambah armada, memperluas layanan bagi kawasan yang belum terjangkau atau memperbaiki kenyamanan penumpang.
Manfaat elektrifikasi juga signifikan dari sisi kesehatan masyarakat. Kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi langsung seperti nitrogen oksida maupun partikel halus PM2,5 yang menjadi sumber utama polusi udara Jakarta. Dalam beberapa tahun terakhir, konsentrasi PM2,5 di Jakarta tercatat beberapa kali lipat di atas ambang batas yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia. Berdasarkan studi ITDP (2023), elektrifikasi seluruh armada Transjakarta berpotensi untuk mengurangi emisi PM2,5 hingga 46% dibandingkan dengan penggunaan bus berbahan bakar fosil. Pemangkasan emisi transportasi melalui elektrifikasi armada menjadi salah satu intervensi paling efektif untuk menekan beban penyakit dan biaya kesehatan akibat polusi.
Sejumlah kota dunia telah membuktikan dampak positif elektrifikasi transportasi publik. Shenzhen, Tiongkok, misalnya, mengalihfungsikan lebih dari 16.000 bus menjadi armada listrik dan berhasil menekan emisi karbon sekaligus menurunkan biaya operasional. Colombo, Sri Lanka, melalui dukungan UNDP, juga tengah melaksanakan proyek bus listrik percontohan untuk meningkatkan efisiensi fiskal dan kualitas layanan. Jakarta memiliki peluang yang sama, dan kebijakan tarif dapat berperan sebagai instrumen pendukung keberlanjutan tersebut.
Tentu saja, manfaat elektrifikasi transportasi publik ini akan maksimal ketika sumber listriknya juga bersih dari polusi. Karenanya, elektrifikasi transportasi juga perlu dibarengi dengan dekarbonisasi sumber energi dari bus listrik ini, yakni dengan transisi pembangkit listrik ke energi terbarukan.
Reformasi Sistem Transportasi
Penyesuaian tarif dan elektrifikasi tidak akan berdampak maksimal jika tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kendaraan bermotor pribadi, dengan penerapan zonasi parkir dan tarif parkir tinggi di kawasan transit (KBT), jalan berbayar elektronik, dan kawasan ramah emisi. Namun, untuk memastikan pergeseran moda lebih adil dan efektif, kebijakan ini perlu diikuti pengaturan ulang insentif bagi seluruh warga, baik yang menggunakan transportasi publik maupun tidak.
Integrasi penuh antarmoda juga menjadi elemen penting. TransJakarta, MRT, LRT, KRL, dan layanan Mikrotrans seharusnya beroperasi sebagai satu ekosistem transportasi, bukan sebagai entitas terpisah. Integrasi tarif dan waktu tempuh akan meningkatkan pengalaman pengguna sekaligus menekan biaya operasional secara keseluruhan.
Pada aspek pembiayaan, penerapan model tarif fleksibel dapat menjadi pilihan. Tarif lebih tinggi pada jam sibuk dapat membantu mendistribusikan kepadatan penumpang, sementara tiket harian atau bulanan memberi kepastian bagi pengguna tetap. Penyesuaian tarif kecil secara berkala, alih-alih kenaikan besar setelah bertahun-tahun stagnan, juga dapat menjaga keterjangkauan sekaligus kestabilan fiskal.
Subsidi tepat sasaran merupakan elemen kunci lainnya. Alih-alih berbasis kategori profesi—yakni kebijakan 15 golongan penerima tarif khusus, subsidi sebaiknya diarahkan kepada kelompok rentan seperti keluarga berpenghasilan rendah, pekerja informal bergaji rendah, penyandang disabilitas, lansia, dan pelajar dari keluarga miskin. Dengan demikian, prinsip keadilan sosial tetap terjaga tanpa membebani fiskal secara berlebihan.
Jika memang Pemda Jakarta akan menyesuaikan tarif TransJakarta, keputusan ini harus dirancang dengan visi jangka panjang dan tata kelola yang baik sebagai awal reformasi transportasi publik Jakarta. Elektrifikasi armada, integrasi moda, subsidi tepat sasaran, dan kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi dapat menjadi investasi strategis bagi masa depan kota.
Transformasi ini menempatkan TransJakarta bukan hanya sebagai penyedia angkutan, melainkan sebagai instrumen peningkatan kualitas hidup dan kesehatan warganya, sekaligus penguat stabilitas fiskal daerah. Jakarta memiliki kesempatan untuk mengikuti jejak kota-kota global yang telah membuktikan bahwa transportasi publik yang bersih dan efisien adalah fondasi penting sebuah kota yang maju dan berkelanjutan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
