Panggung Bencana: Pentingnya Memutus Siklus Kehancuran Ekologis

Faiz Kasyfilham
Oleh Faiz Kasyfilham
9 Desember 2025, 07:05
Faiz Kasyfilham
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Gelombang bencana yang melanda berbagai wilayah Indonesia belakangan ini kembali menyingkap pola yang terus berulang. Ulah memalukan kembali dipertontonkan dengan munculnya pejabat dengan gaya populis, hadir di tengah puing-puing dan derita warga, menawarkan simpati instan dan janji-janji yang tak pernah benar-benar menyentuh akar persoalan. Di hadapan kamera, mereka tampil sebagai penyelamat, tetapi di balik itu, ada problem struktural yang tak pernah mereka sentuh. Lebih parah lagi, sebagian dari mereka sejatinya merupakan sumber perkara dari bencana yang ada.

Fenomena para pejabat ini tidak bisa dibaca semata sebagai respons spontan negara terhadap krisis. Ia merupakan manifestasi dari dua persoalan mendasar hari ini: keretakan metabolik (metabolic rift) antara manusia dan alam, serta budaya politik yang memproduksi false heroes dan hijacked memories, yang pada akhirnya menciptakan amnesia kolektif yang disengaja. Persoalan yang jika dilanjutkan hanya akan memperkuat hegemoni status quo dan melanjutkan siklus kehancuran ekologis.

Keretakan Metabolik

Dalam tradisi pemikiran ekologi kritis, metabolic rift menggambarkan keterputusan hubungan metabolik antara manusia dan alam akibat dominasi logika kapitalisme. Di Indonesia, keretakan ini terlihat jelas, di mana manusia dan alam semakin terjebak dalam keterasingan. Lebih dari itu, alam semakin jarang hadir sebagai ruang hidup, tetapi semakin sering muncul sebagai bencana.

Kita jarang diingatkan bahwa banjir bandang, longsor, dan kekeringan adalah bagian dari dialog ekologis yang terputus. Ketika tanah kehilangan vegetasi, hutan ditebang demi perkebunan monokultur atau daerah resapan dialihfungsikan menjadi properti komersial, maka alam akan merespons. Namun sayangnya, narasi yang dominan dalam menerjemahkan respon alam ini seringkali disimplifikasi berupa cuaca ekstrem atau fenomena alam.

Narasi ini mengaburkan fakta bahwa bencana-bencana tersebut adalah produk dari keputusan politik dan ekonomi yang diambil secara sadar oleh para elit politik. Ia bukan semata fenomena meteorologis. Ia adalah produk dari kebijakan pemangunan yang berpondasikan pada kapitalisme ekstraktif—melalui deforestasi, ekspansi pertambangan dan alih fungsi lahan— yang menggerus kapasitas lingkungan untuk menopang kehidupan.

Sayangnya, framing bencana sebagai “takdir alam” sangat menguntungkan dua pihak: elite politik dan korporasi. Keduanya dapat terlepas dari tanggung jawab struktural dan aktivitas ekstraktif yang mereka sokong tetap berjalan tanpa koreksi. Dalam kondisi seperti ini, rakyat hanya disodorkan solusi jangka pendek, seperti bantuan sembako, kunjungan pejabat, janji-janji kosong di tenda bencana, sementara proses perusakan ekologis berjalan tanpa henti.

Pahlawan Palsu dan Amnesia Kolektif

Sering terbersit bahwa setiap bencana muncul maka akan melahirkan dua jenis korban, yakni warga terdampak dan kebenaran yang turut terkubur. Wilayah bencana kian menjadi panggung bagi pejabat, menjadi ruang bagi rebranding politik. Banyak pejabat datang dengan retorika populis dan bukan hanya menawarkan bantuan, tetapi juga mengatur narasi. Inilah momen ketika false hero dilahirkan.

Munculnya orang-orang yang berpura-pura sebagai pahlawan dalam bencana hanya mengungkap penyakit akut pejabat berupa narsistik. Banyak pejabat nasional datang ke lokasi bencana bak pahlawan, bukan untuk menantang struktur penyebabnya, tetapi untuk meneguhkan citra diri. Sayangnya, penyakit ini juga terkadang menjangkit pejabat daerah yang bertindak bak pelayan dan penjilat ulung elit nasional.

Fenomena ini sejatinya bekerja dalam kondisi yang disebut sebagai hijacked memories. Ingatan kolektif kita tentang rekam jejak politisi—keputusan yang merusak lingkungan, pembiaran izin-izin bermasalah, atau kebijakan yang koruptif—secara aktif dibajak oleh serangkaian aksi simbolik berupa blusukan, pengambilan foto dramatis, emotif, dan penuh empati dadakan.

Aksi-aksi heroik palsu ini membentuk memori tandingan yang jauh lebih mudah diingat publik dibandingkan fakta dan data tentang kerusakan ekologis yang kompleks. Publik pun diarahkan untuk melihat politisi sebagai penyelamat, bukan bagian dari masalah. Dengan kata lain, bencana justru berfungsi sebagai panggung politik untuk merestorasi citra, membangun legitimasi, dan memperpanjang kekuasaan.

Sayangnya, budaya politik kita memang menyediakan ruang luas bagi manipulasi ini. Masyarakat yang terpapar narasi media yang dangkal, kurang literasi, dan menghadapi tekanan hidup sehari-hari cenderung menginginkan solusi instan. Dalam situasi itu, kritisisme runtuh, digantikan rasa syukur yang tidak proporsional kepada pejabat yang muncul di momen-momen krisis.

Dalam kondisi seperti ini seringkali kita lupa dosa-dosa mereka di masa lalu. Kita lupa siapa yang menerbitkan izin tambang, siapa yang merestui alih fungsi hutan, dan siapa yang membiarkan perusahaan beroperasi tanpa uji lingkungan yang memadai.
Dan kita perlu ingat bahwa “lupa” dalam dunia politik merupakan bentuk dominasi kekuasaan elit dan bentuk nyata kekalahan rakyat.

Karenanya, kita perlu insaf bahwa amnesia kolektif bukan sekadar kelalaian, tetapi mekanisme politik yang bekerja sistematis. Ia menjadi pelindung bagi tokoh politik dan penguat narasi hegemonik bahwa negara selalu hadir sebagai penyelamat, bukan pelaku dan pendosa. Ia menjadi instrumen dalam politisasi bencana dan depolitisasi korban bencana dalam narasi kritis.

Saatnya Mengakhiri Siklus Ini

Pada akhirnya, kita sadari bahwa adanya bencana akhir ini mengajarkan beberapa hal. Pertama, kita perlu memulihkan hubungan ekologis, mereproduksi relasi yang sehat dan menghilangkan keterasingan kita dari alam, baik dari sisi hidup keseharian atau dalam ranah formal. Kedua, rakyat bantu rakyat, korban bantu korban, menjadi sinyal kuat bahwa deligitimasi atas pemerintah semakin kuat. Harusnya ini menjadi bahan introspeksi bagi para pemangku kuasa.

Ketiga, kita juga perlu memulihkan dan memperkuat ingatan politik kita. Bencana tidak bisa lagi dipahami sebagai fenomena alam yang netral dan pejabat yang hadir dengan retorika populis tidak boleh lagi diberikan ruang untuk membajak ingatan kolektif. Kita harus berani mengatakan bahwa akar bencana hari ini adalah gabungan dari kerusakan ekologis dan kegagalan politik. 

Kita perlu ingat, selama publik terus menyambut pahlawan-pahlawan palsu yang dibentuk oleh momennya sendiri, bukan rekam jejaknya, maka siklus kehancuran ekologis dan manipulasi politik akan terus berulang. Maka dari itu, bencana yang membawa duka bagi seluruh masyarakat Indonesia perlu dijadikan sebagai momentum menghentikan kultur lama. Ini adalah momentum dalam membangun kejujuran dan kesadaran untuk melihat siapa yang benar-benar berada di balik bencana. Bencana jangan lagi dijadikan panggung orkestrasi politik, tapi harus jadi momentum dalam merumuskan perubahan demi tata kelola lingkungan yang lebih baik ke depannya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Faiz Kasyfilham
Faiz Kasyfilham
Dosen Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Diponegoro

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...