Sengketa Baja Nirkarat: Pandangan Kritis terhadap Kebijakan UE

Widodo Setiadharmaji
Oleh Widodo Setiadharmaji
15 Desember 2025, 06:05
Widodo Setiadharmaji
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sengketa stainless steel antara Indonesia dan Uni Eropa (UE) kembali mengemuka sebagai cermin dari dinamika perdagangan global yang semakin protektif. Di tengah persaingan industri logam yang kian ketat dan perubahan kebijakan ekonomi yang melanda banyak negara maju, UE mengambil langkah untuk membatasi masuknya produk baja nirkarat dari berbagai sumber, termasuk Indonesia. Langkah tersebut ditempuh melalui penyelidikan anti-dumping dan penetapan bea masuk imbalan terhadap produk cold-rolled stainless steel asal Indonesia, kebijakan yang akhirnya menambah beban biaya hingga lebih dari dua puluh persen dan mempersempit akses ekspor Indonesia ke pasar Eropa.

Indonesia memandang bahwa kebijakan tersebut tidak mencerminkan penerapan aturan perdagangan yang adil. Untuk memastikan bahwa tindakan Uni Eropa dinilai secara objektif, Indonesia membawa persoalan ini ke mekanisme sengketa WTO guna menguji apakah penyelidikan dan penetapan bea masuk tambahan itu benar-benar sejalan dengan ketentuan internasional mengenai subsidi dan tindakan pengimbang. Langkah ini merupakan wujud komitmen Indonesia dalam menegakkan prinsip perdagangan berbasis aturan, sekaligus memastikan bahwa instrumen proteksi negara maju tidak diberlakukan secara sepihak tanpa landasan yang kuat.

Kemenangan Substantif yang Tak Dapat Direalisasikan

Putusan Panel WTO yang terbit pada 2 Oktober 2025 menjadi tonggak penting karena menyatakan bahwa Uni Eropa bertindak tidak konsisten dengan ketentuan WTO tentang “Subsidies and Countervailing Measures Agreement.” Panel menemukan kelemahan mendasar dalam cara Uni Eropa menentukan adanya subsidi, mulai dari atribusi pembiayaan yang tidak tepat hingga kegagalan membuktikan bahwa terjadi financial contribution sesuai definisi WTO. Selain itu, penilaian mengenai subsidi dan sejumlah aspek prosedural dinilai tidak memenuhi standar uji yang diharuskan.

Putusan tersebut merupakan kemenangan substantif bagi Indonesia. Panel menegaskan bahwa penetapan CVD oleh Uni Eropa dilakukan melalui analisis yang tidak selaras dengan prinsip objektivitas serta tidak memenuhi beban pembuktian yang disyaratkan. Secara substansi, kemenangan ini menempatkan Indonesia dalam posisi kuat, karena keputusan panel pada dasarnya mengharuskan Uni Eropa memperbaiki atau bahkan mencabut kebijakan CVD terhadap produk stainless steel Indonesia.

Kekuatan putusan panel menjadi hilang ketika Uni Eropa mengajukan banding pada 24 November 2025. Langkah tersebut membawa sengketa ini memasuki kekosongan kelembagaan, karena Badan Banding WTO (Appellate Body) tidak berfungsi sejak 2019. Dengan diajukannya banding ke lembaga tersebut, putusan panel tidak dapat diadopsi dan tidak dapat diberlakukan. Konsekuensinya, tarif CVD Uni Eropa tetap berlaku meskipun panel WTO telah menyatakan tidak konsisten dengan aturan organisasi tersebut.

Indonesia mengekspresikan keprihatinan atas tindakan Uni Eropa yang dianggap tidak konstruktif dalam penyelesaian sengketa. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa panel telah memutuskan secara objektif dan bahwa Uni Eropa seharusnya menghentikan penerapan CVD. Uni Eropa, dalam berbagai laporan, menyatakan bahwa Indonesia seharusnya bergabung dengan Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA) agar proses banding dapat berjalan. Fakta bahwa Uni Eropa kemudian mengajukan banding ke Badan Banding yang tidak berfungsi mengakibatkan sengketa ini tidak dapat diselesaikan dan tidak memiliki horizon waktu penyelesaian yang pasti.

Tantangan yang Tiada Ujung

Kebuntuan ini memiliki dampak langsung terhadap ekspor Indonesia. Walaupun Indonesia memenangkan aspek hukum, kondisi pasar tetap belum berubah. Tarif CVD Uni Eropa masih berlaku dan menahan akses produk Indonesia ke pasar Eropa. Data dari berbagai analisis menunjukkan bahwa ekspor stainless steel Indonesia ke Uni Eropa merosot drastis hingga titik terendah pada 2023, lalu sedikit pulih pada 2024 namun tetap jauh di bawah level puncaknya. Kemenangan hukum pada akhirnya belum dapat memberikan manfaat komersial karena tertahan oleh situasi institusional WTO.

Dalam konteks ini, kemenangan di panel tidak dapat serta-merta diterjemahkan menjadi pemulihan daya saing pasar. Untuk mencapai dampak nyata, penyelesaian banding menjadi faktor penentu, dan selama Appellate Body WTO belum pulih, situasinya tidak akan berubah.

Di luar sengketa CVD, Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa Uni Eropa telah menyiapkan lapisan proteksi berikutnya yang jauh lebih mendasar. Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang memasuki fase implementasi penuh pada 2026, dirancang untuk mengenakan pungutan karbon pada produk impor berdasarkan intensitas emisi. Cara baru ini menjadi instrumen proteksi non-tarif yang secara struktural jauh lebih kuat dibandingkan tarif tradisional seperti CVD atau AD.

Analisis pasar memperlihatkan bahwa pungutan karbon dalam skema CBAM dapat mencapai tingkat biaya yang setara atau bahkan lebih besar daripada bea CVD yang kini menjadi sumber sengketa. Dengan struktur industri nikel dan stainless Indonesia yang masih bergantung pada batubara, CBAM menghadirkan tantangan serius bagi daya saing jangka panjang Indonesia di pasar Uni Eropa. Dalam perspektif ini, perdebatan mengenai CVD hanyalah babak awal dari tantangan yang lebih besar, ketika regulasi hijau negara maju mulai membentuk standar baru dalam akses pasar global.

Refleksi dalam Menata Langkah ke Depan

Rangkaian perkembangan dalam sengketa stainless steel ini memberikan pembelajaran yang sangat penting bahwa setiap negara akan menempuh seluruh upaya yang diperlukan untuk melindungi industrinya. Uni Eropa menunjukkan hal itu secara terang-terangan. Setelah kebijakannya dinyatakan keliru oleh panel WTO, Uni Eropa segera mengajukan banding sehingga putusan tersebut tidak dapat dijalankan. Mekanisme banding yang tidak berfungsi ini pada akhirnya membuat kemenangan Indonesia kehilangan daya implementatif, sementara Uni Eropa tetap dapat mempertahankan kebijakan CVD-nya.

Tidak berhenti di situ, Uni Eropa sudah menyiapkan lapisan berikutnya melalui CBAM, sebuah instrumen berbasis karbon yang secara struktural akan membatasi impor produk berintensitas emisi tinggi. CBAM menjadi pagar baru yang dapat menimbulkan beban biaya lebih besar daripada tarif tradisional, dan dirancang untuk memastikan hanya produk yang memenuhi standar lingkungan Eropa yang dapat memasuki pasar mereka.

Indonesia perlu terus mencermati dinamika perlindungan perdagangan yang cenderung berlapis. Setiap negara mencari celah, memanfaatkan kelemahan institusi, dan bahkan mengabaikan kesepakatan WTO ketika diperlukan untuk melindungi industrinya. Dalam realitas seperti ini, kemenangan di WTO tidak serta-merta memberikan dampak nyata bagi industri dalam negeri. 

Berkaca pada apa yang dilakukan Uni Eropa, Indonesia perlu membangun arsitektur perlindungan pasar yang modern dan berlapis. Dalam situasi di mana impor baja tetap tinggi meskipun kapasitas produksi nasional sebenarnya memadai, proteksi pasar menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi industrialisasi. Upaya memperkuat standar teknis, pengawasan mutu, instrumen trade remedies, serta kebijakan lainnya yang melindungi investasi industri harus dipahami sebagai satu rangkaian kebijakan yang saling menopang, bukan langkah yang berdiri sendiri.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Widodo Setiadharmaji
Widodo Setiadharmaji
Pengamat Industri Baja dan Pertambangan

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...