Perang Jawa dan Krisis Indonesia Hari Ini

Muhammad Iqbal
Oleh Muhammad Iqbal
16 Desember 2025, 06:05
Muhammad Iqbal
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sejarah sering lahir dari tanah yang bergetar jauh sebelum suara meriam terdengar. Jawa pada akhir abad ke delapan belas adalah pulau yang menyimpan ketegangan di bawah permukaannya. Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011) melukiskan dunia Yogyakarta sebagai kerajaan yang tampak megah tetapi rapuh, seperti istana yang berdiri di atas tanah yang terus bergerak. Lapisan bangsawan, petani, ulama, dan aparat kolonial hidup bersama dalam tatanan yang musykil. Setiap lapisan membawa harapan yang tidak selalu sejalan. Carey menunjukkan bahwa lebih dari dua juta jiwa akhirnya terseret dalam pusaran perang yang akan datang, dengan hampir 200 ratus ribu orang Jawa kehilangan nyawa.

Ketidakstabilan ini bukan hanya persoalan politik. Ia menumpuk dalam tubuh sosial. Harga beras naik, wabah kolera merayap dari desa ke desa, dan kebijakan kolonial mencengkeram perdesaan melalui pungutan, tol, dan monopoli opium. Carey mencatat bahwa tahun-tahun sebelum Perang Jawa diwarnai keluhan petani yang semakin kehilangan ruang hidupnya akibat pajak dan kontrol perdagangan yang menjerat mereka dari berbagai arah. Jawa menunggu seseorang yang mampu menerjemahkan keresahan itu menjadi gerakan yang menyala. Ketika banyak petani mulai membisikkan nama “Ratu Adil”, sejarah membuka pintunya bagi seorang pangeran yang hidup di pinggir istana: Diponegoro.

Kelebat di Tegalreja

Diponegoro memiliki momen itu di Tegalreja. Ia tumbuh di luar keraton, tetapi dekat dengan denyut batin rakyat yang kelak datang mengikutinya. Carey menunjukkan bagaimana ia hidup bersama ulama desa, fakir, pemimpin tarekat, serta komunitas santri yang memperkuat intuisi religiusnya dan mendorongnya melihat dunia bukan sebagai benteng istana, melainkan sebagai lanskap moral yang harus diperbaiki.

Ia bukan tokoh yang mencari kekuasaan. Ia mencari keteraturan. Ia membaca tanda-tanda. Ia memaknai mimpi, tapa, dan wahyu sosial yang muncul di tengah penderitaan rakyat. Tatkala Merapi meletus pada Desember 1822, banyak orang menganggapnya sebagai penanda keruntuhan tatanan lama. Carey mencatat betapa kuatnya keyakinan rakyat bahwa gejala alam ini terhubung dengan nubuat Jayabaya, yang menanti datangnya pemimpin adil yang menegakkan kembali kemuliaan agama dan kehidupan sosial. Bagi rakyat yang hidup dalam tekanan ekonomi, itu bukan sekadar mitos. Itu adalah bahasa harapan.

Pecahnya Ketegangan

Perang Jawa pecah bukan karena satu insiden saja. Ia adalah ledakan panjang dari akumulasi krisis ekonomi dan kegagalan negara kolonial memahami perubahan sosial yang terjadi. Carey meneroka bahwa kebijakan pajak tanah, penghapusan sistem sewa, dan pengetatan kendali administratif membuat desa-desa kehilangan otonomi ekonominya. Sistem gerbang tol menekan barang dagangan dan memperlambat perdagangan. Di sisi lain, monopoli opium dan kontrol kopi membuat banyak petani terjebak dalam “lingkaran setan” ketergantungan yang menggerus kesejahteraan.

Aparat kolonial memperlihatkan wajahnya yang paling keras. Kekerasan menjadi alat untuk mengamankan pendapatan negara. Setiap penolakan diperlakukan sebagai ancaman. Setiap keraguan dianggap pembangkangan. Carey menunjukkan bahwa aparat kolonial sering mengabaikan struktur sosial Jawa, sehingga mereka gagal membaca tanda-tanda perubahan dan gelombang kerusuhan kecil yang berserakan sebelum 1825.

Tatkala rumah ziarah di Tegalreja akan dihancurkan, hal ihwal itu bukan sekadar sengketa tanah. Ia adalah simbol bahwa negara tidak lagi menghormati ruang spiritual rakyat. Moralitas pun berubah menjadi kemarahan.

Api di Tanah Jawa

Perang Jawa pecah pada Juli 1825. Diponegoro bergerak dengan taktik yang efektif. Ia menggunakan jaringan pesantren, laskar santri, bangsawan kecewa, dan petani yang selama bertahun-tahun merasa tertindas. Carey menulis bahwa perang ini adalah perang rakyat yang tidak pernah terjadi sebelumnya di Jawa. Ia bukan perebutan tahta, tetapi pergulatan untuk mempertahankan dunia yang runtuh di hadapan kolonialisme modern.

Tiga ciri penting menonjol dalam perang ini. Pertama, militansi spiritual. Diponegoro menggabungkan simbol agama dengan retorika moral untuk menyalakan solidaritas. Perang sabil menjadi seruan yang menggugah. Bukan hanya sebagai perang fisik, tetapi sebagai perjuangan memulihkan keseimbangan dunia.

Kedua, kekerasan negara yang semakin terorganisasi. Martin Bossenbroek dalam bukunya Pembalasan dendam Diponegoro: Awal dan Akhir Hindia Belanda (2023) menegaskan bahwa kolonialisme Belanda mulai menunjukkan bentuk modernnya sejak perang ini. Ia menjadi negara yang mengatasi ancaman dengan teknologi militer yang lebih maju, strategi benteng, dan disiplin pasukan yang diarahkan untuk menekan perlawanan dengan cara-cara yang sistematis.

Ketiga, penderitaan sosial yang tidak terukur. Carey mencatat bahwa sepertiga penduduk Jawa bagian tengah dan timur terpapar dampak perang. Dua ratus ribu orang tewas. Desa-desa berubah menjadi ladang kosong. Perdagangan lumpuh. Rakyat kehilangan tempat kembali setelah semua terbakar. Perang ini melampaui batas fisik. Ia menghancurkan imajinasi kolektif tentang masa depan.

Negosiasi yang Retak

Bossenbroek membuka salah satu fragmen penting tentang akhir perang melalui adegan penangkapan Diponegoro. Ia menyebutnya sebagai babak yang menghancurkan kepercayaan rakyat Jawa terhadap komitmen moral Belanda. Adegan itu, kata Bossenbroek, selalu terbayang sebagai bentuk pengkhianatan yang membekas dalam ingatan sejarah Indonesia.

Diponegoro datang ke Magelang untuk bernegosiasi. Ia percaya ada jalan damai. Ia percaya bahwa masa depan masih dapat dinegosiasikan. Carey menggambarkan betapa kejutan itu menghantam para pengikutnya. Penangkapan itu mengubah pangeran menjadi simbol perlawanan yang lebih besar tinimbang dirinya sendiri.

Ia diasingkan. Pertama ke Manado. Lalu ke Makassar. Ia wafat jauh dari tanah yang ia perjuangkan. Tetapi ide-ide yang ia tinggalkan tetap hidup di desa-desa yang pernah terbakar.

Setelah perang berakhir, Belanda tidak merayakan kemenangan. Mereka membuka pembukuan. Perang menghabiskan lebih dari 20 juta gulden. Banyak serdadu dan serdadu pribumi mati. Walakin dari puing-puing itu, kolonialisme Belanda di Jawa memasuki fase baru yang jauh lebih terstruktur.

Bossenbroek menunjukkan bahwa kemenangan dalam Perang Jawa membuka jalan bagi Cultuurstelsel yang dimulai tahun 1830. Sistem tanam paksa ini menjadi mesin ekonomi yang mengalirkan kekayaan dari Nusantara ke negeri induk. Ia dibangun di atas pemahaman anyar bahwa negara hanya bisa bertahan jika desa-desa Jawa dimasukkan ke dalam sistem produksi global secara paksa dan sistematis.

Indonesia modern lahir dari luka itu. Perang Jawa menjadi cermin yang memperlihatkan bagaimana negara dapat berubah menjadi kekuatan yang menggilas rakyatnya sendiri ketika ekonomi menjadi tujuan tunggal.

Cermin Indonesia

Perang Jawa bukan sekadar episode sejarah. Ia adalah lensa besar untuk melihat perjalanan panjang Indonesia. Pertama, ia memperlihatkan bahwa krisis ekonomi selalu menjadi akar paling kuat dari ledakan sosial. Rakyat tidak bergerak hanya karena simbol politik, tetapi karena tanah mereka dirampas, pasar mereka dikunci, dan harga makanan mereka naik. Indonesia hari ini masih belajar dari dinamika itu.

Kedua, ia menyingkap bagaimana negara dapat berubah menjadi entitas yang keras ketika berhadapan dengan krisis legitimasi. Pola reaksinya berulang dalam sejarah Indonesia, baik pada masa kolonial maupun sesudahnya.

Ketiga, ia memperlihatkan bahwa kesadaran kolektif rakyat dapat tumbuh di luar pusat kekuasaan. Diponegoro adalah pangeran perbatasan. Ia berada di pinggir istana. Dari pinggir itulah Indonesia berkali-kali menemukan pemimpin moralnya.

Keempat, ia menunjukkan bahwa modernitas datang dengan harga yang mahal. Jawa memasuki dunia global bukan melalui perdagangan yang seimbang, tetapi melalui perang yang menghancurkan fondasi sosial.

Indonesia terus mewarisi pelajaran itu. Diponegoro adalah cermin itu. Perang Jawa adalah gambarnya. Konflik itu mengajarkan bahwa bangsa dapat bersetai-setai jika tekanan ekonomi menggerus martabat rakyatnya. Ia mengajarkan bahwa negara kehilangan wibawa ketika kekerasan menggantikan dialog. Ia menunjukkan bahwa masyarakat dapat bangkit dari ketidakadilan dengan energi spiritual yang kadang tidak dimengerti oleh penguasanya.

Indonesia hari ini masih berada dalam bayang-bayang perang itu. Dalam setiap krisis pangan. Dalam setiap ketimpangan. Dalam setiap perdebatan tentang kekuasaan dan moralitas. Dalam setiap ingatan tentang pemimpin yang diasingkan karena menolak tunduk.

Perang Jawa adalah sejarah. Namun ia juga masa kiwari. Selama Indonesia terus mencari keadilan sosial, suara dari Tegalreja akan selalu bergema.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal
Sejarawan UIN Palangka Raya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...