Virus corona telah menjadi pandemi global. Di beberapa negara, terutama yang melakukan isolasi atau lockdown, sektor retail terpukul karena toko-toko ditutup. Bagaimana dengan Indonesia?
Dua pasien pertama dengan status positif Covid-19 di Indonesia diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Senin, 2 Maret 2020. Setelah diketahui bahwa kedua pasien berasal dari Depok dan beraktivitas di Jakarta, warga Ibu Kota langsung menyerbu supermarket untuk memborong bahan pokok.
Hari itu, fenomena panic buying dimulai. Rak-rak yang biasanya berisi aneka rupa bahan makanan mulai beras, gula, minyak goreng, telur, hingga mie instan di supermarket tiba-tiba kosong melompong. Pemandangan serupa tampak di deretan rak yang biasa berisi produk kebersihan diri dan rumah tangga.
Stok aneka bahan pokok itu sejatinya tak benar-benar habis. Hanya, gerai-gerai retail modern seperti Transmart Carrefour memiliki kemampuan terbatas untuk mengisi toko dengan cepat. Normalnya, proses distribusi hingga barang dari gudang dapat terpajang perlu waktu 1-2 hari.
"Stok masih cukup. Kalaupun nanti terjadi kehabisan stok akan segera ditambah agar tak terjadi kelangkaan barang," kata Vice President Corporate Communications Transmart Carrefour Satria Hamid.
(Baca: Kemenko Ekonomi Khawatir Lockdown Jakarta Ganggu Distribusi Pangan)
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey pun mengimbau masyarakat Indonesia tidak melakukan panic buying akibat fobia wabah corona di Indonesia. "Karena tindakan yang berlebihan ini justru membuat kepanikan baru di saat seluruh kebutuhan masyarakat sebetulnya dapat terpenuhi," ujar Roy
Ancaman Inflasi
Fenomena panic buying dapat menyebabkan kelangkaan barang akibat lonjakan permintaan dalam waktu singkat. Sejumlah pihak meminta pemerintah mewaspadai ancaman inflasi sebagai dampak lanjutan akibat merebaknya virus corona.
Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Agus Eko menyatakan, pemerintah harus mengendalikan pasokan pangan agar harga-harga tidak melonjak. Menurutnya, operasi pasar dapat menjadi opsi pemerintah untuk mengendalikan harga.
Inflasi sebagai dampak tak langsung dari pandemi virus corona diperkirakan akan mulai tampak pada Maret 2020. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Februari 2020 hanya 0,28%, lebih rendah dari inflasi Januari 2020 yang sebesar 0,39%.
(Baca: Pemerintah Godok Stimulus Ekonomi ke-3 untuk Dukung Social Distancing)
Berapa potensi inflasi akibat virus corona? Jawabannya akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Topik yang menghangat saat ini adalah soal social distancing atau lockdown.
Yang dikhawatirkan adalah jika pemerintah melakukan lockdown. Hingga Selasa (17/3) petang, jumlah pasien yang positif terjangkit virus corona mencapai 172 orang. Berikut datanya:
Jika kondisi memburuk hingga pemerintah terpaksa memberlakukan isolasi, dampak ekonominya akan lebih besar. Peneliti Indef Ariyo DP Irhamna menyatakan bahwa lockdown akan mempersulit distribusi barang. Sementara April sudah memasuki Ramadan, di mana permintaan barang cenderung meningkat.
“Ini akan pengaruh ke inflasi. Sebab pasokan barang-barang impor akan terganggu, sedangkan demand meningkat,” ujar Ariyo dalam diskusi online Indef, Minggu (15/3) lalu.
Sedangkan, Peneliti Indef Bhima Yudhistira menjelaskan, pemerintah tak perlu terburu-buru menerapkan lockdown. Dia mencontohkan, jika DKI Jakarta saja yang diisolasi, maka inflasi nasional bisa menembus 6% di tahun ini, jauh di atas asumsi APBN sebesar 3% dengan toleransi 1%.
“Jakarta mengandalkan sebagian besar bahan pangan dari luar daerah, sementara Jakarta menyumbang 20% total inflasi nasional. Kalau barang susah masuk hingga terjadi kelangkaan, yang rugi adalah masyarakat sendiri,” kata Bhima.
(Baca: Temui Anies, Mendagri Ingatkan Lockdown Mutlak Kewenangan Pusat)
Kebijakan isolasi total atau lockdown hanya bisa diambil oleh pemerintah pusat. Sedangkan, Presiden Jokowi menyatakan pemerintah pusat masih belum mau menggunakan kebijakan tersebut dalam menangani penyebaran virus corona atau Covid-19.
“Sampai saat ini tidak ada kita berpikiran ke arah kebijakan lockdown,” ujar Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3).
Dampak Social Distancing
Berbeda dengan lockdown, dampak social distancing terbilang lebih ringan. Secara umum, pembatasan sosial seperti yang diberlakukan di DKI Jakarta, Solo, hingga Kalimantan Timur membuat bisnis retail lesu. Pusat-pusat perbelanjaan, termasuk restoran dan toko-toko menjadi sepi, meski tak ditutup total.
Di Grand Indonesia misalnya, rata-rata jumlah pengunjung harian bisa mencapai 56-60 ribu pada hari biasa, dan 65-70 ribu orang pada akhir pekan. Sejak ada pembatasan sosial, di mana masyarakat menghindari pusat-pusat keramaian, jumlah pengunjung pun merosot.
"Kalau kami lihat dari prosentase penurunannya fluktuatif, sekitar 10-15%, dan ini juga kami pantau terus," kata Corporate Communications GI Annisa Hazarini, dikutip CNBC Indonesia, Rabu, (11/03).
Sementara itu, Direktur PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) Handaka Santosa mengatakan pusat perbelanjaan SOGO juga mengalami penurunan sekitar 10%. “Itu artinya kami memberikan gimmick promosi untuk membuat customer tertarik untuk berbelanja," ujar Handaka.
Fenomena Tiongkok
Sementara Indonesia baru mulai terjangkit, Tiongkok telah menghadapi virus corona sejak pergantian tahun. Berikut gambaran penyebaran virus corona di Tiongkok dan negara-negara lain:
Firma konsultan manajemen Bain & Company mencatat, saat terjadi pandemi, konsumen cenderung membeli barang-barang kebutuhan pokok dalam jumlah besar. Sebaliknya, pembelian produk fesyen, kosmetik, elektronik, dan barang mewah merosot 60-95% selama masa isolasi.
Selain itu, konsumen juga banyak yang beralih ke e-commerce. JD.com misalnya, melaporkan lonjakan transaksi hingga 215% selama periode Januari-Februari 2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Secara umum, 80% konsumen Tiongkok memilih untuk berbelanja bahan pokok secara online selama pemerintah memberlakukan lockdown. Meski, hanya separuhnya yang terpenuhi karena pasokan yang terbatas.
Belanja Online
Terbatasnya pasokan barang ini juga menjadi tantangan e-commerce Indonesia. “Untuk sayur san buah saya sering belanja di Sayurbox, tapi belakangan stoknya cepat habis,” kata Kartika Candra, seorang ibu pekerja di Jakarta Selatan.
Begitu pula kenaikan transaksi pada sejumlah e-commerce terjadi secara moderat. "Sejauh ini kunjungan dan transaksi tetap tumbuh, tetapi tidak ada perubahan yang signifikan juga," kata Public Relation Lead Shopee Aditya Maulana, Senin (16/3).
(Baca: Bisnis Otomotif Terdampak Corona, Penjualan Mobil Februari Turun 2,7%)
Hal yang sama juga terjadi pada Bukalapak. Head of Corporate Communications Bukalapak menuturkan kenaikan transaksi terakhir kali terjadi saat Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) pada 1 hingga 15 Desember 2019 lalu, yang mencapai 60%.
“Terkait merebaknya virus Corona, hal ini tidak membawa dampak pada bisnis Bukalapak hingga saat ini. Bisnis Bukalapak masih berjalan seperti biasa,” kata Head of Corporate Communications Bukalapak Intan Wibisono, dikutip Kontan pada Kamis (12/3) lalu.
Sementara itu, Perusahaan ekspedisi SiCepat mencatat kenaikan volume pengiriman sebesar 13%. Chief Marketing Officer SiCepat Wiwin Dewi Herawati mengatakan, antusiasme masyarakat untuk menggunakan jasa kurir pengiriman barang semakin tinggi seiring bertambahnya kasus virus Corona di Indonesia.
"Bisa jadi ini dampak dari transaksi yang dilakukan secara online karena kalau dilihat sekarang betul-betul masyarakat tidak disarankan untuk keluar dari rumah atau ke tempat yang ramai seperti supermarket," ujarnya.
Reporter: Nobertus Mario Baskoro