Sepasang kakek-nenek menari riang. Sesekali mereka berputar. Mengikuti gerak para penari di panggung yang menampilkan tarian tradisional Uighur. Dingin yang menusuk di tengah hujan salju, tak membuat suasana Xinjiang International Grand Bazaar pada Sabtu siang itu menjadi murung.

Tak ada pula kecemasan dan suasana kegentingan yang mencekam. Sebagian besar pelancong sibuk berbelanja, sementara sebagian lainnya asyik menyantap berbagai hidangan khas Xinjiang atau sekadar memanjakan mata menikmati pernak-pernik multi-etnik di sepanjang koridor.

Tari-tarian di Grand Bazaar
Tari-tarian di Grand Bazaar (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Suasana ini pula yang dirasakan oleh Iman Brotoseno, seorang blogger dan sutradara film, ketika mengisahkan pengalamannya selama dua pekan berkeliling di Xinjiang. Ia menjelajah dari selatan hingga ujung utara yang berbatasan dengan Mongolia dan Kazakhstan, dengan naik bus dan kereta melewati gurun pasir, padang rumput dan pegunungan batu yang tandus.

Ia pun melihat dari dekat perkampungan etnis Tartar dan mengunjungi keluarga muslim Kazakh yang beternak Unta di luar kota Hami—sekitar 500 kilometer dari Urumqi—sambil menjalani ibadah puasa di sana.

“Tampaknya kehidupan mereka sebagai muslim baik-baik saja,” ujarnya dalam tulisannya yang dipublikasikan sekitar 2,5 tahun lalu. “Saya sama sekali tidak melihat orang-orang partai Komunis yang diberitakan media asing, selalu ada di setiap rumah untuk mencegah ibadah puasa warga Xinjiang.”

Grand Bazaar di Urumqi
Keluarga wisatawan berfoto di Grand Bazaar International, Urumqi, Xinjiang. (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Kesan serupa diungkapkan oleh Ahmad Syaifuddin Zuhri, mahasiswa doktoral Hubungan Internasional Central China Normal University (CCNU), yang juga Wakil Rois Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok.

Dalam tulisannya di Detik.com, 6 Desember lalu, ia menceritakan pengalamannya di hari raya Idul Adha ketika mengunjungi Masjid Id Kah di kota Kasghar, sebuah kota kuno di wilayah Xinjiang yang berbatan langsung dengan Kazakhstan.

Masjid ini dibangun pada 1442 Masehi dan merupakan yang terbesar di daratan Tiongkok. Tragisnya, masjid ini pun menjadi saksi dari kebrutalan gerakan ekstrimis separatis yang menginginkan kemerdekaan Xinjiang dari Tiongkok.

Di bangunan suci inilah, Imam Juma Thahir, salah satu ulama moderat dan kharismatik yang menolak gerakan tersebut, dibunuh seusai shalat subuh pada 30 Juli 2014. Pelakunya disebut-sebut sekelompok pemuda yang terafiliasi dengan gerakan ekstremis separatis setempat, the East Turkestan Islamic Movement (ETIM).

Bagi masyarakat setempat, Idul Adha merupakan hari sangat istimewa. Sebagai penghargaan terhadap warga Muslim, pemerintah lokal memberlakukan hari libur selama tiga hari. Jalan tol pun digratiskan di seluruh wilayah itu

Melihat berbagai fakta itu, Zuhri termasuk yang menyangsikan berita ihwal pembantaian atau genosida terhadap kalangan Muslim di Tiongkok. Menurut hasil penelusurannya di Negeri Seribu Naga ini, banyak pula foto dan video yang bertebaran di media sosial ternyata hoaks.

Foto dan video palsu itu terserak di Baidu, mesin pencari terbesar di Tiongkok, dan tak ada hubungannya dengan Uighur. Sebagian besar adalah foto berita kriminal di daerah lain di Tiongkok.

Grand Bazaar di Urumqi
Grand Bazaar di Urumqi (Katadata/Metta Dharmasaputra)

Keraguan Zuhri diperkuat oleh tulisan Irfan Ilmie di buku “Islam, Indonesia dan Cina” terbitan PCINU Tiongkok pada 2019, yang dikutipnya dalam tulisan.

Di situ, Irfan menyitir pernyataan Gubernur Xinjiang, Shohrat, yang mengatakan, "Kalau jumlah orang Uighur di sini 10 juta, maka kehilangan satu juta (karena masuk kamp seperti ramai diberitakan), tentu membuat situasi Xinjiang tidak seperti ini.”

Irfan Ilmie termasuk salah seorang yang diundang khusus bersama sejumlah jurnalis asing berkunjung ke tiga dari 19 kamp vokasi. Ia melihat langsung situasi kamp di Kashgar dan Hotan, dua daerah paling selatan Xinjiang.

Begitulah, fakta dan cerita tentang Xinjiang masih datang silih berganti dengan beragam versi. Itu sebabnya, suara dunia pun terbelah.

Ketika 22 delegasi dari Uni Eropa, termasuk Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Kanada, meneken surat yang memprotes kamp penahanan Tiongkok di Xinjiang, balasan langsung datang dari sejumlah negara lainnya.

Seperti dilaporkan oleh Channel News Asia pada 13 Juli lalu, Duta Besar untuk PBB dari 37 negara, termasuk Rusia, Arab Saudi, Nigeria, Aljazair, dan Korea Utara menulis surat yang justru membela perlakuan Tiongkok atas Muslim Uighur di Xinjiang.

(Baca: Tiongkok Bakal Larang Penggunaan Teknologi Asing di Kantor Pemerintah)

Halaman:
Editor: Redaksi

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami