(Baca: Dukungan Ma’ruf Amin Agar Bank Muamalat Tetap Beroperasi)

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan persoalan menahun Muamalat terjadi karena kualitas asetnya yang terus turun. “Fungsi intermediasinya tidak berjalan optimal,” kata Pieter. Pertumbuhan penyaluran pembiayaan atau kredit yang seharusnya menjadi sumber keuntungan terus melambat sementara rasio kredit bermasalahnya naik.

Untuk mengatasi masalah ini memang butuh suntikan modal besar. Tapi Muamalat juga perlu perubahan total konsep bisnis, strategi hingga sumber daya manusianya.

Soal konsep bisnis, sejak bank ini berdiri memang kerap timbul persoalan. Muamalat merupakan bank yang berdiri atas inisiatif Majelis Ulama Indonesia pada pertengahan 1990. Usul ini muncul ketika MUI mengadakan lokakarya bertajuk Masalah Bunga Bank dan Perbankan.

Lembaga itu kemudian merangkul Bacharuddin Jusuf Habibie, yang dekat dengan Presiden Soeharto dan memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Presiden yang kala itu ingin merangkul kelompok-kelompok Islam pun menyetujui. Muamalat mulai beroperasi pada 1 November 1991.

Kekuatan politik membuat bank ini bertumbuh pesat. Bahkan pemerintahan Orde Baru sampai mengimbau jemaah yang ibadah haji untuk membeli saham Muamalat setidaknya 10 lembar saham senilai Rp 10 ribu.

Namun, saat krisis ekonomi terjadi dan Soeharto lengser, bank berkode efek BBMI ini ikut terseret. Rasio pembiayaan macetnya mencapai 60%. Perusahaan merugi Rp 105 miliar. Ekuitasnya mencapai titik terendah, Rp 39,3 miliar, kurang dari sepertiga modal setor awal.

(Baca: Bank Muamalat Salurkan Kredit Rp 300 M Untuk Proyek Tol di Kaltim)

Islamic Development Bank kemudian membantu permodalan Muamalat. Pada 1999 lembaga itu resmi menjadi salah satu pemegang sahamnya. Muamalat bangkit dan selamat dari krisis.

Tapi masalah yang sama kembali datang ke Muamalat. Kurangnya modal dan tingginya kredit macet membuat kesehatannya kembali di ujung tanduk. Sejak 2017 beberapa investor sudah meliriknya tapi tidak ada yang berhasil menyelamatkannya.

Kantor Bank Muamalat
Bank Muamalat saat ini mengalami kondisi keuangan yang memburuk. Beberapa investor, termasuk bank BUMN, dikabarkan akan membantu bank syariah pertama di Indonesia itu. (Arief Kamaludin | Katadata)

Siapa yang Berminat Jadi Investor Bank Muamalat?

PT Minna Padi Investama Tbk sempat menyatakan siap menyuntikkan modal sebesar Rp 4,5 triliun. Tapi OJK tidak memberi restu meskipun perusahaan sudah menyetor Rp 1,7 triliun ke rekening penampung atau escrow account.

Dalam rencana itu, Minna Padi hanya sebagai alat bagi sejumlah investor yang ingin membeli Muamalat. Salah satu investor tersebut adalah Ilham Habibie, anak sulung BJ Habibie. Saat ini Ilham menjabat sebagai komisaris utama Muamalat.

Sempat pula konsorsium bank BUMN dikabarkan menjadi pembeli Muamalat. Namun, hal itu pun terbantahkan karena sepertinya pemerintah tidak ingin penyelamatan serupa terjadi untuk bank swasta lainnya.

Lalu, perusahaan Lynx Asia sempat disebut akan menjadi pemodal Bank Muamalat. Namun, skema tukar guling aset atau asset swap yang ditawarkan mendapat penolakan OJK.

Lynx Asia menawarkan untuk menukar aset buruk Muamalat dengan obligasi non-tradeable. Surat utang ini ditawarkan dengan tidak memberikan kupon sehingga bank tidak mendapatkan hasil dari penerbitan obligasi tersebut.

(Baca: Perkuat Modal, Bank Muamalat Terbitkan Saham Baru Rp 2 Triliun)

Taipan Dato Sri Tahir pernah pula diisukan akan membantu Muamalat. Bos Grup Mayapada itu akan menjadi calon investor strategis bersama dengan konsorsium yang dipimpin Ilham Habibie. Konsorsium itu terdiri dari Lynx Asia, SGG Group, dan pengusaha Arifin Panigoro.

Tapi, lagi-lagi, rencana itu pun kandas di tengah jalan. Terakhir, pada awal 2019, Ilham kembali datang dengan kendaraan baru bernama Al Falah Investments Pte Ltd.

Dalam rencananya, Al Falah bersama SSG Group, perusahaan investasi asal Hong Kong, akan menjadi pembeli siaga Muamalat senilai Rp 2 triliun melalui skema hak memesan efek terlebih dahulu atau rights issue. Nilai ini setara dengan 50,3% saham Muamalat.

Namun, rencana rights issue itu sudah tiga kali tertunda tertunda sejak Desember 2017. Penundaan terakhir terjadi pada Juli lalu karena Muamalat memerlukan audit ulang laporan keuangannya.

Baru-baru ini, Muamalat kembali mengatakan akan melanjutkan aksi korporasi itu. Sebanyak 20 lembar saham baru akan perusahaan terbitkan dengan nilai Rp 2,2 triliun. Perusahaan akan meminta persetujuan rights issue itu melalui rapat umum pemegang saham pada 16 Desember nanti.

Ilham saat ditemui awak media pada Selasa lalu mengatakan saat ini proses penyelamatan Muamalat tinggal masalah izin dari OJK saja yang belum tuntas. “Bukan soal uang. Uang sudah ada di depan mata,” katanya di Kantor Wakil Presiden, Jakarta.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement