Ramdani dalam konferesi pers pengunduran dirinya pada Senin lalu sempat mengatakan utang Sriwijaya ke GMF AeroAsia saat ini mencapai Rp 800 miliar. Ketika memutuskan kerja sama manajemen dengan Garuda, utang ini ia prediksi berpotensi macet.

(Baca: Pendapatan Naik dan Efisiensi, Semester I Garuda Raih Laba Rp 339 M)

Siapa Untung dari Kerja Sama Garuda-Sriwijaya?

Pulihnya kerja sama manajemen ini tentu menjadi momen bagi Sriwijaya Air Group untuk memperbaiki kondisi keuangannya. “Kondisinya sedang sakit, jadi mau disembuhkan dulu, ya harus nurut,” kata pengamat penerbangan Arista Indonesian Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati seperti dikutip dari Antara.

Angka utang yang lebih Rp 2 triliun itu memang sudah menjadi tanda bahaya. Apalagi ternyata ketika melepaskan diri dari Garuda, Sriwijaya langsung dinyatakan tidak laik terbang.

Ketika itu Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan sempat mencatat dari 30 pesawat yang dimiliki Sriwijaya, 18 pesawat langsung kena grounded. Dengan 12 pesawat tersisa, frekuensi penerbangannya pun anjlok dari 120 penerbangan rata-rata per hari menjadi hanya 72 penerbangan.

Kurangnya suku cadang dan ketersediaan mekanik menyebabkan pesawat Sriwijaya Air dan NAM Air terbengkalai. “Belum lagi ada pencopotan logo Garuda di badan pesawat Sriwijaya. Itu juga membuat masyarakat khawatir,” kata Arista.

Namun, di sisi lain Garuda juga berkepentingan mengambil alih operasional Sriwijaya. Pasalnya, sejak kerja sama manajemen berjalan, pangsa pasarnya naik dari 33% menjadi 46%.

Seperti terlihat dari grafik Databoks berikut ini, Garuda menjadi maskapai penerbangan dengan pangsa pasar terbesar kedua di Indonesia. Posisi Lion Air belum terkalahkan sebagai pemimpin pasar.

Di sisi lain, pengambilalihan operasional Sriwijaya tersebut membuat kompetitor di dunia aviasi berkurang. Yang tersisa adalah Garuda dan Lion. Gara-gara itu, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha menduga kerja sama manajemen tersebut melanggar aturan persaingan usaha yang sehat.

Komisioner KPPU Guntur Saragih sebelumnya mengatakan KSM merupakan salah satu rangkaian kartel harga tiket pesawat oleh Garuda dan Lion. Pasalnya, kartel tidak akan efektif kalau pelaku usaha lainnya tidak ikut dalam kongkalikong tersebut, dalam hal Sriwijaya dan AirAsia.

Jika tidak ikut menaikkan harga tiket pesawat, maka kemungkinan konsumen akan berpindah ke Sriwijaya dan AirAsia. Namun, Sriwijaya saat ini dikendalikan oleh Garuda Indonesia. Sementara, AirAsia diboikot oleh beberapa travel agen.

Salah satu yang sempat ramai adalah pemboikotan tiket AirAsia di platform Traveloka. “Jadi, sempurna kartelnya. Ke mana konsumen harus beralih? Jadi, ini satu rangkaian dugaan pelanggaran di maskapai,” ucap Guntur pada 11 September lalu.

(Baca: Tiket Mahal, Antara Dugaan Kartel dan Penyelamatan Maskapai)

Herfindhal-Hirschman Index (HHI), indikator konsentrasi pasar maskapai penerbangan, menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 858 poin pada 2018 menjadi 4.624 poin. Pada 2017, nilai HHI maskapai penerbangan Indonesia berada di level 3.766 poin. 

Penambahan nilai HHI ini disebabkan adanya pengambilalihan operasional maskapai Sriwijaya Group oleh Garuda Indonesia Grup. Nilai HHI yang semakin tinggi menunjukkan pasar maskapai Indonesia semakin terkonsentrasi menjadi duopoli.

Menurut Peneliti Indef Nailul Huda, pengambilalihan Sriwijaya telah mengurangi potensi perusahaan penerbangan lainnya untuk bersaing dengan dua maskapai besar lain, yaitu Garuda dan Lion.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement