Selain itu, Dewi juga mempersoalkan adanya ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran. Ada ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan dalam Pasal 94 RUU Pertanahan.

"Itu pasal-pasal karet yang berpotensi mempidanakan petani, masyarakat adat, dan masyarakat di pedesaan," ucapnya.

Padahal menurut catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria, konflik agraria sebagian besar dipicu oleh kebijakan pejabat publik. Sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik itu adalah perkebunan.

Pada 2018, 60% dari 144 konflik agrarian di sektor perkebunan timbul pada komoditas kelapa swait. Praktik pembangunan dan ekspansi perkebunan di Indonesia pada kenyataannya banyak melanggar hak masyarakat atas tanah.

Dari grafik Databoks di bawah ini, pada 2017 terdapat 659 konflik agrarian. Hal ini merupakan angka tertinggi selama lima tahun terakhir.

(Baca: RUU Pertanahan Dinilai Tak Berpihak ke Petani dan Masyarakat Adat)

RUU Pertanahan Belum Sentuh Konflik Agraria

Dengan kondisi itu, banyak pihak menilai RUU Pertanahan hanya bertujuan mendorong investasi semata. Ketua Majelis Nasional Konfederasi Serikat Nasional Joko Purwanto mengatakan pemerintah hanya memfasilitasi perpanjangan hak guna usaha.

“Sejak awal kami lihat apa yang dibicarakan oleh rezim Jokowi lebih memfasilitasi investasi seluas-luasnya,” kata Joko.

Manajer Pengelolaan Pengetahuan Wahana Lingkungan Widup Indonesia (Walhi) Doni Moidady berpendapat RUU itu dapat menimbulkan bencana ekologis. Berbagai pasal di dalam RUU Pertanahan membuka peluang korporasi untuk memiliki lahan.

Sementara, selama ini korporasi terbukti kerap melakukan kegiatan yang berbahaya bagi lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sedang terjadi di Sumatera dan Kalimantan salah satu contohnya. “Implikasinya, banyak perusahaan besar nanti akan membakar lahan,” ucap Doni.

Terbatasnya tanah bagi masyarakat juga akan membuat kesenjangan kepemilikan lahan antar laki-laki dan perempuan semakin besar. Mengutip data Badan Pertanahan Nasional, hanya sekitar 24,2% lahan saat ini terdaftar atas nama perempuan.

(Baca: Jokowi-JK Dinilai Gagal Realisasikan Agenda Reforma Agraria)

Ombudsman Republik Indonesia sebelumnya meminta pembahasan RUU Pertanahan dihentikan karena belum mengakomodir konflik-konflik agraria. "Konflik-konflik terkait pertanahan ini masih kerap terjadi. Apakah UU ini bisa mereduksi konflik-konflik yang ada?" kata Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih pada 9 September lalu.

Menurut data Ombudsman, selama 2015-2019 jumlah kasus pertanahan yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada lembaga tersebut, yakni 4.806 kasus.

Kasus maladministrasi proses Sertifikat Hak Milik (SHM) menempati laporan terbanyak periode Januari-Juni 2019 dengan 128 laporan. Kasus terbanyak kedua adalah penerbitan sertifikat (96 laporan) dan ganti rugi pembebasan tanah (46 laporan).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement