Kedelapan, beberapa kewenangan strategis penuntutan dihilangkan. Misalnya, soal pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, dan meminta bantuan Polri serta Interpol.

Terakhir, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) dipangkas. Padahal, selama ini KPK telah membangun sistem dan menemukan sejumlah ketidakpatuahn pelaporan harta kekayaan di sejumlah institusi negara.

(Baca: Gerakan Senyap Pelumpuhan KPK di Ujung Masa Kerja DPR)

Revisi di Tengah Seleksi Pimpinan KPK

KPK -- mengutip dari kalimat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD -- adalah anak kandung reformasi yang paling berhasil melaksanakan tugas dalam memberantas korupsi. Perkataan yang ia ucapkan pada 2015 itu rasanya masih relevan.

Rasanya memang sulit menemukan lembaga negara yang menangani 1.064 perkara korupsi dalam waktu 16 tahun. Jumlah ini terhitung sejak KPK efektif bertugas pada 2003.

Sejak 2002-2018, KPK berhasil menangkap 247 pelaku tindak pidana korupsi (TPK) yang berprofesi sebagai anggota DPR dan DPRD. Dari grafik Databoks berikut ini terlihat pekerjaan ini merupakan yang terbanyak terkena ciduk KPK dibanding yang lainnya. Terbanyak kedua berasal dari sektor swasta.

Pada 2018, KPK juga telah menyetorkan Rp 516,6 miliar sebagai bagian dari penyelamatan uang negara yang masuk dalam realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Angka ini naik 167,3% dibandingkan tahun sebelumnya.

Secara rinci, PNBP terbesar berasal dari sitaan tindak pidana korupsi (TPK) sebesar Rp 323 miliar atau naik 508,3% dibandingkan 2017. Lalu diikuti oleh uang pengganti TPK sebesar Rp 109,7 miliar dan pos penjualan hasil lelang tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar RP 43,4 miliar.

Mahfud dalam cuitan di akun Twitternya hari ini sempat menyinggung soal revisi UU KPK yang terkesan mendadak. “Mengapa pembahasannya tidak menunggu DPR baru yang hanya tiga minggu lagi akan dilantik,” katanya.

Dalam prosedur normal, sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, setiap RUU yang akan dibahas, dimasukkan dulu dalam Prolegnas. Penetapan program legislasi nasional ini biasanya dilakukan pemerintah dan DPR pada akhir Oktober atau awal November.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menangkap adanya kepentingan senyap partai politik merevisi undang-undang ini tanpa berkonsultasi dulu dengan publik. Dugaannya, revisi hanya menjadi alat transaksi partai politik menjelang pergantian anggota DPR. “Ini membuat masa depan demokrasi kita suram,” kata Lucius.

(Baca: DPR Mulai Proses Seleksi dan Pemilihan 10 Capim KPK Pekan Depan)

Yang lebih mengkhawatirkan lagi momen revisi UU ini terjadi di saat DPR juga sedang melakukan pemilihan calon pemimpin KPK. Komisi III DPR bahkan secara terang-terangan mengatakan akan memilih calon pimpinan KPK yang sesuai dengan RUU KPK.

“Diharapkan nanti pimpinan KPK baru bekerja dengan UU baru hasil revisi itu,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/9).

Proses seleksi pimpinan KPK pun sekarang sedang dalam sorotan. Beberapa nama-nama aparat yang lolos tahap seleksi mendapat kritik. Salah satunya, Inspektur Jenderal Polisi Firli Bahuri.

Sebanyak 500 pegawai KPK merasa keberatan dengan Firli dan mewanti-wanti kepada Tim Panitia Seleksi (Pansel) untuk lebih selektif. Firli diduga berulang kali bertemu dengan sejumlah nama yang terlibat dalam kasus yang sedang ditangani KPK.

Restu Jokowi untuk 10 Capim KPK
Restu Jokowi untuk 10 Capim KPK (Katadata)

DPR hakulyakin pembahasan RUU ini akan rampung pada periode keanggotaan dewan legislatif sekarang atau sebelum Oktober 2019. Arsul menyebut ada enam inisiator atau pengusul revisi UU KPK.

Keenam orang ini berada di Baleg dan berasal dari lintas fraksi di DPR. Namun, ia enggan menyebutkan nama-nama pengusul perubahan payung hukum KPK itu. Tak etis, begitu alasannya.

Sepuluh fraksi yang ada di Baleg DPR yakni PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, Demokrat, PKS, PAN, dan Gerindra. “Kalau pengusulnya ada enam berarti maksimal ada enam fraksi,” katanya.

(Baca: DPR Menolak Didikte dalam Proses Revisi UU KPK)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement