Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) batal dibahas dalam rapat paripurna DPR, Selasa (3/9). Padahal, dua pekan sebelumnya, draf RUU ini sudah final disetujui oleh pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) DPR, tinggal disahkan di rapat paripurna. RUU ini pun sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sejak tahun lalu.
Wakil Ketua DPR Utut Adianto yang memimpin sidang paripurna, mengatakan sejumlah persiapan teknis masih dibutuhkan sebelum draft RUU SDA diputuskan menjadi UU. "Kami mohon persetujuan dewan, pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan terhadap RUU tentang SDA dapat diagendakan kembali dalam rapat paripurna terdekat," ujarnya dalam rapat tersebut di Gedung DPR.
Pembahasan RUU SDA memang cukup alot. Setelah UU SDA Nomor 7 Tahun 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015, DPR dan pemerintah merasa perlu adanya UU SDA yang baru. DPR pun menginisiasi pembahasan RUU SDA yang baru pada 2017.
(Baca: Pengusaha Keluhkan Pembatasan Penggunaan Air dalam RUU SDA)
Awalnya, RUU ini mengakomodasi beberapa poin yang menjadi rekomendasi MK saat memutuskan pembatalan UU SDA yang lama. Namun, para pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) protes karena RUU tersebut dapat mematikan industrinya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan dalam draft RUU SDA disebutkan bahwa izin pengusahaan air minum, termasuk dalam kemasan (AMDK) diberikan kepada BUMN dan BUMD. Swasta yang selama ini sudah berbisnis AMDK tidak disebutkan dalam draft tersebut. Padahal,industri ini sudah banyak menyumbang perekonomian Indonesia.
Data Aspadin menunjukan saat ini bisnis air minum kemasan mampu menyerap 50 ribu tenaga kerja langsung di 900 perusahaan. Industri ini menyumbang 3,3 persen produk domestik bruto (PDB) serta melibatkan 250 ribu tenaga kerja tidak langsung melalui rantai pasoknya (distribusi). Adapun sejumlah merek AMDK yang diproduksi di Indonesia antara lain Aqua, Pure Life, Ades, Vit, Oasis, Prim-a, Le Minerale, dan merek lainnya.
“Jika AMDK swasta dilarang menggunakan air sebagai bahan baku, bisa mematikan ratusan pelaku usaha dan ribuan tenaga kerja serta menghilangkan kepercayaan investor dan kepastian berusaha di Indonesia," ujarnya, dalam acara Diskusi Publik di Kantor PBNU, Jakarta, akhir Juli lalu.
(Baca: Bappenas: Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Krisis Air Bersih)
Pengusaha AMDK Keberatan
Ada tiga pasal dalam draf RUU SDA yang dinilai memberatkan pengusaha. Pertama, mengenai persyaratan izin dalam pasal 47 yang bisa mematikan bisnis air minum. Pasal ini mewajibkan perusahaan terlibat dalam bank garansi yang besarannya sesuai dengan volume penggunaan air. Pengusaha juga harus memberikan alokasi 10 persen dari laba bersih. Alokasi ini nantinya bakal digunakan untuk melakukan konservasi mata air.
Kedua, pasal 51 ayat 1 yang menyebut air minum dalam kemasan disamakan dengan air pipa. Dengan ketentuan ini, bisnis air minum hanya bisa dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. Ketiga, pasal 63 yang menyebut sumber air dapat dibuka untuk masyarakat mengambil air secara bebas.
Pasal-pasal dalam draf RUU SDA ini dinilai mengancam keberadaan industri AMDK yang sudah ada hingga sekarang. Pengusaha menilai AMDK seharusnya dikeluarkan dari RUU SDA. Karena AMDK termasuk industri makanan dan minuman, bukan air bersih untuk kebutuhan masyarakat memasak, mandi, dan mencuci.
(Baca: Keberatan RUU SDA, Pengusaha Air Minum Swasta Akan Surati Jokowi)
Menjawab kekhawatiran pengusaha AMDK, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono memastikan peran swasta dalam pengelolaan air minum akan tetap ada dalam RUU SDA. Dia juga memastikan pengelolaan industri AMDK, swasta tidak perlu bekerja sama dengan BUMN atau BUMD. Karena yang diatur dalam RUU SDA terkait sistem pengolahan air minum. Sementara untuk AMDK akan diatur dalam aturan yang terpisah.
“Pengaturan AMDK tidak disamakan dengan pengelolaan air berbasis SPAM. Kalau industri itu izinnya pemakaian air biasa, SIPA (Surat Izin Pengambilan Tanah),” ujar Basuki di acara CNBC Indonesia Conference Water Security and Sustainability, beberapa waktu lalu.
Menurut Basuki, naskah akhir RUU SDA sudah sesuai dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah setelah UU SDA tahun 2004 dibatalkan oleh MK. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 121 tentang pengusahaan sumber daya air dan PP Nomor 122 Tahun 2015 tentang SPAM.
Dalam PP 121/2015 disebutkan pemerintah bisa memberikan izin pemanfaatan sumber daya air kepada swasta, khususnya industri AMDK. Namun, pemanfaatannya diprioritaskan terlebih dahulu untuk kebutuhan pokok masyarakat dan irigasi. Setelah semuanya terpenuhi, barulah swasta bisa memanfaatkannya.
Selain industri AMDK, Basuki juga mengatakan pelibatan swasta tetap ada dalam SPAM. Alasannya, pemerintah tidak bisa sendirian dalam memenuhi kebutuhan air bersih semua masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Badan Peningkatan Penyelenggaraan Sistem penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Kementerian PUPR, hingga kini pemerintah baru bisa memenuhi 70 persen kebutuhan air bersih.
Keterbatasan dalam hal pembiayaan menjadi kendala utamanya. Untuk membangun 10 juta sambungan pipa air bersih saja dibutuhkan investasi Rp 150 triliun. Belum lagi banyak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang bisnisnya tidak sehat. Hingga tahun lalu, jumlah PDAM tercatat sebanyak 391 perusahaan. Dari jumlah tersebut, 223 PDAM berkinerja sehat, 99 PDAM kurang sehat, 52 PDAM sakit, dan 17 PDAM yang belum dinilai kinerjanya karena berbagai persoalan.
Panja RUU SDA juga memastikan swasta tetap diperbolehkan mengelola industri AMDK. DPR memikirkan hak rakyat untuk air minum itu yang utama. Tapi industri juga membutuhkan air. Investor yang akan masuk ke Indonesia juga akan berpikir panjang jika ingin berinvestasi di Tanah Air. "Soal AMDK sudah tidak ada lagi masalah. Swasta tentu saja boleh mengelolanya, tidak ada yang berubah," kata Ketua Panja RUU SDA DPR Lazarus.
Masih Ada Penolakan
Kepala Riset Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHa) Sigit Budiono menilai perubahan sejumlah pasal dalam rancangan beleid membuka ruang swasta melakukan komersialisasi atas air. Dia juga mengkritik dikeluarkannya AMDK dari produk air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, tanpa adanya pembatasan.
Menurutnya, pengusaha AMDK bisa mendapat izin pengusahaan air tanpa ada mekanisme kontrol yang jelas. Padahal, volume air yang digunakan perusahaan-perusahaan tersebut sangat besar dan margin keuntungan yang didapat dari bisnis ini bisa mencapai dua kali lipat. "AMDK juga harus segera diatur, mereka kan teriak-teriak terus menolak UU ini, tapi tidak ada aturan pembatasannya,” ujarnya.
(Baca: Pengusaha Keluhkan Pembatasan Penggunaan Air dalam RUU SDA)
KruHa juga meminta pengesahan RUU SDA menjadi UU ditunda. Koalisi menilai substansi RUU Sumber Daya Air banyak mengulang kesalahan seperti dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA. UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 karena bertentangan dengan konstitusi.
"Kami meminta RUU ini ditunda pembahasannya sampai masa sidang DPR periode berikutnya," kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, mewakili Koalisi dalam jumpa pers Koalisi di Jakarta hari ini, Minggu (1/9).
Menurutnya, naskah akademik RUU SDA yang tengah dibahas DPR periode 2014-2019 tersebut punya semangat membuka akses bagi swasta dalam mengkomersialisasikan air. Pembahasan RUU pada masa transisi DPR saat ini akan mengorbankan keterlibatan publik. Dia pun khawatir DPR tidak substansial dalam merancang RUU ini.
MK Membatalkan UU SDA Tahun 2004
Pada 2015, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pembatalan ini merespons gugatan yang diajukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah masyarakat dan para tokoh.
UU ini dinilai melanggar UUD 1945, karena membebaskan swasta mengelola sumber daya air untuk kepentingan bisnis. Sejumlah pasal dalam UU tersebut membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA yang merugikan masyarakat sebagai pengguna air.
Dengan dibatalkannya UU SDA, MK menghidupkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Tujuannya untuk mencegah kekosongan hukum, hingga adanya pembentukkan undang-undang baru. Makanya, kini DPR tengah menggodok RUU SDA yang baru. Targetnya UU SDA yang baru akan disahkan bulan depan.
Setidaknya ada lima poin yang ditegaskan MK dalam hal pembatasan pengelolaan air. Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Soalnya, selain dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Hal ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Ketiga, pengelolaan air pun harus memperhatikan kelestarian lingkungan.
Keempat, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, pengelolaan air harus berada dalam pengawasan dan pengendalian negara secara mutlak. Ini telah diatur dalam Pasal 33 ayat 2 UUD 1945. Kelima, hak pengelolaan air mutlak milik negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD.
(Baca: Pemerintah dan DPR Sepakat Batasi Swasta Berbisnis Air Minum)
Pada 2017, DPR mulai menginisiasi pembahasan Rancangan Undang-Undang SDA yang baru. Bahkan, tahun lalu pembahasan RUU SDA menjadi prioritas utama dalam Prolegnas 2018. Namun, pembahasannya alot dan belum bisa dirampungkan. Kini, Komisi V DPR dan pemerintah telah menyetujui naskah RUU ini dan tinggal menunggu pengesahan dalam sidang paripurna, sebelum periode DPR sekarang berakhir bulan depan.