PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) telah resmi mengambil alih 51,2% saham PT Freeport Indonesia akhir tahun lalu. Tugas besar menanti induk perusahaan BUMN sektor pertambangan pascatransaksi tersebut, terutama pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) yang telah diwajibkan Undang-Undang (UU) Mineral dan Batu Bara Tahun 2009.

Selama ini pembangunan smelter Freeport Indonesia seperti jalan di tempat. Pembangunan fisiknya belum dilakukan, bahkan lokasinya pun belum ditetapkan.

Dua bulan setelah Indonesia resmi menguasai mayoritas perusahaan tambang Amerika Serikat ini, masa berlaku izin ekspor Freeport Indonesia habis. Salah satu syarat yang ditetapkan pemerintah agar perusahaan ini bisa memperpanjang izin ekspornya adalah pembangunan smelter. Bulan ini Freeport Indonesia harus bisa memberikan kepastian kapan dan di mana smelter akan dibangun.

(Baca: Kementerian ESDM Targetkan Groundbreaking Smelter Freeport Awal 2019)

Selama ini pemerintah terlihat kurang tegas dalam menjalankan amanat UU Minerba yang mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter mulai 2014. Freeport selalu mendapatkan izin ekspor, meski dalam empat tahun terakhir belum juga ada pembangunan fisik smelter.

Kini kondisinya berbeda, pemerintah melalui Inalum sudah menjadi pemegang saham mayoritas. Seharusnya pemerintah bisa lebih mudah mendorong realisasi pembangunan smelter Freeport.  

Hingga akhir tahun lalu, progres pembangunan smelter tersebut baru mencapai 2,5%. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai, perkembangan ini masih sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Targetnya, proses konstruksi akan selesai dan smelter bisa beroperasi pada 2023.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan Freeport Indonesia sudah menyampaikan surat permohonan untuk mendapatkan perpanjangan izin ekspor. Dalam surat ini Freeport juga menyampaikan rencananya membangun smelter. "Kalau tidak salah, lokasinya di Gresik, Kawasan Industri Terpadu Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE)," ujarnya di Jakarta, Kamis (24/1).

(Baca: Kementerian ESDM Pastikan Smelter Freeport Dibangun di Gresik)

Hal ini pun diperkuat dengan pernyataan Freeport Indonesia. "Iya, rencana pembangunan smelter sudah kami masukkan di Gresik," kata Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas, di Jakarta, Jumat (1/2). Namun, dia tidak menyebutkan kapan pembangunan smelter akan masuk tahap konstruksi.

Namun, pada kenyataannya penetapan lokasi pembangunan smelter Freeport Indonesia belum ada keputusan yang final. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno mengatakan masih ada tiga opsi lokasi smelter yang akan dibangun Freeport Indonesia. Ketiganya berada di Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur.

Hingga kini Freeport Indonesia masih mengkaji tiga lokasi tersebut. Memang saat ini Freeport Indonesia tengah mempersiapkan smelter tersebut di Gresik. Akan tetapi, masih ada pertimbangan lain dari sisi sumber energi, jarak dari tambang sumber tambang di Papua, dan kapasitas smelter. Apalagi ada pesan khusus dari Menteri BUMN Rini Soemarno untuk mengkaji kembali soal pemilihan lokasi ini.

(Baca: Lokasi Smelter Freeport Belum Jelas, Ada Tiga Opsi yang Dikaji)

Menurut Rini, smelter membutuhkan pasokan listrik yang besar. Makanya, lokasi yang dipilih harus memiliki ketersediaan cadangan listrik yang besar pula. Salah satu opsi sumber listrik itu dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yang dinilai lebih murah dibandingkan jenis pembangkit lainnya."Dalam waktu dekat akan diputuskan, pokoknya dalam lima tahun sudah harus jadi (smelter)," kata Fajar di Jakarta, Jumat (1/2).

 
Freeport Indonesia
Freeport Indonesia (Arief Kamaludin | Katadata)

Tak hanya soal penentuan lokasi, sumber pendanaan untuk pembangunan smelter ini pun masih belum jelas. Berdasarkan laporan kuartal IV tahun 2018 yang diterbitkan Freeport McMoran, total investasi membangun smelter tersebut yakni US$ 3 miliar atau Rp 42,2 triliun. Biaya itu akan dipikul masing-masing pemegang saham.

“Pendanaan smelter baru akan ditanggung pemegang saham PT Freeport Indonesia, sesuai dengan persentase kepemilikan saham jangka panjang masing-masing," seperti dikutip dalam laporan keuangan yang dipublikasikan bulan lalu. Inalum kebagian lebih besar, karena kepemilikannya mayoritas, yakni 51,2%. Sedangkan Freeport McMoran hanya 48,8%.

(Baca: Utang Inalum Membengkak 5 Kali Lipat Usai Akuisisi Freeport)

Namun, Inalum membantah pernyataan Freeport McMoran. Head of Corporate Communication and Government Relations Inalum Rendi Achmad Witular mengatakan perusahaannya tidak akan mengeluarkan dana untuk pembangunan smelter Freeport Indonesia. “Pendanaan untuk smelter akan diambil dari internal PT Freeport Indonesia. Jadi Inalum tidak menyetor atau mengeluarkan dana baru untuk pembuatan smelter,” ujarnya.

Sementara, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan Inalum memang harus ikut membiayai pembangunan smelter Freeport Indonesia. Inalum tak hanya mengeluarkan dana besar untuk akuisisi saham. Dalam beberapa tahun ke depan, masih akan ada investasi besar di Freeport Indonesia. Makanya berpengaruh pada pemberian dividen untuk Inalum.

"Dari sejak awal, waktu kami akan beli saham dari Freeport kan memang terkalkulasi begini, ada investment besar, salah satunya untuk smelter," kata Rini di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (30/1). (Baca juga: Bos Freeport Janji Bangun Smelter 5 Tahun dan Investasi)

Sejak berlakunya UU Minerba tahun 2009 hingga sekarang, progres pembangunan smelter bergerak lambat. Selain Freeport Indonesia, masih banyak perusahaan mineral penerima rekomendasi ekspor yang tak kunjung selesai membangun smelter. Padahal, UU Minerba mewajibkan seluruh perusahaan tambang membangun smelter di dalam negeri selambat-lambatnya pada 2014.

(Baca: Pembangunan Smelter Belasan Perusahaan Tambang 'Jalan di Tempat')

Pemerintah terkesan setengah hati menjalankan amanat UU ini. Berkali-kali pemerintah memberikan relaksasi kepada perusahaan tambang dengan terus memberikan izin ekspor. Padahal, UU Minerba sudah melarang ekspor mineral mentah mulai 2014. Namun, pemerintah terus mengulur target penyelesaian smelter hingga 2022.

Pada 2014, pemerintah sempat mewacanakan setiap perusahaan tambang menyetorkan 5% dana pembangunan smelternya di rekening khusus. Dana ini sebagai jaminan atas komitmen perusahaan membangun smelter. Namun, kebijakan ini batal dilakukan.

Saat ini pemerintah kembali mewacanakan kebijakan tersebut. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menyatakan tengah menyusun aturan yang bisa mendorong perusahaan tambang melakukan hilirisasi. Aturan ini untuk mendukung Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mewajibkan perusahaan membangun smelter.

Nantinya setiap perusahaan tambang wajib menyetorkan dana jaminan sebagai syarat mendapatkan izin ekspor. Dana ini disetorkan setiap enam bulan yang besarannya disesuaikan dengan progres pembangunan smelternya. "Jadi, setiap ekspor, perusahaan harus menyisakan uang untuk dijaminkan. Besarannya nanti ditentukan," ujarnya.

(Baca juga: Investor Wajib Setor Dana Jaminan Smelter Mineral per Enam Bulan)

Dengan aturan yang baru ini, pemerintah juga akan mengenakan sanksi. Perusahaan yang tidak bisa memenuhi 90% target progres pembangunan smelternya dalam enam bulan, akan terkena denda. Mereka harus membayar denda 20% dari total penjualannya kepada pemerintah. Selain denda, izin ekspornya juga akan dicabut hingga perusahaan tersebut bisa memenuhi target progres smelter. Jika progres sudah mencapai target dan telah dinilai oleh surveyor independen, maka pemerintah akan kembali memberikan izin ekspor.

Apabila pembangunan smelter sudah mencapai progres tertentu yang diakumulasi secara total, maka dana tersebut akan dikembalikan kepada perusahaan. "Misalnya, 75% pembangunan secara total selesai, uang jaminannya akan dikembalikan. Karena berarti kan perusahaan itu sudah sangat serius membangun smelter," kata Yunus. Namun, jika dalam waktu tertentu progres pembangunan smelternya tak kunjung mencapai target, maka uang jaminan tersebut akan menjadi milik negara.

Saat ini aturan tersebut sudah memasuki tahap finalisasi. Kementerian ESDM pun mengaku telah mengadakan konsultasi publik dan melibatkan para pengusaha tambang. Rencananya, aturan ini akan diterbitkan bulan ini.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami