Valuasi bursa saham di Indonesia dianggap murah karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah terkoreksi 7,07% sejak awal tahun. Sementara, imbal hasil (yield) obligasi rata-rata mencapai 8,29% per tahun. Berdasarkan data RTI, penurunan IHSG lebih baik dibandingkan Indeks Komposit Bursa Shanghai yang longsor 20,4% dan Indeks Strait Times Singapura yang anjlok 10,78% pada periode yang sama.

“Koreksi di pasar saham yang cukup dalam membuat valuasi IHSG dan saham menjadi menarik. Investor pun mulai kembali untuk masuk ke pasar saham dan obligasi,” kata Budi, Senin (5/11).

(Baca: Kurs Rupiah Menguat Lagi ke Level Rp 14.000 Berkat Pasar Valas Berjangka)

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan harga SUN sudah relatif murah bila dibandingkan obligasi negara lain yang kondisi fundamentalnya sama. Kondisi Indonesia yang lebih baik dari negara lain yang setara, juga menjadi faktor yang melatarbelakangi serbuan dana asing ke pasar SUN. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III sedikit di atas ekspektasi. Selain itu, pemberlakuan pasar valas berjangka Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) turut membantu menstabilkan kurs rupiah.

Menurutnya, beberapa faktor global akan turut mendorong arus masuk dana asing ke pasar modal Indonesia. Pemilihan umum paruh waktu (mid-term election) di AS memengaruhi keputusan investor dalam menanamkan dananya, terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Perhitungan kami tahun depan (pasar saham dan obligasi Indonesia) relatif lebih baik, apalagi kondisi eksternal dan domestik sudah mendukung," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (7/11). (Baca: Pertama dalam 9 Bulan, Cadangan Devisa Oktober Naik US$ 400 Juta)

Meski dana investor asing diprediksi akan terus masuk hingga tahun depan, nyatanya risiko investasi di dalam negeri meningkat. Credit Default Swap (CDS) surat berharga negara (SBN) terus merangkak naik. Kenaikan CDS mengindikasikan adanya peningkatan persepsi terhadap risiko investasi di Indonesia.

Berdasarkan data per 26 Oktober, CDS SBN tenor 5 tahun berada di posisi 159,13, nyaris dua kali lipat dari posisi awal tahun 85,32. CDS SBN untuk tenor 10 tahun berada di posisi 227,19, juga lebih tinggi dibandingkan posisi awal tahun 154,4.

Namun, David menilai CDS masih dalam posisi yang relatif baik, lantaran tidak mengalami melonjak drastis. Hal ini menopang arus masuk dana asing.  "Relatif oke dibanding ketika taper tantrum. Pada 2008, (CDS) bahkan sampai 20 persenan dan suku bunga SBN 20%," ujarnya. (Baca: Risiko Investasi Meningkat, Dana Asing Masih Mengalir Masuk)

Menurutnya, meningkatnya CDS adalah imbas kenaikan bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang memicu aliran keluar dana asing dari pasar keuangan domestik. Seiring perekonomian yang membaik, suku bunga AS berpeluang naik 100 basis poin lagi hingga tahun depan dan investor akan tertarik membenamkan modalnya ke aset dolar.

Kenaikan CDS juga dipengaruhi defisit transaksi berjalan yang menunjukkan pasokan valuta asing (valas) dari ekspor tidak mampu mengimbangi kebutuhan impor. Dampaknya, nilai tukar mata uang lebih rentan gejolak. Kenaikan CDS akibat defisit transaksi berjalan sama seperti yang terjadi di Filipina. Di sisi lain, CDS negara yang mengalami surplus transaksi berjalan seperti Malaysia dan Thailand hanya mengalami sedikit kenaikan CDS.

Arus masuk dana asing ke pasar SBN di tengah CDS yang merangkak naik, menunjukkan kepercayaan investor global terhadap kebijakan moneter BI yang konsisten mengerek bunga acuan. Ini memang perlu dilakukan merespons kenaikan bunga AS, demi memertahankan posisi CDS agar tidak melambung tinggi.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement