Pemerintah membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium, hanya dalam hitungan menit setelah harganya dinaikkan. Kabarnya, pemerintah menghadapi dilema berat. Di satu sisi, ada urgensi untuk mengamankan keuangan negara dan Pertamina serta menghadirkan sentimen positif dengan kenaikan harga BBM. Namun di sisi lain, pemerintah masih mengkhawatirkan dampak kenaikan BBM terhadap pertumbuhan dan daya beli masyarakat.
Awalnya, Rabu (10/10) sore, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan harga Premium dalam konferensi pers di lobi Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali. Harga Premium untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dinaikkan menjadi Rp 7.000 per liter, awalnya Rp 6.550 per liter. Di luar Jamali, harganya menjadi Rp 6.900 per liter dari Rp 6.450 per liter.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Luhut Binsar Pandjaitan sudah memberi sinyal bakal ada kenaikan harga tersebut. Dalam acara diskusi peluncuran CNBC Indonesia di Seminyak, Bali, Luhut menyatakan, Presiden Joko Widodo siap menaikkan harga BBM jika diperlukan. "Tinggal soal waktu dan besarannya," ujarnya saat menjawab pertanyaan pengusaha Chairul Tanjung.
Siang harinya, Pertamina lebih dulu mengumumkan kenaikan harga BBM non-subsidi jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Biosolar Non Public Service Obligation (PSO). Kenaikannya berbeda untuk setiap daerah. Untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, kenaikan berkisar antara Rp 900 per liter hingga Rp 1.550 per liter. Pertamax misalnya, naik menjadi Rp 10.400 per liter dari Rp 9.500. Sementara Pertamax Turbo naik jadi Rp 12.250 per liter dari Rp 10.700.
(Baca: Jonan: Harga BBM Premium Naik Jadi Rp 7000 Mulai Malam Ini)
Tak disangka, hanya kurang lebih setengah jam setelah konferensi pers kenaikan BBM oleh Jonan, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengumumkan, kenaikan harga BBM tersebut dibatalkan. Menurutnya, pembatalan ini merupakan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo. "Agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan Pertamina," katanya.
Informasi yang diperoleh Katadata, Presiden kabarnya sudah menyetujui rencana kenaikan harga BBM tersebut. Urgensi kenaikan harga bensin serta hitung-hitungan potensi dampak dan manfaat dari kenaikan harga BBM juga sudah beberapa kali dibahas dalam rapat terbatas kabinet. Beberapa skenario opsi kebijakan juga sempat disinggung, meski belum ada keputusan.
Urgensi utama rencana kenaikan BBM apalagi kalau bukan melambungnya harga minyak mentah dunia. Harga minyak jenis Brent misalnya, terus merambat naik sejak mencapai harga terendahnya di US$ 38 pada Maret 2016. Di penghujung tahun 2016, harganya sudah menjadi US$ 53. Pada Maret 2018, harga Brent sudah di posisi US$ 66 per barel. Dan pada Rabu (10/10) lalu, harganya sudah US$ 84 per barel atau meningkat 121% dibanding Maret 2016.
Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang telah diubah dengan Perpres No. 43/2018, bensin jenis Premium sebenarnya bukan lagi BBM yang disubsidi. Meski demikian, penetapan harganya oleh Pertamina harus tetap berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Dengan naiknya harga minyak mentah di pasar global dan melemahnya nilai tukar rupiah, selisih antara biaya produksi Premium yang ditanggung Pertamina dengan harga jual yang dipatok pemerintah semakin menganga. Konsekuensinya, pemerintah harus menaikkan harga Premium. Namun, pemerintah ragu mengambil kebijakan ini. Maklum, ini bukan langkah politik populer menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
(Baca: Arahan Presiden Harga BBM Premium Batal Naik)
Opsi lainnya adalah menambah alokasi anggaran subsidi untuk Pertamina. Wajar, perusahaan minyak pelat merah itulah yang menanggung beban subsidi. Hitungan Office of Chief Economist (OCE) Bank Mandiri, keuangan Pertamina akan tertekan sebesar Rp 2,8 triliun untuk setiap US$ 1 kenaikan harga minyak dunia. Ini belum menghitung dampak depresiasi nilai tukar. Adapun untuk setiap pelemahan kurs rupiah Rp 100 terhadap dolar AS, kerugian operasional Pertamina diperkirakan mencapai Rp 1,6 triliun.
Ekonom yang juga Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengungkapkan, reformasi subsidi energi yang ditempuh pemerintah antara lain lewat Perpres 191/2014 sebenarnya telah menuai banyak pujian dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan lembaga pemeringkat utang global.
Namun, sikap pemerintah yang memilih untuk menahan harga Premium dipandang sebagai langkah mundur ke belakang dan memiliki konsekuensi membawa sentimen negatif ke pasar finansial. Sebab, dengan kombinasi naiknya harga minyak dunia dan anjloknya kurs rupiah saat ini, langkah tersebut menimbulkan persepsi meningkatnya risiko keuangan Pertamina maupun pemerintah.
Persepsi risiko Indonesia memang terus meningkat, Mengutip Bloomberg, credit default swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun pada perdagangan Selasa (9/10) berada di level 147,31. Angka ini melonjak 13,21% dibandingkan posisi di akhir bulan lalu. Bahkan, kemarin CDS Indonesia tenor 5 tahun menyentuh posisi tertingginya sejak 5 September 2018 di level 148,64.
Tren kenaikan juga terjadi pada CDS Indonesia tenor 10 tahun, yang melompat di level 222,59 alias meningkat 4,8% dibandingkan posisi di akhir September lalu. Menurut Research Analyst Capital Asset Management Desmon Silitonga, meningkatnya CDS Indonesia sejalan dengan volatilitas rupiah yang meningkat tajam di awal Oktober.
Sementara penjualan bersih (net sell) investor asing di pasar modal sejak awal tahun sampai Selasa (9/10) sudah mencapai Rp 54,91 triliun. Adapun net sell asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 20,54 triliun.
Berhadapan dengan tekanan serius, pemerintah dihadapkan pada urgensi untuk menghadirkan sentimen positif dari dalam negeri. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga Premium dipercaya akan membawa sentimen positif ke pasar modal dan pasar uang yang sedang tertekan. Kabarnya, urgensi untuk menghadirkan sentimen positif inilah yang mendorong persetujuan Presiden Jokowi untuk menaikkan harga Premium sesegera mungkin mengikuti kenaikan BBM jenis lainnya.
Terbukti, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,41% ke level 5.820,67 pada Rabu (10/10) setelah munculnya pengumuman kenaikan harga Premium. Sementara, di pasar spot, rupiah menguat 0,19% di level Rp 15.209 per dollar AS. Begitu juga dengan kurs tengah Bank Indonesia (BI), menguat 0,12% menjadi Rp 15.215. Para analis sepakat, penguatan ini dipicu pengumuman pemerintah untuk menaikkan harga BBM.
Apa daya, pemerintah memutuskan untuk membatalkan kenaikan harga Premium tersebut. Salah satu sosok yang meminta penundaan kebijakan tersebut adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Presiden Megawati Soekarnoputri tersebut sejatinya tak keberatan dengan kenaikan tersebut. Masalahnya, keputusan naiknya harga BBM itu harus melalui prosedur sesuai ketentuan Perpres.
(Baca: Ternyata Menteri Rini yang Minta Penundaan Kenaikan Harga BBM Premium)
Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengakui, Kementerian BUMN memang meminta penundaan kenaikan harga Premium. Sebab, keputusan kenaikan harga BBM khusus seperti Premium sesungguhnya harus diputuskan lewat mekanisme yang diatur dalam Perpres No. 43/2018.
Merujuk ke Perpres, kenaikan harga BBM harus diputuskan rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Selain itu, formula penetapan harganya harus didasarkan perhitungan biaya perolehan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan margin Pertamina. Maknanya, pemerintah seharusnya meminta hitungan usulan kenaikan harga BBM dari Pertamina, untuk kemudian dibahas dalam rapat terbatas di Kementerian Koordinator Perekonomian.
Perpres juga mengatur, rapat penetapan harga juga harus memperhatikan hasil audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap kondisi keuangan Pertamina, termasuk beban subsidi menanggung selisih harga BBM. Hasil audit nantinya akan menjadi masukan dalam penentuan harga BBM bersubsidi untuk menanggulangi kerugian yang sudah dialami salah satu BUMN terbesar tersebut.
Rapat nantinya mengkaji usulan kenaikan harga tersebut dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, kemampuan daya beli masyarakat, serta kondisi ekonomi riil dan sosial masyarakat. Dalam prosesnya, biasanya dilakukan simulasi ekonomi kenaikan harga BBM untuk menghitung dampaknya terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, belanja serta defisit APBN.
(Baca: Tiga Penyebab Jokowi Menunda Kenaikan Harga Premium)
Setelah mendapat pertimbangan dari Rini dan beberapa pejabat lainnya, Presiden Jokowi akhirnya memutuskan untuk menunda kenaikan harga Premium. Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengungkapkan, Presiden Jokowi meminta 3 hal dikaji selama proses penundaan. Pertama, Presiden meminta kajian terhadap perubahan harga minyak internasional, termasuk neraca minyak dan gas bumi keseluruhan. Kedua, analisis kondisi fiskal dan anggaran negara. Ketiga, situasi daya beli masyarakat.
"Fundamental ekonomi tetap dijaga agar ekonomi tetap bugar," katanya. Jika hasil simulasi dari semua pertanyaan tentang situasi dan kondisi di atas sudah terang benderang, barulah Presiden bisa memutuskan apakah akan menaikkan harga Premium atau tidak.
Sehari sebelumnya, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,3% menjadi 5,1%. Proyeksi tersebut lebih rendah dibanding target pemerintah dalam APBN yang sebesar 5,2%. Menurut Chief Economist IMF Maurice Obstfeld, kebijakan moneter yang ketat akan menyebabkan permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi tertahan.