Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan pemborosan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pemborosan ini dilakukan dengan menyewa gedung baru senilai ratusan miliar, tapi tidak dipakai. Di sisi lain, OJK juga belum menyetorkan sisa penerimaan hasil pungutannya ke kas negara dan utang pajak yang hampir mencapai Rp 1 triliun.
Dalam buku Highlights Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2018, BPK menyoroti hasil temuannya pada OJK. Sebenarnya, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap lembaga tersebut. Namun, opini ini diberikan dengan beberapa penekanan, diantaranya terkait sewa gedung yang telah dibayar tapi tidak dimanfaatkan senilai dan utang pajak yang belum dilunasi.
Dalam pemeriksaan BPK, terungkap bahwa OJK telah membayar sewa gedung senilai Rp 412 miliar tahun lalu, tapi hingga kini belum dimanfaatkan. Kemudian, penerimaan pungutan sepanjang 2015-2017 yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 439,91 miliar dan penggunaan penerimaan atas pungutan yang melebihi anggaran sebesar Rp 9,75 miliar. Dari hasil pemeriksaan ini, BPK merekomendasikan OJK menyetorkan sisa pungutan dan utang pajaknya ke negara serta mempertanggungjawabkan kerugian dari sewa gedung.
“Hasil pemeriksaan dan rekomendasi ini sudah kami sampaikan kepada OJK pada Agustus lalu,” kata Auditor Utama Keuangan Negara II BPK Novian Herodwijanto di Jakarta, Rabu (3/5). (Baca: Temuan BPK, OJK Miliki Utang Pajak Badan Rp 901,1 Miliar)
Terkait permasalahan sewa gedung, sumber katadata.co.id di OJK mengungkapkan cerita ini bermula pada 2016. Saat itu, OJK memiliki kelebihan anggaran hingga ratusan miliar. Ini terjadi karena penerimaan dari pungutan OJK lebih besar dari yang sudah direncanakan. OJK bisa hidup dan menutupi biaya operasionalnya dari hasil pungutan lembaga keuangan. Apabila ada kelebihan, harus diserahkan ke anggaran negara.
Ketimbang dikembalikan ke negara, OJK berencana memanfaatkan kelebihan dana tersebut untuk kebutuhan ruang kantor. Saat itu, pegawai OJK menempati tiga kantor, yakni di Gedung Bank Indonesia (BI), Gedung Kementerian Keuangan, dan Menara Merdeka. Sementara, Kementerian Keuangan dan BI sempat menyatakan akan menggunakan gedung tersebut, sehingga OJK harus pindah.
Untuk bisa menampung seluruh pegawai, OJK membutuhkan kantor seluas 76 ribu meter persegi. Dewan Komisioner OJK sebelumnya berencana memiliki kantor sendiri yang bisa menampung semua pegawai. Pilihannya jatuh pada Wisma Mulia 1 dan 2 dengan total 41 lantai. Opsi sewa beli pun dipilih, karena anggaran OJK tidak mungkin bisa membeli langsung.
Wisma Mulia 1 akan dicicil untuk dimiliki dan Wisma Mulia 2 hanya untuk sewa. Harga sewa dengan opsi beli Wisma Mulia 1 sebesar Rp 5 triliun yang dicicil selama lima tahun. Total pembayaran termin pertama sebesar Rp 412 miliar. Saat itu, ada rencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 tentang pungutan OJK. Dengan asumsi perubahan aturan ini, hasil pungutan OJK bisa bertambah dan bisa mencicil gedung.
Ternyata kenyataan tak sesuai harapan. PP 11/2014 tak kunjung direvisi, sementara OJK sudah terlanjur membayar sewa gedung di Wisma Mulia. Gedung Wisma Mulia 1 telah dibayar penuh untuk sewa selama tiga tahun sebesar Rp 412,3 miliar dan Wisma Mulia 2 untuk sewa satu tahun sebesar Rp 76,97 miliar.
Pertengahan tahun lalu, Dewan Komisioner OJK berganti. Wimboh Santoso terpilih menggantikan Muliaman Hadad sebagai Ketua Dewan Komisioner OJK. Saat awal menjalankan tugasnya di OJK, Wimboh sudah memikirkan masalah kantor ini. Dia menilai kemampuan keuangan OJK belum mampu membeli gedung baru.
Akhirnya OJK menanyakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Agus Martowardojo, apakah OJK harus pindah dari gedungnya. Ternyata, mereka membolehkan OJK tetap menempati gedung Kementerian Keuangan dan BI, sampai memiliki gedung sendiri. Dengan komitmen, OJK mempertimbangkan kembali rencananya untuk pindah kantor.
OJK memutuskan tetap menempati gedung Kemenkeu dan BI, agar lebih hemat. Deputi Komisioner OJK Bidang Manajemen Strategis dan Logistik Anto Prabowo mengungkapkan beberapa penghematannya. Pertama, OJK bisa terkena rent-trap apabila menyewa gedung. Artinya, OJK akan sangat ketergantungan menyewa kantor yang harga sewanya bisa saja ditetapkan secara sepihak oleh pemilik gedung. Kedua, OJK harus mengeluarkan biaya untuk set-up kebutuhan kantor baru, seperti furniture, jaringan sistem teknologi informasi (IT), dan kebutuhan lainnya.
“Sementara kalau yang sekarang, semua tetap, itu kami hemat dengan tidak peru keluar uang lagi,” ujar Anto. Di Gedung Kemenkeu dan BI, tidak perlu membayar sewa kantor, OJK hanya membayar biaya listrik, air, internet, dan biaya lainnya, yang lebih murah.
(Baca: Jokowi dan BPK Bahas Temuan Laporan Keuangan Tiga Institusi)
Gedung Wisma Mulia yang sudah dibayar sewanya, tetap digunakan, tapi sebagian. Gedung ini hanya akan menampung 800 pegawai yang sebelumnya berkantor di Menara Merdeka. OJK memutuskan pindah dari Menara Merdeka, karena pengelola gedung tersebut menaikkan harga sewanya hingga 60%, dari Rp 230 ribu per meter persegi, menjadi Rp 360 ribu per meter persegi.
Saat ini, kata Anto, OJK sudah mendapatkan dua opsi lain untuk kebutuhan ruang kantor ini. Kemenkeu telah mempersilakan OJK menggunakan aset atau barang milik negara (BMN). Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga mempersilakan OJK memanfaatkan aset-aset perusahaan pelat merah. Aset ini bisa dalam bentuk tanah atau bangunan yang sudah ada.
Dengan opsi-opsi ini, OJK sudah bisa membangun gedung di atas lahan negara atau BUMN mulai tahun depan. Dengan begitu, OJK bisa memiliki gedung sendiri pada 2022, tepat setelah masa sewa gedung Wisma Mulia 2 habis.
Mengenai kerugian yang ditimbulkan dalam permasalahan gedung ini, OJK akan berupaya menguranginya. OJK akan membicarakan pemanfaatan gedung yang sudah disewa tapi tak terpakai di Wisma Mulia 1. Harapannya, uang sewa yang sudah dibayarkan bisa kembali, atau gedung menyewakan lagi gedung tersebut kepada pihak lain.
Apabila dananya bisa dikembalikan, OJK akan menggunakan untuk mengalihkannya menjadi aset lain, misalnya tanah atau bangunan. Anto mencontohkan tiga bidang tanah di Yogya, Solo dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dibeli tahun lalu. Menurutnya, OJK tidak diperbolehkan menyimpan uang. Apabila ada anggaran lebih, harus diserahkan ke negara.
Laporan BPK juga menyebutkan OJK melakukan penyimpangan dengan masih menggunakan kantor di Menara Merdeka, tanpa berdasarkan kontrak dan belum jelas nilai sewanya. Pihak manajemen gedung Menara Merdeka pun sudah menyampaikan somasi kepada OJK. Menurut BPK, somasi ini merugikan OJK, karena berujung pada tuntutan tagihan pembayaran sebesar Rp 19,5 miliar.
Anto menjelaskan pegawai OJK sudah pindah dari Menara Merdeka ke Wisma Mulia 2, sejak Desember 2017. Namun, ada perjanjian dalam kontrak kontrak sewa, bahwa OJK harus mengembalikan keadaan gedung Menara Merdeka seperti semula. Makanya, butuh waktu empat bulan untuk menyelesaikannya.
Masalah lain muncul kemudian. Pengelola gedung meminta sewa atas kelebihan waktu pemakaian di tahun ini dengan tarif baru dan OJK ingin membayar dengan tarif lama. Pada 25 September lalu, OJK telah bertemu dengan manajemen gedung Menara Merdeka. Pertemuan ini telah menyepakati berapa harga sewa yang harus dibayarkan OJK dalam dua bulan tersebut.
“Artinya, tinggal kami tuangkan dalam kontrak, bulan Oktober ini dibayar. Uangnya sudah ada dari anggaran 2018,” kata Anto. Sayangnya, dia tidak menyebutkan berapa harga sewanya.
Di satu sisi, OJK melakukan pemborosan dalam hal gedung kantor. Namun di sisi lain, OJK masih memiliki utang pajak penghasilan (PPh) badan yang hingga akhir tahun lalu tercatat sebesar Rp 901 miliar. Utang pajak ini merupakan akumulasi dari tahun 2015. PPh dari pungutan OJK dikenakan sebesar 5% atas sisa pemanfaatan pungutan.Sepanjang tahun lalu, OJK memperoleh pendapatan dari pungutan lembaga keuangan mencapai Rp 5,04 triliun. Pendapatan ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 4,41 triliun.
(Baca: Tanggapi BPK, OJK Bahas Skema Baru PPh Badan dengan Ditjen Pajak)
Menurut Anto, karena hasil pungutan tahun pertama baru bisa digunakan di tahun berikutnya. Dengan begitu, ada pungutan yang belum digunakan tetapi sudah terhitung sebagai pajak. Hal ini membuat setoran PPh Badan di tahun pertama menjadi bengkak karena perhitungannya didasarkan pungutan yang masih utuh.
Utang pajak tersebut sebenarnya sudah dicicil setiap tahun oleh OJK sejak 2016. Namun, karena jumlah yang dicicil lebih sedikit dari total pajaknya per tahun, akhirnya utang tagihan pajaknya pun membengkak. Tahun ini, OJK hanya menganggarkan cicilan utang pajaknya sebesar Rp 100 miliar. “Kami tidak bisa melunasi sekaligus karena kemampuan keuangan kami harus kami atur," kata Anto.