Setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatalkan skema restrukturisasi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera yang menuai pro dan kontra, perusahaan kini melirik pengembangan bisnis dari lini syariah. Anak usaha AJB, PT Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera, mulai menunjukkan kinerja yang positif meskipun skalanya masih relatif kecil.
Persis 5 September lalu, Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera genap beroperasi selama dua tahun. Perusahaan asuransi syariah tersebut merupakan salah satu harapan AJB untuk memperkuat diri. Sejauh ini, kinerja bisnis perusahaan tampak positif. Dalam rilis pekan lalu, perusahaan melansir, jumlah polis asuransi yang diterbitkan telah mencapai 121.943.
Adapun penghasilan premi sepanjang Januari-Agustus 2018 mencapai Rp 109,04 miliar, dengan total klaim yang dibayarkan pada periode yang sama sebesar Rp 88,59 miliar. Ini menunjukkan kinerja keuangan perusahaan masih positif. Kinerja di lini bisnis ini diharapkan bisa tetap positif seiring dengan langkah pengembangan yang diupayakan manajemen, di antaranya lewat inovasi produk.
Dalam waktu dekat, perusahaan berencana meluncurkan produk asuransi berbalut investasi. “Metode mirip unit link, tetapi unitized dan lebih sederhana,” kata Direktur Utama PT Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera Sudadi. Perusahaan meyakini peluang bisnis masih terbuka lebar lantaran perusahaan asuransi yang fokus di bisnis asuransi jiwa syariah belum terlalu banyak. Pesaing perusahaan mayoritas berbentuk unit usaha syariah di perusahaan asuransi.
Mengacu pada data OJK per Juli 2018, baru 12 perusahaan yang bermain di bisnis asuransi syariah. Sebanyak tujuh di antaranya asuransi jiwa, lalu lima lainnya asuransi umum, dan satu reasuransi. Secara khusus, total aset asuransi jiwa syariah tercatat Rp 34,46 triliun atau naik 11,86% dari posisi sama tahu lalu. Adapun penetrasi asuransi jiwa syariah baru 0,1%. Hal ini menunjukkan peluang bisnis masih terbuka lebar.
Beberapa bulan lalu, Pengelola Statuter Adhie Massardi sempat menyebut bahwa pihaknya membuka berbagai opsi untuk pengembangan bisnis perusahaan. Selain monetisasi aset properti, opsi lainnya yaitu pengembangan produk asuransi modern hingga kerjasama dengan perusahaan financial technology (fintech).
Meski begitu, kinerja anak perusahaan belum cukup besar untuk menyokong induknya. Alhasil, AJB masih berkutat dengan problem likuiditas seiring besarnya beban untuk pembayaran klaim asuransi. Nilai klaim asuransi yang diajukan pemegang polis disebut-sebut semakin besar lantaran ditambah dengan adanya nasabah yang melakukan penebusan atas polis yang belum jatuh tempo. Penyebabnya, kekhawatiran seputar kondisi keuangan AJB seiring maraknya pemberitaan.
Merespons kondisi tersebut, Katadata.co.id mendapatkan informasi, Pengelola Statuter sebagai pemegang fungsi direksi dan komisaris AJB akhirnya mengeluarkan kebijakan yang melarang pengakhiran perjanjian asuransi sebelum jatuh tempo. Dana yang tersedia bakal diprioritaskan untuk pembayaran klaim habis kontrak, meninggal dunia, dan dana kelangsungan belajar atau tahapan. Penyebabnya, likuiditas terbatas.
Kebijakan ini berlaku mulai 10 September lalu dan diterapkan sampai kondisi keuangan perusahaan membaik. Bila mengikuti hitung-hitungan yang sempat dilansir pengelola statuter pada 2016 lalu atau saat mengumumkan skema restrukturisasi terdahulu, defisit keuangan AJB pada periode 2017-2021 berkisar Rp 2,1-2,5 triliun per tahun. Angka tersebut hanya dengan memperhitungkan klaim jatuh tempo, bukan penebusan-penebusan atas polis yang belum jatuh tempo.
Adapun berdasarkan data terakhir yang dirilis OJK, yaitu per 9 Mei 2018 lalu, penerimaan premi baru dan gabungan tercatat sebesar Rp 1,2 triliun sejak awal Januari, sementara klaim mencapai Rp 1 triliunan. Ini artinya nyaris imbang. Dalam beberapa kali kesempatan, pejabat OJK terkait menyatakan, salah satu upaya yang diambil untuk memastikan kelancaran pembayaran klaim adalah dengan menjual beberapa aset.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo merespons positif strategi moratorium pencairan klaim belum jatuh tempo. “Strategi tepat untuk menahan rush penebusan polis. Tapi harus diimbangi bunga imbal hasil yang lebih menarik sebagai insentif,” katanya. Ke depan, ia menekankan AJB perlu mengusahakan bisnis baru secara lebih agresif untuk menghindari jurang alias missmatch antara pendapatan dan pengeluaran, yaitu dengan menjalin kemitraan untuk monetisasi aset properti.
Strategi Restrukturisasi Baru
Anggota Komisi IX Mukhamad Misbakhun menjelaskan, berdasarkan informasi yang diterimanya dari OJK, langkah restrukturisasi terbaru AJB berfokus pada pengembangan bisnis. Hal ini dilakukan setelah OJK memutuskan melakukan unwind alias pemutusan hubungan kerja antara AJB dengan investor dalam skema restrukturisasi sebelumnya, dan menyelamatkan aset-aset yang sempat beralih.
Bukan hanya pengembangan bisnis syariah. Menurut Misbakhun, ada beberapa strategi yang direncanakan, termasuk monetisasi aset properti. AJB tercatat memiliki beberapa aset properti strategis yaitu beberapa gedung di Jakarta, di antaranya Wisma Bumiputera di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Selain itu, Hotel Bumi Wiyata di Depok. Katadata.co.id mendengar bahwa rencana sejenis sempat disusun jajaran direksi lama, namun belum terealisasi.
Untuk mendukung pengembangan bisnis, Misbakhun mengungkapkan bakal adanya manajemen baru. “Dengan berjalannya manjemen di AJB, secara pelan-pelan OJK bisa melepaskan kepada manjemen yang terpisah, mandiri, untuk mengoptimalkan kinerja, tapi tentu tetap dalam pengawasan OJK,” ujarnya.
Katadata.co.id beberapa kali mencoba menghubungi Anggota Penggelola Statuter AJB Bumiputera Bidang Komunikasi Adhie Massardi melalui telepon maupun pesan singkat untuk mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap mengenai kondisi terkini AJB. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada jawaban.
Informasi mengenai bakal adanya manajemen baru sebetulnya sudah berhembus sejak beberapa bulan lalu dan sempat disinggung juga oleh Ketua OJK Wimboh Santoso. Rencananya, bakal ada pengangkatan jajaran direksi untuk menggantikan pengelola statuter yang sudah mengambil alih fungsi direksi serta komisaris sejak 2016 lalu. Namun, hingga kini, belum ada kejelasan mengenai proses tersebut.
Ke depan, ia berharap,manajemen baru bisa mengambil langkah-langkah baik yang diperlukan, termasuk efisiensi pegawai dengan golden shake hand untuk membantu menyehatkan kembali keuangan perusahaan. Ia pun menilai masuk akal bila ada aset yang dilepas untuk keperluan tersebut dan kebutuhan pembayaran klaim. Rencana pelepasan aset sempat disampaikan kepada Komisi XI. Namun, ia tidak mengetahui aset yang dimaksud.
Ia pun meyakinkan, tidak ada rencana untuk membubarkan AJB yang merupakan perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Maka itu, langkah penyehatan akan terus dilakukan. “Bagaimana pun juga AJB salah satu sejarah. Sistem keuangan mutual (yang diterapkan AJB) sebagai bentuk perlawanan anak bangsa terhadap sistem ekonomi saat itu. Legacy ini harus dijaga OJK,” kata dia.