Para ekonom menilai pemerintah masih terlalu optimistis dalam mengelola anggaran negara tahun ini. Hal itu tercermin dari penurunan target penerimaan yang tidak signifikan dalam draf revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016. Padahal, kondisi ekonomi masih lesu sehingga mengancam penerimaan negara, khususnya dari sektor pajak.
Dalam draf Rancangan APBNP 2016 yang baru saja diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 1.734,5 triliun, atau cuma lebih rendah Rp 88 triliun (4,8 persen) dari target sebelumnya. Sedangkan target belanja negara sebesar Rp 2.047,8 triliun atau hanya dipangkas Rp 47,9 triliun (2,3 persen) dari target semula di dalam APBN 2016. Alhasil, defisit anggaran membesar dari semula Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi Rp 31,3 triliun atau 2,48 persen terhadap PDB.
Jika melongok lebih detail, kontribusi terbesar pendapatan negara bersumber dari penerimaan pajak –di luar bea dan cukai—yang ditargetkan sebesar Rp 1.343,1 triliun dalam APBNP 2016. Jumlahnya hanya turun Rp 17,1 triliun atau 1,3 persen dari target sebelumnya dalam APBN 2016.
Kalau mengacu kepada realisasi penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp 1.060,8 triliun, berarti target tahun ini lebih tinggi 26,6 persen. Padahal, jika melongok ke belakang, realisasi penerimaan pajak tahun lalu hanya 82 persen dari target dalam APBNP 2015 yang sebesar Rp 1.294,3 triliun. Artinya, selisih kekurangan target dengan realisasi penerimaan (shortfall) pajak tahun 2015 sebesar 18 persen. Sedangkan bila dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi penerimaan pajak 2015 hanya naik 8 persen.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pernah menilai target APBN 2016 cukup ambisius karena kondisi ekonomi tahun ini masih kurang mendukung peningkatan penerimaan pajak. Saat ekonomi melambat, keuntungan perusahaan menyusut yang berujung pada minimnya setoran pajak. Karena itulah, dia menganggap target pajak dan penerimaan dalam APBN 2016 perlu direvisi.
Sedangkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah mengatakan, hitungan target pajak tahunan harus memperhatikan kondisi alamiah ekonomi. Yaitu pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi plus usaha lebih (extra effort) sekitar 3 persen.
(Baca: Menteri Keuangan akan Pangkas Target Pajak Sesuai Kondisi Ekonomi)
Jika mengacu kepada asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan inflasi 4 persen dalam draf APBNP 2016 maka semestinya target kenaikan penerimaan pajak tahun ini sebesar 12,3 persen atau mencapai Rp 1.191,3 triliun. Artinya, lebih rendah Rp 151,8 triliun dari target penerimaan pajak yang dipatok dalam draf APBNP 2016.
Meski tak dicantumkan secara jelas dalam draf APBNP 2016, bisa jadi pemerintah berharap kekurangan pajak bisa ditutup dari dana hasil kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Seperti diketahui, pemerintah menginginkan pembahasan RUU Tax Amnesty segera rampung dan bisa dijalankan medio tahun ini. Dengan skema besaran tarif tebusan 1,2,3 persen dari aset yang dibawa masuk ke dalam negeri (repatriasi) dan tarif 2, 4, 6 dari aset yang dideklrasikan, Bambang berharap tambahan penerimaan negara dari kebijakan amnesti pajak sekitar Rp 165 triliun.
(Baca: Yakin Tax Amnesty Sukses, Pemerintah Naikkan Target Pajak Penghasilan)
Namun, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat, secara umum target anggaran negara tahun ini masih optimistis. Ia khawatir dari sisi penerimaan, meski ditopang kebijakan tax amnesty, tidak mampu menambal shortfall pajak di tengah masih lesunya ekonomi dalam negeri.
Menurut dia, sebagian dana yang diincar pemerintah di luar negeri itu sebenarnya sudah kembali ke Tanah Air dalam bentuk back to back loan. Sebaliknya, David menganggap proyeksi tambahan penerimaan dari tax amnesty versi Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 53,5 triliun, lebih mendekati kenyataan. “Kalau BI (perkiraannya) konservatif,” katanya kepada Katadata, Jumat (3/6).
(Baca: Beda dengan BI, Pemerintah Bidik Hasil Amnesti Pajak Rp 165 Triliun)
Ada dua akibat yang dapat terjadi kalau target penerimaan dan amnesti pajak itu tak tercapai. Pertama, defisit anggaran kian membengkak hingga melebihi 3 persen terhadap PDB, yang merupakan batasan dalam undang-undang.
Kedua, persepsi masyarakat terhadap perekonomian justru akan berbalik menjadi negatif. Apalagi kalau beleid tax amnesty tak disetujui DPR atau pelaksanaannya tertunda hingga mengganggu penerimaan negara.
Dampak lanjutannya, kekhawatiran pelaku industri kian meningkat lantaran pemerintah akan mengejar target pajak melalui intensifikasi atau wajib pajak lama. Apalagi, jika melihat realisasi penerimaan pajak per 8 Mei lalu yang baru sekitar Rp 272 triliun atau 20 persen dari target. Sedangkan penerimaan negara sekitar Rp 419,2 triliun atau 23 persen dari target tahun ini.
Di sisi lain, David masih optimistis pemerintah mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun ini sekitar 5-5,3 persen. Meskipun kemungkinan pencapaiannya pada batas bawah.
Syarat mencapai target tersebut adalah pemerintah harus memastikan implementasi paket kebijakan ekonomi berdampak terhadap industri. Begitu juga dengan penyerapan anggaran belanja di daerah, yang saat ini masih rendah. Hal itu terlihat dari dana menganggur di perbankan sekitar Rp 200 triliun.
Sementara itu, Ekonom Kenta Institute Eric Sugandi melihat revisi target anggaran yang tidak signifikan itu menunjukan pemerintah tetap ingin mengejar pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Senjata andalannya hanya kebijakan pengampunan pajak untuk menambah penerimaan negara.
Alhasil, jika realisasinya tidak sesuai harapan maka pemerintah harus memperbesar defisit anggaran dan menutupnya dengan menambah utang. Kalau upaya itu pun sudah maksimal, pemerintah terpaksa memotong belanja lebih besar. Langkah ini tentu akan mengerem laju pertumbuhan ekonomi.
“Bujet tahun ini akan sangat bergantung pada keberhasilan memperoleh tambahan revenue dari tax amnesty. “Itu agak seperti gambling (berjudi),” kata Eric.