KATADATA - Hingga pekan lalu atau jelang satu pekan terakhir 2015, rupiah cuma melemah 10 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama tahun ini –setelah sempat anjlok 18,6 persen per akhir September lalu. Nasib rupiah masih lebih baik dibandingkan ringgit Malaysia, yang hingga pekan lalu sudah melemah 23 persen terhadap dolar AS. Namun, rupiah tahun depan diramalkan menjadi mata uang berkinerja terburuk di Asia dan melemah hingga 15.000 per dolar AS.
Sentimen negatif dari kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve) menaikkan suku bunga Fed rate masih akan membayangi arah pergerakan mata uang dunia tahun depan. Kebijakan pertama kalinya dalam hampir 10 tahun terakhir, yang akhirnya direalisasikan medio Desember lalu tersebut, akan terus berlanjut tahun 2016 sejalan dengan perbaikan ekonomi AS.
Hal ini bisa kian memicu hengkangnya dana (capital outflow) investor dari negara-negara di pasar berkembang alias emerging market ke AS, sehingga kian memperkuat dolar AS. Ditambah lagi faktor penurunan harga komoditas, yang ditandai anjloknya harga minyak mentah, diperkirakan akan terus berlanjut tahun depan.
Meski mayoritas mata uang dunia bakal melemah terhadap dolar AS pada 2016, pelemahan rupiah diramalkan yang paling dalam di kawasan Asia. Bloomberg mencatat, rupiah sempat anjlok paling rendah di antara mata uang utama Asia pada tahun 2012 dan 2013, yaitu masing-masing 5,9 persen dan 21 persen. Namun, dua tahun terakhir, posisi tersebut digantikan oleh ringgit Malaysia. Per Senin ini (28/12), ringgit selama tahun ini sudah melemah 23,13 persen terhadap dolar AS.
(Baca: Bunga The Fed Naik: Rupiah Menguat, Bursa Saham Menghijau)
Kondisi tersebut akan kembali berbalik tahun depan. “Rupiah menempati peringkat tertinggi dalam penilaian kami terhadap kerentanan keluarnya aliran modal,” kata Jason Daw, Kepala Strategi Valuta Asing Asia Societe Generale SA di Singapura, seperti dikutip Bloomberg, pekan lalu.
Perusahaan keuangan asal Perancis ini meramal rupiah akan melemah hingga mencapai Rp 15.300 per dolar AS di akhir 2016. Ramalan ini lebih rendah dari survei Bloomberg, yakni rata-rata Rp 14.750 per dolar AS. Taksiran pelemahan rupiah tersebut yang paling dalam di Asia, namun masih lebih baik dibandingkan nasib mata uang dua negara lain di antara 23 negara emerging market: peso Argentina dan real Brasil. Perkiraan tersebut patut mendapat perhatian lebih karena Societe Generale termasuk peramal valas terbaik ketiga dalam peringkat Bloomberg di kuartal terakhir lalu.
Rupiah lebih rentan dibandingkan mata uang lain di Asia karena semakin terbatasnya kemampuan Bank Indonesia (BI) menjaga mata uang tersebut. Indikasinya adalah, cadangan devisa per akhir November lalu tinggal tersisa US$ 100,2 miliar, yang merupakan posisi terendah sejak Desember 2013.
(Baca: Utang Luar Negeri Tahan Penurunan Cadangan Devisa Akhir Tahun)
Padahal, selain kebijakan kenaikan Fed rate secara bertahap, ekonomi Indonesia dan rupiah menghadapi dua tantangan besar pada tahun depan. Pertama, tren perlambatan ekonomi Cina, yang merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Kedua, penurunan harga komoditas yang merupakan produk andalan ekspor negara ini.
Beberapa faktor inilah yang akan memantik aliran keluar modal asing dari pasar keuangan Indonesia. Apalagi, mengacu data bank sentral, porsi kepemilikan asing di surat utang negara (SUN) telah meningkat dari 30 persen pada lima tahun lalu menjadi 38 persen pada tahun ini. Bandingkan dengan porsi asing di surat utang negara Malaysia dan Thailand, yang masing-masing sebesar 31 persen dan 15 persen.
“Rupiah lebih rentan dibandingkan mata uang Asia lainnya. Karena lemahnya harga komoditas dan risiko pembalikan kepemilikan asing di obligasi Negara akibat pengetatan moneter oleh bank sentral AS,” ujar Roy Teo, Senior Strategi Valas ABN Amro Bank NV di Singapura. Ia pun memprediksi rupiah menyentuh level 15.000 per dolar AS tahun depan.
Di sisi lain, upaya pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi dengan target 5,2 persen tahun depan juga bisa mempengaruhi nasib rupiah. Pasalnya, demi memacu pertumbuhan ekonomi, BI membuka peluang penurunan suku bunga acuan BI rate. Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menyatakan, ada ruang bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunakan BI rate. “Januari (2016) akan kami evaluasi lagi kondisi pertumbuhan ekonomi dan instrumen kebijakan yang akan kami keluarkan,” ujarnya, pekan lalu.
Adapun Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy memprediksi BI akan menurunkan BI rate sebesar 50 basis poin pada semester II-2016. Ekonom Bank Mandiri Andri Asmoro menambahkan, meski BI rate turun menjadi 7 persen, masih tetap menarik bagi investor.
Sebelumnya, Bank Dunia memperkirakan perekonomian Indonesia akan menghadapi gejolak pasar tahun depan. Penyebabnya adalah melemahnya permintaan komoditas dari Cina dan kenaikan Fed Rate secara berkala. Sedangkan seretnya penerimaan negara dari sisi pajak mengancam belanja pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Alhasil, harapan peningkatan ekonomi 2016 bakal sulit terwujud.
(Baca: Bank Dunia Sarankan Dana Desa Dimaksimalkan untuk Infrastruktur)
Meski begitu, Ahli Strategi Nomura Holding Inc di Singapura, Dushyant Padmanabhan, lebih optimistis melihat perekonomian Indonesia tahun depan. “Kami melihat akan ada kenaikan permintaan domestik dan belanja pemerintah sebagai hasil awal dari stimulus fiskal dan moneter,” katanya.
Ia memperkirakan, rupiah masih melemah tahun 2016 ke level 14.850 per dolar AS. Sekadar informasi, Nomura merupakan peramal valas terbaik kedua dalam peringkat Bloomberg di kuartal terakhir lalu.
Pelemahan rupiah tahun depan juga diperkirakan oleh beberapa analis valas domestik, namun tidak sedalam ramalan para analis asing. Kepala Riset Bagian Pendapatan Tetap (Fix Income) Mandiri Sekuritas Handy Yunianto memproyeksikan rupiah mencapai 14.300 per dolar AS pada 2016 meski BI menurunkan suku bunga acuannya. Kebijakan itu akan mendorong ekonomi tumbuh lebih tinggi dari sektor riil. Inflasi juga diprediksi tetap rendah.
Sedangkan Leo Putra melihat, masih adanya kepercayaan investor terhadap ekonomi Indonesia sehingga rupiah dapat bertahan. “Volatilitas rupiah jauh lebih rendah (tahun depan),” katanya.
Bahkan, Ekonom Bank Permata Josua Pardede optimistis rupiah dapat bertahan di bawah level 14.000 per dolar AS tahun depan. Pertimbangannya, aneka paket kebijakan ekonomi bakal mulai terasa dampaknya di 2016. Meski perlambatan ekonomi Cina sangat mempengaruhi stabilitas nilai tukar, pelemahan rupiah diperkirakan cuma terjadi selama paruh pertama tahun depan.