“Normal Baru” Ekonomi Tidak Mudah
Era normal baru atau “new normal“ perekonomian ini kemungkinan tidak mudah, meskipun peluang-peluang bisnis tetap terbuka. Berkaca pada pengalaman krisis 2008, ketika itu, Indonesia relatif berdaya tahan, dengan ekonomi yang masih tumbuh 4,5% di 2009.
Namun, Amerika Serikat yang menjadi titik awal krisis terkontraksi 2,5%. Pemerintah AS menggelontorkan stimulus ekonomi besar-besaran, sebelum mulai menjajaki masa normalisasi lima tahun kemudian pada 2014.
Saat ini, di tengah risiko krisis akibat pandemi corona, negara-negara menggelontorkan aneka paket stimulus, dari mulai pemangkasan pajak, subsidi besar-besaran gaji, dan bantuan lainnya.
Harapannya, ekonomi bisa lekas bangkit setelah pandemi berakhir. Meski begitu, risiko lambatnya pemulihan ekonomi setelah pandemi tetap membayangi. Hal ini seiring risiko lamanya pandemi berakhir.
(Baca: Lebih 100 Negara Berlomba Minta Pinjaman Darurat Pandemi Corona ke IMF)
Organisasi Moneter Internasional (IMF) melihat risiko pertumbuhan ekonomi dunia minus 3% tahun ini bila pandemi berlarut-larut, berbalik dari positif 2,9% tahun lalu.
“Pandemi yang bertahan hingga kuartal III bisa mengakibatkan kontraksi lebih jauh yaitu sebesar 3% pada 2020 dan pemulihan yang lambat di 2021, sebagai dampak dari kebangkrutan dan pengangguran,” tulis IMF dalam rilis prognosis terbarunya.
Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO memperkirakan sebanyak 1,25 miliar orang di seluruh dunia bekerja di sektor yang terdampak parah oleh corona dan dibayangi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK). Sektor-sektor tersebut termasuk akomodasi dan jasa makanan; perdagangan retail dan besar, serta jasa reparasi kendaraan; manufaktur; dan properti atau real estate.
Bila terjadi PHK besar, konsumsi pun berisiko tertekan. Jika mengacu pada survei pengeluaran warga Amerika Serikat yang dilakukan Booz & Co pada 2009, pengeluaran untuk berbagai kategori konsumsi jatuh setelah krisis 2008.
Dalam survei tersebut, penurunan pengeluaran terbesar terjadi untuk makan di luar rumah yakni 58%, elektronik dan pakaian masing-masing 53%, media dan hiburan 51%, renovasi rumah 44%, alkohol 42%, binatang peliharaan, mainan dan hobi 37%, layanan dan produk finansial 33%, rokok 31%, minuman nonalkohol 31%, biaya perawatan atau reparasi 28%.