West Texas Intermediate sudah lama menjadi patokan harga minyak mentah di Amerika Serikat. Harga acuan ini telah melewati booming minyak, perang, dan krisis keuangan. Tapi tak pernah dalam sejarahnya merosot hingga minus US$ 37,63 per barel. Kejadian pada Senin lalu (20/4) itu menjadi rekor terburuk WTI yang mengejutkan pasar komoditas.

Amblasnya harga minyak tak jauh dari masalah yang dihadapi dunia saat ini, yaitu pandemi corona. Isolasi dan terbatasnya gerak manusia membuat permintaan emas hitam secara global terpangkas hampir sepertiga, sementara produksi jalan terus.

Sampai akhirnya para pedagang di lantai bursa komoditas AS menyerah. Mereka membayar para pembeli untuk mengambil kontraknya. Aksi putus asa inilah yang menyebabkan WTI langsung tersuruk.

WTI merupakan kontrak berjangka minyak yang diperdagangkan dunia. Banyak yang membelinya untuk bertaruh pada pergerakan harga, tanpa berniat menerima pengiriman minyak secara fisik.

(Baca: Harga Minyak Negatif Buat Emiten Migas Rontok, IHSG Turun 1,62%)

Nah, kontrak WTI untuk pengiriman Mei berakhir kemarin. Para spekulan ingin melepas kepemilikan kontrak untuk menghindari keharusan mengambil minyak dan mengeluarkan biaya penyimpanan.

Tapi karena permintaan melemah, Bloomberg menuliskan, tidak ada yang menawar untuk kontrak itu pada perdagangan Senin lalu. Kondisi ini terus terjadi, bahkan setelah CME Group Inc (perusahaan yang mengelola bursa komoditas AS) mengizinkan harganya bergerak negatif.

Situasi bertambah runyam ketika di saat bersamaan terjadi keterbatasan tangki penyimpanan minyak. Padahal, ketika mendekati tanggal kadaluwarsa, WTI dalam bentuk fisik akan mengalir ke kota kecil di AS bernama Cushing, Oklahoma.

Melansir dari Reuters, di kota itu terdapat puluhan tangki besar dengan total kapasitas 76 juta barel. Pemerintah AS memperkirakan masih ada ruang tersedia untuk menyimpan minyak. Namun, para pelaku pasar komoditas berkeyakinan penurunan WTI hingga minus mengindikasikan tak ada lagi tangki tersedia untuk penyewa baru.

(Baca: Sejarah Kejatuhan Harga Minyak Dunia Sebelum Dihantam Pandemi Corona)

Migas
Ilustrasi lapangan migas. (Dok. Chevron)

Banyak perusahaan minyak di negara itu akhirnya memakai tangki baja menganggur dari produsen shale oil (minyak serpih) dan shale gas (gas serpih). “Industri ini benar-benar berjuang mencari opsi penyimpanan yang layak,” kata manajer Adler Tank Rental, Stuart Porter, kemarin.

Presiden AS Donald Trump mengambil peluang anjloknya harga dengan rencana memborong 75 juta barel minyak mentah. Jumlah ini akan masuk dalam cadangan minyak strategis AS. Harga WTI naik ke level US$ 5 pada perdagangan semalam (pukul 11.25 waktu setempat), setelah dibuka di harga minus US$ 14 per barel.

Peristiwa awal pekan ini dinilai hanya sinyal awal. “Jika situasi penyimpanan minyak global terus memburuk, Brent dapat mengikuti WTI bergerak ke bawah,” kata mantan analis minyak Citigroup, Ed Morse, dikutip dari Bloomberg.

(Baca: Disebut Terkait Fluktuasi Harga Minyak Dunia, Apa itu WTI dan Brent?)

Dampak Penurunan Harga Minyak bagi Indonesia

Indonesia menggunakan harga minyak acuan bernama Indonesia Crude Pirce (ICP). Patokannya adalah harga minyak jenis Brent. Namun, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menilai Brent pun terus tertekan di bawah US$ 30 per barel. ICP kemungkinan besar bernasib serupa.

Penurunan itu dapat membuat seluruh proyek hulu minyak dan gas bumi (migas) tertunda. “Kebijakan pertama perusahaan yaitu mempertahankan cash dengan menurunkan pengeluaran capex (belanja modal) dan opex (belanja operasional),” kata Moshe. Banyak kontraktor migas diperkirakan memangkas produksi.

Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan penurunan harga minyak mentah WTI dan Brent sejak awal tahun. Pergerakannya cenderung sama, meskipun WTI lebih murah. Harga Brent juga menurun dalam seminggu terakhir.

PT Pertamina telah melakukan sejumlah program prioritas untuk memangkas biaya di sektor hulu. “Pemotongan capex di sektor hulu 25 – 30 %, baik dari sumur eksplorasi dan eksploitasi,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat telekonferensi bersama Komisi VII kemarin.

Dengan kondisi pandemi Covid-19, produksi minyak Pertamina di sektor hulu diproyeksi turun sekitar 2 % dari 430 ribu barel per hari (BOPD) menjadi 421 ribu BOPD. Sedangkan produksi gas juga akan ikut berkurang hingga 4 %. Totalnya, produksi sektor hulu Pertamina bakal turun sekitar 3 %.

Perusahaan pelat merah itu juga membutuhkan tambahan tangki penyimpanan minyak. Pasalnya, impor bahan bakar minyak (BBM) terus berjalan di tengah pelemahan konsumsi. Pasokan menjadi terus bertambah.

(Baca: Dirut Pertamina Sebut Skenario Terburuk akan Kehilangan Pendapatan 45%)

Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan perusahaan membutuhkan tambahan tangki. “Untuk storage (tangki penyimpanan) kemungkinan perlu tambahan di atas 150 ribu kiloliter,” ujar Fajriyah.

Nicke mengatakan perusahaan telah berusaha mencari tambahan tangki. Salah satunya menggunakan tangki milik konsumen. Pertamina juga mengantongi izin untuk menggunakan tangki penyimpanan milik kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). “Dengan begitu bisa menambah impor minyak,” ucapnya.

Dalam skenario terburuk, Pertamina memperkirakan dampak penurunan harga minyak dan melemhanya kurs rupiah dapat membuat perusahaan kehilangan pendapatan 44,6 % dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020.

Berdasarkan RKAP, target laba tahun ini US$ 2,2 miliar dan pendapatan US$ 58,33 miliar. “Total pendapatan kami akan turun pada skenario berat sebesar 38 %, dan pada skenario sangat berat menjadi 45 %,” kata Nicke.

(Baca: Terseret Kejatuhan Harga Minyak, Rupiah Melemah ke Rp 15.506 per Dolar)

Halaman selanjutnya: Apakah Harga BBM Akan Ikut Turun?

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan, Febrina Ratna Iskana, Agatha Olivia Victoria

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami