Belum Saatnya Indonesia Memasuki New Normal
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira menyatakan sepakat dengan Sandiaga Uno bahwa UMKM shopping bisa dibuka terlebih dulu pada Juni nanti. Sebab UMKM akan lebih cepat menyerap tenaga kerja yang berimplikasi kepada peningkatan daya beli masyarakat. Dengan catatan pemerintah harus memberi subsidi kesehatan kepada pelaku UMKM.
Karena, menurut Bhima, UMKM akan sangat rentan menghadapi pandemi tanpa subsidi kesehatan. Pelakunya yang saat ini masih dalam kondisi terpukul akan mengeluarkan dana ekstra untuk memenuhi fasilitas kesehatan sesuai protokol Covid-19 dan itu memberatkan. Sementara jika tak disediakan pekerja dan konsumennya rentan terkena virus corona.
“Kalau mal yang lebih dulu dibuka tidak akan meningkatkan konsumsi. Masyarakat menengah atas masih akan takut pergi ke mal. Sementara masyarakat menangah bawah ke mal untuk rekreasi saja,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (27/5).
Setelah itu membuka sektor pertanian yang berkontribusi 10,88 % terhadap PDB dan termasuk kebutuhan dasar penting di tengah pandemi. Mengingat saat ini salah satu masalah serius adalah kelangkaan pangan, seperti gula yang menyebabkan harganya melambung tinggi di pasar.
(Baca: Konsumsi Masyarakat Lockdown, Ekonomi RI Langsung Jatuh)
Akan tetapi, Bhima lebih menilai pemerintah masih terlalu prematur melonggarkan PSBB dan memulai new normal. Pasalnya tren kasus positif corona masih terus menanjak. Karena, yang semetinya menjadi indikator utama pelonggaran adalah data kasus corona. “Negara-negara yang mulai melonggarkan pembatasan indikatornya jelas, jumlah kasus positif dan kematiannya menurun tajam,” kata Bhima.
Data Kemenkes per 27 Mei menyatakan total kasus sebanyak 23.851 orang dari 195.518 spesimen (714 per 1 juta populasi). Meningkat dari sehari sebelumnya sebanyak 23.165 orang atau bertambah 686 kasus baru. Pertambahan kasus harian dalam seminggu ke belakang pun selalu di atas 400 orang.
Berdasarkan analisis Endcoronavirus.org, kurva kasus Covid-19 di Indonesia berwarna merah atau masih masuk kategori butuh tindakan khusus untuk melandaikannya. Tak seperti Korea Selatan dan Vietnam yang kurvanya berwarna hijau atau telah dinyatakan mampu melandaikan penyebaran virus corona.
Menurut data John Hopkins University and Medicine, jumlah pertambahan kasus baru harian di Korea Selatan selama seminggu ke belakang tak pernah lebih dari 40 orang. Jauh dari jumlah kasus baru pada Februari-Maret yang mencapai lebih dari 100 orang per hari. Kini total kasus di negeri gingseng sebanyak 11.265 orang.
Sementara Vietnam dalam seminggu ke belakang hanya mencatat pertambahan 3 kasus. Total kasusnya kini hanya sebanyak 327 kasus sejak 2 kasus awal tercatat pada 23 Januari lalu. Negeri ini pun tak mencatat satu pun kasus kematian akibat Covid-19.
Bhima menyatakan, risiko depresi ganda atau double depression bisa terjadi jika pemerintah tetap memaksakan memulai new normal sebelum kasus pandemi melandai. Sebab risiko gelombang kedua dengan dampak lebih besar sangat mungkin terjadi.
Kurva pemulihan yang terwujud akan berbentuk “W”. Pemulihan yang diharapkan terjadi pada 2021 dengan pertumbuhan ekonomi 8,2 % seperti diproyeksikan IMF bisa gagal terjadi. Sebaliknya, pemulihan baru bisa terjadi pada 2022. “Skenario terburuknya pertumbuhan ekonomi -0,4 sampai -2 %. Walaupun rebound tidak akan kembali seperti sebelum pandemi,” kata dia.
Analisis Bhima selaras dengan perusahaan konsultan McKinsey & Company. Dalam artikel berjudul How to Restart National Economies During the Coronavirus Crisis dikatakan, kurva pemulihan ekonomi sangat bergantung kepada tingkat keberhasilan negara menekan penyebaran pandemi.
Semakin ketat negara menekan penyebaran pandemi, salah duanya dengan karantina wilayah dan peningkatan jumlah tes, semakin baik pula kurva pemulihan yang tercapai. Skenario terbaik adalah kurva “V” atau pemulihan ekonomi lebih tinggi dari sebelum pandemi.
Namun, pencegahan yang parsial atau dilonggarkan sebelum pandemi bisa ditekan sepenuhnya akan menciptakan pemulihan lebih lama dengan tingkat tak bisa mencapai seperti semula, meskipun tetap pulih. Skenario paling buruk adalah tak ada kebijakan pencegahan penyebaran virus yang efektif akan membuat ekonomi tak pernah pulih.
Studi bertajuk Pandemics Depress the Economy, Public Health Interventions Do Not: Evidence from the 1918 Flu yang dilakukan asisten profesor Massachusetts Institute of Technology Emil Verner bersama dua ekonom bank sentral Amerika Serikat (AS), Sergio Correira dan Stephen Luck membuktikan intervensi kesehatan lebih berdampak pada pemulihan ekonomi saat pandemi flu Spanyol ketimbang pelonggaran kegiatan ekonomi.
(Baca: Prediksi Pemulihan Ekonomi Pasca-Corona, dari Kurva V sampai Logo Nike)
Kota-kota di AS yang 10 hari lebih dulu melakukan intervensi kesehatan selama flu Spanyol ketimbang lainnya menunjukkan pertumbuhan sektor manufaktur lebih kurang 5 % setelah pandemi berlalu pada 1923. Sementara yang 50 hari lebih lama melonggarkan intervensi kesehatannya sektor manufakturnya tumbuh 6,5 % setelah pandemi.
“Kami tak temukan bukti bahwa kota yang bertindak agresif di sektor kesehatan publik kesulitan memulihkan perekonomiannya. Semakin agresif semakin cepat pulih. Ini meragukan gagasan trade-off antara mengatasi ekonomi di satu sisi dan mengatasi pandemi di sisi lain. Karena pandemi itu sendiri sangat merusak ekonomi,” tulis penelitian itu.